Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Biarkan pengacara yang Menentukan

Dewan Perwakilan Rakyat ngebut menyelesaikan revisi Rancangan Undang-Undang Advokat. Lebih baik dihentikan.

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWAN Perwakilan Rakyat tak perlu ngotot mengesahkan Rancangan Undang-Undang Advokat yang kini sedang mereka bahas. Sangat percuma jika rancangan itu diketuk tapi kemudian memicu banyak masalah. Para politikus itu sebaiknya menunda dan meminta pendapat lebih banyak pakar hukum, akademikus, juga dan terutama organisasi pengacara sendiri.

Pekan lalu, para pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) berunjuk rasa meminta DPR mendengarkan aspirasi mereka. Organisasi yang lahir pada 2004-setahun setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat-itu berencana turun ke jalan lagi jika pekan-pekan ini DPR tetap berupaya mengegolkan RUU tersebut.

Ada dua hal yang dinilai paling krusial dalam rancangan ini, yakni perihal organisasi advokat dan adanya lembaga "Dewan Advokat Nasional". Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang menunjuk organisasi pengacara "menganut" sistem single bar, RUU memberi kebebasan pengacara-dengan syarat minimal 35 orang-mendirikan organisasi advokat.

Sistem multi-bar itulah yang ditentang Peradi, wadah tunggal advokat yang dilahirkan oleh delapan organisasi pengacara, antara lain Ikatan Advokat Indonesia, Asosiasi Advokat Indonesia, dan Serikat Pengacara Indonesia. Peradi menilai multi-bar akan menyulitkan kontrol kualitas dan pertanggungjawaban seorang pengacara. Mereka dengan mudah pindah ke organisasi lain jika bermasalah dengan organisasinya.

Peradi sendiri kini pecah. Sejumlah anggotanya, dimotori antara lain oleh Adnan Buyung Nasution, mendirikan Kongres Advokat Indonesia. Alasan yang dikemukakan Peradi sepintas masuk akal. Namun, perlu diingat, "wadah tunggal" kini bukan zamannya lagi. Setiap orang, seperti tertulis dalam konstitusi, berhak mendirikan organisasi. Dengan semakin banyak organisasi, masing-masing terpacu mendidik anggotanya menjadi pengacara andal. Kelak, biarlah masyarakat pengguna jasa mereka yang menilai: mana organisasi dengan pengacara yang membela kebenaran dan mana organisasi yang memiliki pengacara sekadar "maju tak gentar membela yang bayar".

Rancangan ini juga menunjuk Dewan Advokat Nasional sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dan kekuasaan tinggi, dari menetapkan standar pendidikan advokat hingga menjatuhkan sanksi. Pasal 43 RUU itu menyatakan kesembilan anggota dewan tersebut dipilih DPR atas usul presiden. Mereka tak mesti pengacara, bisa dari kalangan politikus, sejauh paham hukum dan tak memegang jabatan di partai.

Di sini kita menilai DPR kebablasan. "Semangat"-nya sebagai lembaga yang menaungi organisasi advokat mungkin benar. Namun, sebagai organisasi profesi yang mandiri dan bebas dari kepentingan apa pun, semestinya pengurus dewan seperti ini dipilih oleh dan dari kalangan pengacara sendiri. Tak perlu campur tangan pemerintah, apalagi melalui DPR-yang kita tahu selalu sarat kepentingan pribadi dan politik. Sangatlah lucu dan aneh jika pucuk pimpinan lembaga advokat adalah para politikus.

RUU itu memang memancing kontroversi. Karena itu, dengan masa kerja DPR yang tinggal menghitung hari, lembaga ini sebaiknya memasukkan kembali RUU tersebut ke dalam laci badan legislasi. Biarkan anggota Dewan periode berikutnya, dengan kepala lebih dingin, yang membahasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus