Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Umpan Lambung Potong Anggaran

22 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGERA memimpin pemerintahan baru, presiden terpilih Joko Widodo tak punya banyak pilihan selain mengetatkan anggaran. Salah satunya memotong elemen ongkos perjalanan dinas yang besarnya fantastis. Upaya ini, selain dapat menyelamatkan duit negara, bisa menyehatkan birokrasi.

Total biaya perjalanan dinas pemerintah pusat mencapai Rp 35,17 triliun. Angka yang tertera dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 ini naik sekitar 30 persen dibanding tahun lalu. Biaya yang besar itu mencakup paket rapat luar kota Rp 11,94 triliun, tapi belum termasuk ongkos perjalanan luar negeri sebesar Rp 2,79 triliun.

Sudah selayaknya Jokowi melemparkan masalah sensitif itu ke publik. Teknik umpan lambung itu-seperti yang kerap ia lakukan saat memimpin Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta-banyak faedahnya. Dengan cara ini, rakyat mengetahui persis komposisi anggaran negara dan diharapkan mendukung perubahan yang hendak ia lakukan.

Bersama wakilnya, Jusuf Kalla, Jokowi mesti mengotak-atik anggaran agar bisa mewujudkan program Nawacita yang mereka janjikan dalam kampanye. Mereka ingin memberikan jaminan sosial lebih besar kepada rakyat lewat program Kartu Pintar dan Kartu Sehat. Pembangunan infrastruktur yang selama ini macet juga akan digerakkan lagi.

RAPBN 2015 yang disusun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memang besar-mencapai Rp 2.019 triliun-tapi keropos dan sulit memicu pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar anggaran dihabiskan untuk belanja pemerintah pusat dan subsidi energi- subsidi bahan bakar minyak Rp 274 triliun dan subsidi listrik Rp 72 triliun. Dana yang tersisa buat infrastruktur hanya Rp 118 triliun. Angka ini dialokasikan kepada dua kementerian, yakni Kementerian Pekerjaan Umum Rp 74 triliun dan Kementerian Perhubungan Rp 44 triliun.

Presiden Yudhoyono seharusnya menyelesaikan dua masalah penting itu: subsidi energi dan pemborosan belanja birokrasi. Tapi, alih-alih menaikkan harga BBM, pemerintah memilih upaya menghemat BBM-meski belakangan terbukti tak berhasil. Adapun reformasi birokrasi belum banyak dilakukan kecuali menyusun road map di setiap kementerian sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.

Kendati imbalan bagi pegawai negeri sudah dinaikkan di sejumlah kementerian, langkah ini juga belum membuat penyakit birokrasi hilang. Para pejabat tetap berebut proyek dan kegiatan. Mereka memanfaatkan segala peluang untuk menambah penghasilan, termasuk menggelembungkan biaya dinas perjalanan.

Lambannya reformasi birokrasi itu terlihat dari berbagai indikator. Pada 2013, indeks persepsi korupsi negara kita adalah 32 (dari skala 100)-di bawah Singapura (87), Brunei (55), dan Malaysia (49). Adapun indeks efektivitas pemerintahan terpuruk di angka minus 0,3.

Tingkat penggunaan Internet dalam pelayanan birokrasi juga masih rendah. Sesuai dengan E-Government Development Index 2014, negara kita jauh tertinggal dibanding Malaysia dan Sri Lanka. Padahal pemakaian Internet penting untuk meningkatkan pelayanan publik secara efisien sekaligus mendongkrak penerimaan pajak negara.

Gaya kepemimpinan Jokowi cukup efektif saat menjadi Gubernur Jakarta. Ia bersama wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, sengaja membongkar berbagai persoalan, termasuk kebobrokan birokrasi daerah, kepada publik, dengan harapan mendapat sokongan orang ramai. Pembenahan yang disokong publik terbukti mampu menekan pemborosan sekaligus menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) hingga 36 persen dalam setahun. Saat ia dilantik sebagai gubernur, PAD Jakarta hanya Rp 22 triliun. Tahun lalu, angka ini sudah berubah menjadi Rp 30 triliun.

Taktik berkoalisi dengan publik itu bisa diterapkan lagi kendati mesti ekstra-hati-hati. Tekanan parlemen dan birokrasi di DKI tentu berbeda dengan tekanan serupa di level nasional. Tak cukup mengandalkan dukungan publik, ia tidak boleh mengabaikan sokongan dari partai politik pengusungnya. Ia juga mesti berkomunikasi dengan partai politik dalam Koalisi Merah Putih-pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden lalu.

Jangan ragu berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk perbaikan birokrasi. Gaya kepemimpinan Jokowi akan tetap manjur apabila ia mampu merangkul sebanyak mungkin kawan untuk memperbaiki Republik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus