Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kendala pemberantas tbc secara aktif

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter R.H. Jachja Sunabrata (TEMPO, 20 Maret 1993, Kontak Pembaca) menyarankan agar PPTI dan Pemerintah lebih meningkatkan usaha pemberantasan TBC secara aktif. Itu bisa dilakukan secara dari rumah ke rumah, sebagaimana pernah dilakukan di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, sekitar 10 tahun lalu. Atau melalui mass chest survey (MCS), yakni pemeriksaan massal paru de ngan rontgen, sebagaimana dilakukan Frimodt Muller di India 25 tahun lalu. Itu diakhiri dengan frustrasi besar. Sebab, sekalipun disediakan obat selengkap mungkin, ratusan penderita TBC yang ditemukan tak berhasil disembuhkan. Para petugas kesehatan India kewalahan menangani penderita yang berjumlah begitu besar di daerah yang begitu luas. Lagi pula penderita TBC yang telah merasa sehat enggan berobat secara teratur. Menjelang tahun 1980, Belanda dan negara-negara Eropa Barat lainnya juga telah menghentikan pemeriksaan terhadap penduduknya untuk menemukan penderita TBC. Sebab, jumlah penderita yang dijaring lewat MCS jauh lebih kecil ketimbang jumlah yang berobat ke dokter keluarga dan dirujuk ke biro konsultasi pemberantasan TBC. Bagaimana perspektif pemberantasan TBC aktif di Indonesia? Mencari penderita TBC secara aktif pasti akan menambah jumlah penderita yang perlu diobati. Siapkah sa rana kesehatan atau puskesmas untuk itu? Dapatkah dijamin bahwa persediaan obat anti-TBC selalu ada bagi penderita TBC menular yang ditemukan? Sebab, buat apa mencari penderita jika tak diobati sampai sembuh? Berdasarkan keterangan Menteri Kesehatan pada kongres PPTI November lalu, terdapat 519.000 penderita TBC menular di Indonesia. Obat anti-TBC yang disediakan Pemerintah hanya 103.000 paket. Itu belum cukup untuk mengobati 20% dari semua penderita. Agar upaya pemberantasan TBC bermakna, sesuai dengan target WHO, jumlah yang perlu ditemukan minimal 70% dari penderita TBC menular, dan yang disembuhkan minimal 85 persen. Bagaimana situasi pemberantasan TBC di Jakarta? Melayani sekitar 8,2 juta warga (menurut Kesehatan dalam Angka, tahun 1991, terbitan Dinas Kesehatan DKI Jakarta), 304 puskesmas, termasuk 43 puskesmas kecamatan, baru berhasil menemukan 2.361 orang atau 19,2% penderita TBC menular di Jakarta. Itu berarti masih jauh di bawah target WHO. Herankah kita bila pemberantasan TBC selama 25 tahun ini ''tidak menghasilkan perubahan''? Pemberantasan TBC secara aktif tidak hanya berarti menambah pusat-pusat pembe rantasan TBC dan peningkatan mutu pelayanan terpadu, tapi juga assessment program pemberantasan secara berkala, sehingga tak ada lagi keluhan penderita TBC yang ''tidak sembuh-sembuh jika berobat ke puskesmas''. Sayang jika TBC, yang sebagai penyebab kematian umum penduduk Jakarta menempati peringkat keempat, dan kembali menjadi ''momok'' dalam era wabah HIV/AIDS, disepelekan. Profil Kesehatan Indonesia terbitan Departemen Kesehatan RI tahun 1991, misalnya, memuat data lengkap mengenai semua penyakit menular di Indonesia, kecuali data mengenai pemberantasan TBC. Quo vadis TB Control Indonesia? DR. MUHERMAN HARUN Taman Aries E 12/8 Jakarta 11620

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus