BUKAN baru kali ini TEMPO mengetengahkan laporan utama tentang Festival Film Indonesia. Bahkan, beberapa kali, kami pernah membentuk tim penilai tersendiri, yang mencari film-film nasional yang layak diunggulkan dan sekaligus menyusun rangking, sementara FFI berjalan. Maksud kami memang menyodorkan semacam alternatif sambil menyadari bersama-sama bahwa makin banyak suara, pendapat, dan perbincangan, wawasan justru bisa semakin kaya. Tak ada yang mutlak untuk hal yang tidak mutlak. Tapi bila kemudian "juri-juri TEMPO" tidak bekerja setiap tahun, itu pun sejalan saja dengan perkembangan film nasional yang dijurii. Film kita seperti mandek -- bahkan menurun, setidak-tidaknya di hari-hari kemarin. Begitu banyaknya pendapat, kritik, saran, keprihatinan, diskusi, tapi "anjing menggonggong, insan perfilman berlalu". Mendengar pun barangkali tidak. Agaknya tak salah bila dikatakan bahwa warna segar baru terlihat setelah masuknya lebih banyak tenaga dari dunia teater -- yang dimulai dari Teguh Karya, kemudian Arifin C. Noer, Chaerul Umam, Slamet Rahardjo .... Dan kini, pada FFI yang baru usai mayoritas Piala Citra bahkan dipegang orang-orang panggung. Mengapa, kiranya? Barangkali karena dalam teater ada studi, latihan, kerja keras. Setidak-tidaknya bukan pengandalan pada anugerah wajah, misalnya saja, sesuatu yang hanya bisa memudar dan bukan berkembang. Kebiasaan insan perteateran mempersiapkan pementasan berbulan-bulan, untuk waktu main yang hanya beberapa malam, paling-paling di depan seribu dua ribu penonton, ditambah keharusan "mempertanggungjawabkan mutu" diantara sesama insan yang suka menghajar, baik tertulis maupun dalam debat yang bisa seru, tentunya budaya yang cukup sehat bila tetap mereka dukung sebagai insan perfilman. Ya, meskipun para pemegang Citra, misalnya terhitung insan-insan yang itu-itu juga. Salim Said, insan perfilman yang ada di TEMPO (ia doktor ilmu politik yang juga menulis buku Profil Dunia Film Indonesia, menjadi juri FFI 1977, dan sejak mula menulis kritik film di majalah ini), tidak melewatkan hal itu dalam laporan utama yang seluruhnya dikerjakannya sendiri kali ini. Tapi tak hanya itu persoalannya. Dari segi struktur dunia film, situasinya tetap saja tidak bergerak dari masa sebelum insan permajalahan yang satu ini menulis bukunya. Di mana, lalu, inti masalahnya? Untuk laporan utama ini Salim Said dibantu dalam pengumpulan bahan oleh banyak insan reporter: Bunga Surawijaya, Moebanoe Moera, Sayadi, dan beberapa insan yang lain. Nah, silakan, Insan Pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini