Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Siam di Tangan Sang Dewa Timur

Bagi masyarakat Siam, Mongkut bukan hanya seorang raja, tapi juga dewa. Dia mereformasi pemerintahan dan membawa Thailand dalam pergaulan internasional.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuhnya begitu tipis. Raut wajahnya renta dihias sebaris kumis putih di bawah hidungnya. Hanya pakaian dan tongkat yang digenggamnya yang membedakan dia dengan rakyat Siam. Namun, pada usianya yang senja, dia tahu, dia telah menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa Thailand. Gaya kepemimpinan yang terbuka terhadap Barat membuat negaranya menjadi negara di Asia Tenggara yang tak terjamah imperialisme Eropa. Raja Mongkut, yang dikenal dengan nama Rama IV, adalah penerus dinasti Chakri, yang didirikan panglima militer Chakri atau Rama I pada 1782. Meski Mongkut anak ke-43 dari Raja Rama II, karena dia merupakan anak pertama laki-laki dari ratu, dialah yang kemudian menjadi ahli waris takhta. Dia dipanggil Chao Fah Mongkut, yang berarti Pangeran yang Agung. Hingga usia sembilan tahun, Mongkut tinggal di istana dekat Sungai Chao Phraya. Di sana dia mendalami agama Buddha, belajar menunggang kuda atau gajah, dan berlatih menggunakan senjata. Pada usia 12 tahun, ayahnya menempatkannya di militer Thailand. Rama II memang mempersiapkannya menjadi penggantinya. Namun, saat ayahnya meninggal pada 1824, Mongkut, yang masih berusia 20 tahun, dianggap belum layak memangku jabatan agung itu. Dewan kerajaan memutuskan untuk memilih Phranangklao, kakak tiri Mongkut yang tujuh tahun lebih tua, menggantikan Rama II. Selanjutnya, Mongkut menghabiskan waktunya di biara Buddha selama hampir 27 tahun. Saat itu, ia menaruh minat yang besar terhadap bahasa dan ilmu pengetahuan, terutama astronomi. Dia mendalami bahasa Inggris dan bahasa Latin. Ia juga mempelajari agama Katolik Roma. Mongkut kembali ke istana ketika Raja Rama III meninggal pada 1851. Ia langsung naik takhta saat berusia 46 tahun. Gaya pemerintahan Mongkut amat berbeda dengan raja Siam sebelumnya. Dia bersahabat dengan Barat. Tak jarang ia mengundang diplomat Eropa dan memperkenalkan inovasi Barat ke dalam kerajaannya. Tak percuma jika ia menguasai bahasa Inggris, Prancis, dan Latin sefasih bahasa Siam, Pali, ataupun Sanskrit. Suatu ketika ia pernah bergurau, "Orang-orang Inggris tak dapat mengerti bahasa ketika saya berbicara dalam bahasa Inggris." Keterbukaan dalam pemerintahan Mongkut dimulai dari empat tahun pertama pemerintahannya, yakni saat Mongkut membuka hubungan dengan Inggris melalui Perjanjian Bowring. Ratu Victoria mengirim Sir John Bowring sebagai utusan pribadinya ke Siam untuk menekan diakhirinya perdagangan tertutup dan meminta agar didirikan konsulat Inggris di Bangkok. Kerja sama ini diikuti Amerika Serikat setahun kemudian, yang disusul Prancis, yang mengirim utusan Napoleon III, Montigny, berkunjung ke Bangkok. Tahun berikutnya, giliran Denmark dan Portugal yang menjalin hubungan dengan Siam. Rama IV, yang lahir pada 18 Oktober 1804, juga melakukan pembaruan terhadap tata cara pemerintahan Siam, antara lain dengan mengundang penasihat asing ke dalam pemerintahannya. Pada 1862, Raja Mongkut merekrut Anna Leonowens, seorang janda Inggris, untuk mengajar bahasa Inggris dan pengetahuan lainnya untuk 10 anak-anaknya dari total 82 anak-anak dari 39 istri dan selir. Kedatangan Anna Leonowens berikut pengalamannya yang ditulis di dalam buku harian itulah yang kemudian membuka mata dunia modern tentang sekelumit kisah di dalam Istana Siam zaman itu. Kebijakan Raja Mongkut untuk membiarkan pemikiran asing memasuki istana kemudian mendorong orang asing, termasuk para misionaris, memutuskan untuk menetap di Bangkok. Sebetulnya, membuka hubungan dengan dunia luar bukanlah sesuatu yang tabu bagi bangsa Thailand. Sebagian bangsa Thailand adalah bangsa yang berasal dari bagian selatan Cina yang bermigrasi ke Siam pada abad ke-6. Bangsa ini kerap mendapat gangguan dari negara tetangga, terutama bangsa Burma. Pada 1238, Kerajaan Ayutthaya—kelak bernama Siam—didirikan setelah kepala suku Thailand menggulingkan bangsa Khmer di Sukhothai. Pada abad ke-16, Kerajaan Ayutthaya memulai hubungan dengan bangsa Portugis. Dua abad kemudian poros itu berubah ke Cina dan India. Setelah itu, Kerajaan Ayutthaya ditaklukkan tentara Burma, dan ibu kotanya dibakar. Pada saat itu, muncul seorang panglima militer yang karismatis, bernama Phraya Taksin. Dialah yang berhasil mengusir pasukan Burma pada 1767 dan memindahkan ibu kota ke Thonburi, sebuah kota baru yang terletak di seberang Sungai Chao Phraya. Kota ini relatif lebih sulit ditembus oleh pasukan Burma. Taksin tidak hanya merebut kembali daerah yang semula menjadi area Kerajaan Ayutthaya, tapi juga berhasil meluaskan daerah baru. Pasukannya melakukan aneksasi daerah yang kini menjadi bagian timur laut Kamboja dan daerah sepanjang Sungai Mekong, yang kini dikenal sebagai Vientiane, Laos. Di bagian selatan, Taksin meluaskan wilayah hingga ke bagian utara Semenanjung Malaya. Adapun ke arah utara, mereka merangsek ke Burma. Namun, beberapa tahun kemudian, mental panglima Taksin mengalami kemunduran dan digantikan bekas panglima militernya, Chakri atau Rama I (1782-1809), yang sekaligus menjadi pendiri dinasti Chakri. Belajar dari pengalaman, Rama I menaruh perhatian besar terhadap kolonialisasi bangsa Eropa di kawasan ini. Raja berikutnya membuka hubungan perdagangan dengan Inggris pada 1826. Tujuh tahun kemudian, giliran Amerika Serikat yang membuka hubungan diplomatik dengan Siam. Pengaruh kolonialisme Eropa makin kuat saat Mongkut menjadi raja. Inilah yang tampaknya memperkuat hubungan Siam dengan negara-negara asing. Konsekuensinya, selama abad ke-19 pengaruh Barat pun meningkat di kawasan itu. Semakin lama, Siam terkepung di antara koloni negara Eropa. Prancis di Vietnam sedangkan Inggris di Malaysia siap menerkam Thailand. Langkah pengamanan yang dilakukan Thailand, sesuai dengan konsesi dan hubungan politik di antara negara-negara Eropa, antara lain melepas klaimnya terhadap Kamboja pada 1867. Meski Siam terkesan tunduk pada situasi kolonialisme yang mengancam, toh tindakan itu dapat menyelamatkan negaranya terhadap invasi dari negara kolonial. Kemampuan diplomasi kerajaan Siam yang dikombinasikan dengan reformasi terhadap kerajaan membuat Siam menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang terhindar dari kolonialisme Eropa. Semua itu tak lepas dari peran Raja Mongkut. Namun, kesibukan memimpin rakyatnya tak membuat minat Mongkut terhadap astronomi berhenti. Pada 1868, ia mengajak anaknya, Chulalongkorn, untuk meramalkan datangnya gerhana matahari. Sungguh malang, Mongkut dan Chula, yang masih berusia 15 tahun, terserang malaria. Dalam keadaan sekarat, Mongkut memanggil penasihatnya agar meneruskan pemerintahannya kepada Chulalongkorn, yang akhirnya dapat disembuhkan. Raja Mongkut meninggal tepat pada perayaan ulang tahunnya yang ke-64. Sayangnya, raja yang terpelajar ini tak meninggalkan secuil catatan pun, yang barangkali bisa menjelaskan hubungannya dengan Anna Leonowens yang sesungguhnya. Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus