SEMANGAT efisiensi dari Inpres 4 dan Paket Enam Mei rupanya sampai pula ke Departemen Kehakiman. Seusai diterima Presiden, Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengumumkan, mulai 1 Agustus orang yang akan pergi ke luar negeri akan memperoleh izin berangkat dan kembali (exit permit and re-entry) yang lebih longgar. Bagaimana tidak, sekarang orang yang hendak "jalan" tidak perlu selalu minta exit permit. Bahkan exit permit yang semula hanya berlaku tiga dan enam bulan, untuk satu kali perjalanan, kini berlaku enam dan dua belas bulan untuk beberapa kali perjalanan. Tujuannya memang untuk meningkatkan investasi dan ekspor nonmigas, ujar Menteri. Sehingga seorang pengusaha yang harus bolak-balik ke luar negeri mengurus bisnisnya cukup sekali mengurus izin berangkat untuk satu tahun. "Sebab, mengurus izin itu selain bisa mengganggu kegiatan bisnis, 'kan menjengkelkan," kata Mayjen Soelarso, Direktur Jenderal Imigrasi. Kebijaksanaan baru lain yang juga tak kalah pentingnya adalah pembebasan visa selama dua bulan bagi pengunjung yang datang ke Indonesia dari 29 negara, seperti Jepang, Jerman Barat, Inggris, Prancis, dan Spanyol. Ini berarti Indonesia menambah 24 negara bebas visa setelah sebelumnya Indonesia juga membebaskan visa bagi pengunjung yang datang dari lima negara ASEAN. Kebebasan visa seperti itu kini bisa juga dinikmati oleh pemegang paspor Taiwan dan Hong Kong, dengan masih ada beberapa pembatasan. Bagi pengunjung dari Taiwan, selain visa bebas ini hanya berlaku untuk 30 hari, mereka harus datang secara berombongan, minimal tiga orang. Sedangkan untuk pengunjung dari Hong Kong, selain jumlah rombongan minimal harus 10 orang, mereka hanya boleh masuk melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dan harus menginap di hotel (lihat Kini tanpa Monopoli). Memang meskipun kebijaksanaan diperlonggar, rupanya pihak Imigrasi tetap bertindak ketat. "Kewaspadaan tetap dipakai," kata Soelarso. Makanya, daftar Cekal (Cegah dan Tangkal), yakni daftar nama orang-orang yang harus dicegah masuk ke Indonesia, dan orang-orang yang perlu ditangkal untuk pergi ke luar negeri, tetap ditinjau setiap enam bulan. Apalagi saat ini pemerintah sedang giat-giatnya menggalakkan perdagangan dengan negara-negara Sosialis. Menurut Soelarso, visa bebas dua bulan tidak berlaku bagi pengunjung dari negara-negara Sosialis. Dan mereka tetap diharuskan menggunakan visa biasa yang berumur 35 hari. Bahkan untuk menghadapi mereka, imigrasi tampaknya akan bertindak ekstra ketat. Sebab, selain untuk pengamanan telah bekerja sama dengan Bakin, direncanakan dalam waktu dekat tiga pelabuhan utama Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan Polonia akan dilengkapi peralatan monitor yang cukup canggih. Sehingga, orang-orang yang terlarang keluar-masuk Indonesia akan mudah dipantau. Turunnya kebijaksanaan baru ini, kendati belum berlaku karena belum ada petunjuk pelaksanaannya, tetap disambut hangat. Terutama oleh para pengusaha. Seperti yang dikemukakan Moetaryanto, direktur eksekutif yang memimpin tiga pabrik Coca-Cola dan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan. Sebagai eksekutif, Moetaryanto memang termasuk yang sering melakukan perjalanan ke luar negeri, "Rata-rata hampir 24 kali dalam setahun," ujarnya. Jadi, wajar kalau ia menganggap kebijaksanaan baru ini sebagai hal yang menguntungkan "Diperpanjangnya masa berlaku exit permit menjadi setahun menandakan sekarang swasta lebih dipercaya oleh pemerintah," ujarnya. Moetaryanto yakin selain aturan baru ini bisa lebih mengefisiensikan kerjanya sebagai pengusaha, juga frekuensi perdagangan timbal balik akan meningkat. PERNYATAAN yang sama dikemukakan juga oleh Rieka Suatan Fatimah Direktur Utama PT Andikarela, yang bergerak di bidang kontraktor dan ekspor-impor. Menurut Rieka, peraturan lama memang membikin pengusaha kurang bebas bergerak. Misalnya, sering terjadi urusan di luar negeri belum selesai, pengusaha harus pulang dulu untuk menyelesaikan bisnis di dalam negeri. "Nah, kalau kita akan balik lagi ke sana, terpaksa mengurus izin lagi, 'kan repot," tutur Rieka yang sering kali melakukan perjalanan ke luar negeri. Sekalipun kebijaksanaan ini diutamakan buat para pengusaha, tentunya tidak semua pengusaha merasa beruntung. Misalnya, perusahaan-perusahaan biro perjalanan yang menjadikan pengurusan exit permit sebagai salah satu bisnis mereka. Untuk setiap pengurusan exit permit, mereka biasa menetapkan tarif Rp 10 ribu-Rp 25 ribu, kendati harga resmi formulir izin berangkat ini hanya Rp 500. Vaya Tour, misalnya, dalam setahun biasa mengurus sampai ratusan exit permit para langganannya. "Pengurusan exit permit memang cukup mendatangkan hasil yang lumayan, tapi itu bukan bisnis pokok kami lho," kata P. Hadisusanto, Direktur Vaya. Dengan adanya peraturan baru, otomatis pendapatan pun akan berkurang, karena orang yang minta diuruskan makin jarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini