Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lomba Gagasan Calon Gubernur

16 Januari 2017 | 00.00 WIB

Lomba Gagasan Calon Gubernur
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DEBAT bukanlah sekadar adu silat kata-kata. Tiga seri debat menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta pertengahan Februari mendatang semestinya dimanfaatkan kontestan untuk menjadi festival gagasan, pemikiran, juga program dalam membangun Jakarta. Bagi rakyat, panggung debat merupakan cara agar rakyat tidak membeli "kentang busuk dalam karung".

Di zaman ketika semua hal dipertandingkan—mulai adu jotos dalam tarung bebas penuh darah sampai lomba tarik suara antar-penyanyi dangdut Pantura—adu debat kandidat gubernur asyik ditonton juga. Paling tidak kesan itu tampak dari seri pertama debat pada Jumat pekan lalu di sejumlah stasiun televisi dan 15 Desember lalu di Kompas TV—yang terakhir ini tak dihadiri pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Agus pada Jumat pekan lalu terlihat tak rileks—ia menyampaikan gagasan yang terkesan dihafal. Gemar menyelipkan kutipan kalimat bahasa Inggris, ia juga tampak terburu-buru. Argumennya kurang kokoh, misalnya ketika program unggulannya, yakni bantuan tunai langsung, diserang lawannya—termasuk bantuan Rp 1 miliar per tahun untuk setiap kecamatan dan penyediaan dana bergulir. Pembelaan Agus: mereka yang menolak bantuan tunai langsung untuk yang miskin benar-benar tidak punya hati dan selalu curiga kepada rakyat.

Seperti lazimnya, pasangan inkumben selalu memamerkan data keberhasilan. Basuki Tjahaja Purnama menunjuk Indeks Pembangunan Manusia di Jakarta yang sudah mencapai 78,99. Jakarta, kata Ahok, hanya kurang sedikit dari batas bawah negara-negara maju. Orang miskin di Jakarta hanya tinggal 3,75 persen jumlah penduduk. Setiap anak Jakarta yang lolos saringan masuk perguruan tinggi negeri mendapat subsidi Rp 18 juta per tahun.

Ada yang agak berbeda dari Ahok. Lebih dari sekali ia menyatakan tekadnya untuk lebih santun sebagai pejabat publik. Rupanya, ia sadar akan kritik orang yang selama ini menyebut bicaranya kurang santun. Tapi Ahok rupanya tak tahan berlama-lama: ia kembali sesumbar ketika menyebut Anies Baswedan dosen yang belum punya banyak pengalaman lapangan.

Pasangan Anies dan Sandiaga Uno, yang tampil cukup santai, mengedepankan pembangunan manusia Jakarta seutuhnya. Anies membuka data penting yang didapatnya. Kalau memakai ukuran pendapatan Rp 487 ribu sebulan, penduduk miskin Jakarta memang hanya 3,75 persen—atau sekitar 384 ribu orang. Tapi, kalau memakai batas pendapatan Rp 1 juta sebulan, angka penduduk miskin Jakarta melonjak menjadi 3,5 juta orang. Anies dan Sandi memaparkan bahwa satu dari tiga anak Jakarta tidak mampu menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas. Bahkan di Kepulauan Seribu, menurut Anies, 65 persen anak didik tidak lulus SMA.

Ahok dan Djarot Saiful Hidayat menangkis. Ahok menunjukkan, angka partisipasi sekolah di Jakarta naik lima persen setahun—sementara di tingkat nasional, kata dia, hanya naik satu persen. Dia bilang angka putus sekolah tingkat SMA hanya 0,5 persen. Pasangan ini juga melontarkan data, sudah Rp 2,5 triliun yang mereka kucurkan untuk berbagai subsidi, misalnya daging dan bahan pokok lain, untuk mencukupi kebutuhan gizi orang Jakarta.

Anies juga mengkritik program Ahok yang hanya mengutamakan "dompet, perut, dan otak". Anies mempertanyakan pembangunan akhlak dan moral, yang dinilainya luput dari perhatian Ahok. Kata Anies, "Saya tidak ingin hanya membangun benda mati," tapi mengutamakan benda hidup, yaitu manusia Jakarta.

Harap maklum, tak pernah ada kampanye yang menjual kecap nomor dua. Semua menjual kecap nomor satu. Sejauh ini, panggung debat memang memungkinkan mereka "berjualan yang baik-baik" saja, bahkan tergolong "ramah" kepada para kontestan. Kepada Ahok, misalnya, tidak ditanyakan soal kasus dugaan penistaan agama yang dialaminya. Kepada Anies dan Agus juga tidak ditanyakan latar belakang kunjungannya ke markas Front Pembela Islam, yang selama ini dikenal sebagai organisasi garis keras.

Di bilik suara, pada 15 Februari nanti, semua janji dan bujuk rayu dari panggung debat akan dibuktikan keampuhannya. Di Jakarta, pemilihan kali ini ditandai satu hal penting: Ahok bertanding dengan "handicap" besar. Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama, gara-gara berbicara tentang Surat Al-Maidah ayat 51, November tahun lalu, Ahok ditolak berkampanye di beberapa tempat.

Sebagai inkumben, di panggung kampanye, Ahok tampak paling menguasai masalah. Sayangnya, survei mengatakan hanya 70 persen penduduk Jakarta puas akan kerjanya—approval rate yang rendah untuk seorang petahana. Tingkat keterpilihan Ahok jauh lebih kecil dari angka itu. Menurut survei, sejauh ini perolehan suara tiga pasangan berimbang. Tapi ada sekitar 15 persen pemilih Jakarta yang masih ragu-ragu. Kelihatannya undecided voter inilah yang akan menentukan kemenangan satu dari tiga kandidat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus