Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden terpilih Joko Widodo baru saja mengumumkan jumlah kementerian yang akan menghuni kabinetnya. Dia mengatakan kabinetnya akan diisi 18 orang profesional dan 16 profesional partai.
Sejumlah nama yang berasal dari kalangan nonpartai mulai muncul untuk masuk kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla. Nama-nama seperti Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Gadjah Mada Pratikno, dan Direktur PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan pun mencuat.
Adapun partai-partai telah mengusulkan jago mereka untuk masuk kabinet. Keinginan rakyat agar Jokowi membentuk kabinet kerja yang diisi kaum profesional tampaknya sulit terwujud. Tempo pernah menyajikan bagaimana Presiden Soeharto mengubah kabinetnya pada September 1971 dengan menempatkan orang-orang profesional di dalamnya.
Perubahan mendadak yang dibuat Soeharto pada saat itu cukup membuat kaget beberapa pihak, termasuk pimpinan Partai Nasional Indonesia, M. Isnaeni. Dia tak menduga perubahan kabinet akan dilakukan Soeharto dalam waktu yang cepat. Padahal saat itu digambarkan bahwa empat ahli ekonomi pada malam harinya masih menjelaskan tentang latar belakang "penyesuaian kurs" rupiah kepada wartawan senior di rumah Dr Emil Salim di Jalan Tosari, Jakarta Pusat.
Mereka kemudian tergesa-gesa mengakhiri pertemuan karena harus menghadap Presiden di Jalan Cendana. Namun saat itu wartawan tak bisa menduga ada apa. Apalagi Widjojo Nitisastro dan Radius Prawiro masih tetap bersama wartawan hingga pukul 21.00. "Itu menunjukkan bahwa kami sendiri sebelumnya tidak menduga," kata salah seorang teknokrat yang kemudian duduk di kabinet.
Presiden Soeharto sejak sebelum 17 Agustus 1971 sudah menyiapkan rencana untuk memperbarui susunan kabinetnya. Tidak semua menteri diberi tahu rencana tersebut. Menteri Penerangan Budiardjo, misalnya, konon termasuk orang yang mendapat informasi terakhir soal pembaruan Kabinet Pembangunan itu. "Pak Bud mengucapkan alhamdulillah setelah pengumuman selesai dan ia mengucapkan terima kasih pada Presiden," ujar seorang pejabat Sekretariat Negara kala itu.
Yang paling mencolok dari perubahan kabinet itu adalah bertambahnya jumlah teknokrat dan berkurangnya jumlah menteri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam hal itu. Meskipun Indonesia masih suka dituduh negara militer, Soeharto telah menunjukkan bahwa "dwifungsi" ABRI tidak dengan sendirinya berarti orang-orang ABRI memegang jabatan sipil.
Sementara Kabinet Ampera, yang dibentuk pada 25 Juli 1966, terdiri atas 24 menteri dengan 12 di antaranya perwira tinggi, Kabinet Pembangunan yang dibentuk Juni 1968 hanya 7 orang dari militer yang duduk di kursi menteri. Hampir separuh dari jumlah menteri berasal dari universitas. Dan, sejak 9 September 1971, jumlah itu menanjak. Keahlian prestasi dan nama baik para teknokrat itu tampaknya dianggap penting buat mengatasi problem yang semakin kelihatan.
Namun kritik juga meluncur. Setelah menghubung-hubungkan para teknokrat dengan modal asing yang "bukan lawan bagi pengusaha-pengusaha bumiputra yang kecil", harian Merdeka menyimpulkan bahwa para teknokrat yang dulu "di belakang kelir" itu kini "telah menjadi raksasa yang seru dan hebat".
Diangkatnya Widjoko, Emil Salim, Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan lain-lain dalam kabinet itu memang bisa menimbulkan harapan yang lebih pada mereka. Namun sebenarnya tidak ada yang baru dari peran mereka. "Tidak ada kenaikan kurs kaum teknokrat dalam pengangkatan itu," kata seorang perwira tinggi Pertahanan dan Keamanan kepada Tempo. "Sebab, hubungan mereka dengan Pak Harto sudah terjalin lama. Dengan kalangan ABRI sejak sebelum 1965 dan dengan Pak Harto sejak 1966. Dan, selama itu, tumbuh saling percaya yang makin kuat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo