Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Siapa sebenarnya pembaru ?

Tanggapan hasbullah bakry terhadap nurcholis madjid dinilai terlalu unjuk diri dan banyak yang tidak relevan, seperti masalah keandalan fiqhiyah nurcholis dan harun, masalah filsafat, dst. (kom)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komentar (TEMPO 19 Juli) berjudul Pembaruan Ajaran Islam: Jasa Nurcholish dan Harun? Jawabannya cukup sederhana: itu jasa terpadu atas itikad baik umat Islam Indonesia. Ada benarnya tanggapan Akhoya Hasbullah Bakry, S.H., tapi kesalahannya juga banyak. Yaitu mengklaim, seolah-olah, itu jasanya pula secara pribadi dengan macam-macam karya tulis yang belum tentu karya tulis itu dibaca orang. Selayaknya, Akhoya Hasbullah (tidak bermaksud mengurui) sebagai seorang sarjana dan guru besar, mbok ya, menulislah suatu tanggapan yang mencerminkan dua atribut ini dengan tidak secara emosional dan unjuk diri, setidaknya, dengan penampilan data-data ringan. Kalaupun, misalnya, yang ditulisnya itu benar -- menurut anggapan beliau -- tapi bisa jadi pembaca menganggap tidak benar. Sebab, Akhoya mengungkapkan itu secara demonstratif, unjuk diri, dan terlalu tinggi kadar 'siapa akunya'. Padahal, belum tentu bisa pula semuanya terakui. Ada beberapa hal yang diungkapkan itu tidak nyangkut dengan permasalahan inti. 1. Menyinggung masalah keandalan fiqhiyah (muqaranah mazahib, segala) di dalam menarik historis pembaruan pemikiran penerapan ajaran Islam di Indonesia sebagai inti masalah. Padahal, masalah fiqhiyah adalah masalah salah satu paket dari studi keislaman yang tidak terkait secara langsung dengan 'penarik gerbong'. Kalau ditanyakan kepada dua sasaran yang dimaksudkan Akhoya Hasbullah, yaitu Nurcholish dan Harun, tentu mereka berdua sudah in mind yang namanya muqaranah mazahib segala, dan tetek bengek khilafiyah. Malah, soal yang diandalkan ini, kami kira (sejauh melihat karya tulis Akhoya dan kepustakaan Nurcholish, Harun) masih bisa menggurui Akhoya Hasbullah sendiri. Mereka sudah jauh berpikir meninggalkan Akhoya, kalau masalah fiqhiyah dan khilafiyah diperlarut, akan bisa menyuramkan dan memandekkan konsep pembaruan Islam dengan studi lapangan historis ratusan tahun Islam di Indonesia. Atau, ribut-ribut di dalam masalah fiqhiyah, sama dengan konsep Snouck -- dalam salah satu dokumennya yang terbaca pada 1932 -- untuk merontokkan rasa sadar umat Islam Indonesia menata kehidupan keagamaannya lebih baik. 2. Masalah inti kita, lagi pula, bukan membawa-bawa studi filsafat macam-macam dengan Kant dan Agustinus segala. Masalah kita, masalah yang realistis yang bukan mengawang dan mengudara berlanglang buana dengan roh-roh dan ide orang yang meninggal. Untuk mereka ini, barangkali, cocok dengan zamannya, sedang untuk zaman masa kini, yah, apa yang menjadi kenyataan dan apa yang menjadi historis kenyataan itu sebelumnya. 3. Menyebut-nyebut unsur ABRI dengan rohaniwannya dengan contoh menumpulkan keruncingan antara Muhammadiyah dan NU, sengketa Kaum Tua dan Kaum Muda, dan rohaniwan Islam ABRI itulah tempat bertanya Hankam/ABRI/Colkar dan jenderaljenderalnya . . . dan seterusnya. Lagi-lagi, terlihat nada emosional yang cukup tinggi dari Akhoya, yang barangkali, di antara perwira tinggi yang membacanya, bisa tertawa. Sebab, tidak sejauh itu yang menjadi tuas pokok rohaniwan ABRI. Bisa kita baca tugas pokok ini di dalam produk kebijaksnaan yang sekarang atau dengan mengungkap tugas pokok ini dalam struktur organisasi tempo doeloe yang file serta data-datanya dapat dilihat di dalam perkembangan Pusroh ABRI dari dulu hingga sekarang melalui Himpunan Peraturan-Peraturan sejauh yang pernah kita tanyakan. Sekalipun bisa jadi sebagian kecil ada benarnya, tidak semua sebagaimana statemen yang disampaikan itu disebut pas. Baik orang yang tahu partisipasi Pusroh ABRI maupun mbahnya langsung akan menggeleng-gelengkan kepala dengan kenekatan Akhoya Hasbullah menampilkan tanggapan dan pernyataan seperti itu. Sebab, orang-orang yang tahu persis tentang Pusroh ABRI, yang sekarang masih hidup, bisa ditanya, malah mereka lebih tahu akan pribadi Akhoya sendiri (siapa?) daripada Akhoya sendiri yang barangkali (maklumlah) agak plus 'mawas luar' dan minus 'mawas diri'. Akhirnya, kita kembali ke masalah inti untuk menjawab 'siapa yang menarik gerbong?' Uraian Akhoya via komentar itu kalau sekiranya disampaikan tidak secara emosional, nilainya cukup tinggi (sebagian). Dan, kalau Akhoya ungkapkan secara faktual dan rasional (bukan nyambil unjuk diri), sebagian ada yang benar, dan sebagian (maaf) ada yang salah. Jawaban yang valid, itu tadi: jasa terpadu (segala unsur) itikad baik umat Islam Indonesia, termasuk tabi'in, tabi'ut-bbi'in-nya dan muassis (initiatif nemeer-nya) yang tidak satu dua orang, tapi banyak orang. Logis, 'kan. (Nama dan Alamat pada Redaksi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus