ADA kabar gembira buat pencari keadilan yang tidak atau kurang
mampu -- khususnya yang tersangkut perkara pidana. Pemerintah,
melalui Departemen Kehakiman, sudah menyediakan dana bantuan
hukum sebesar Rp 300 juta untuk membantu mereka membayar
pembela.
Tentunya hal itu juga boleh merupakan "peringan langkah"
bagi para advokat atau pokrol bambu yang ditunjuk pengadllan
sebagai pembela. Dengan dana itu, menurut Menteri Kehakiman
Mudjono, berarti ada 3000 perkara di seluruh Indonesia yang
dibiayai pembelaannya oleh pemerintah. Atau,.para pembela akan
menerima Rp 100 ribu setiap membela perkara yang terdakwanya
menerima bantuan hukum.
Bagi pencari keadilan di wilayah.Jakarta Pusat, misalnya,
menurut Ketua Pengadilan di situ, H.M. Soemadijono, pemerintah
telah menyediakan dana sebesar Rp 1,8 juta 4 November lalu.
Begitu juga di beberapa pengadilan lain. Tapi, belum lagi sempat
dimanfaatkan, muncul perintah agar pengadilan menangguhkan
pemanfaatan dana tersebut.
Bagi pengadilan di Jakarta perintah penangguhan datang dari
Pengadilan Tinggi Jakarta. Alasannya, "soal administrasi",
seperti dikatakan Bismar Siregar dari Pengadilan Negeri Jakarta
Timur.
Petunjuk pelaksanaan untuk memanfaatkan dana bantuan hukum
sebenarnya telah ada. Yaitu berupa keputusan Menteri Kehakiman
tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum (1 Juni 1980). Tapi,
menurut seorang panitera di salah sebuah pengadilan di Jakarta
petunjuk Menteri tersebut sulit dipraktekkan .
Tak mudah bagi pengadilan, misainya, untuk menentukan
seorang terdakwa adalah termasuk "yang tidak/kurang mampu"
seperti petunjuk Menteri Mudjono. Juga, lanjut panitera tadi,
tatacara mengambil uang di Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) --
yang lazimnya berbelit-belit dan lambat -"bisa-bisa juga malah
memperlambat penyelesaian suatu perkara."
Memang ada 8 fasal dan banyak ketentuan yang merupakan
petunjuk Menteri Kehakiman tentang dana bantuan hukum. Misalnya
pemberian bantuan hukum diselenggarakan hanya melalui Badan
Peradilan Umum. Yaitu diberikan kepada tertuduh yang tidak atau
kurang mampu dalam perkara pidana yang diancam dengan pidana
lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati.
Juga bagi yang diancam deligan pidana penjara kurang dari lima
tahun, tapi "perkara tersebut menarik perhatian masyarakat
luas," demikian Mudjono.
Pernyataan tidak atau kurang mampu membayar pembela, seorang
terdakwa disyaratkan menunjukkan surat keterangan pejabat yang
berwenang,setidaknya oleh kepala desa dan diketahui camat. Dari
situ ketua majelis hakim akan menunjuk dan menetapkan seorang
atau lebih pemberi bantuan hukum. Dan yang namanya "pemberi
bantuan hukum," menurut Menteri Mudjono, "selain advokat juga
pokrol bambu."
Majelis Hakim akan menunjuk pemberi bantuan hukum yang
mempunyai reputasi baik, sanggup memberi bantuan atau jasa
secara cuma-cuma. Sehingga ang yang diterimanya dari dana
bantuan hukum "adalah sekedar merupakan imbalan jasa,
penggantian ongkos jalan, biaya administrasi dan lain
sejenisnya. "
Pengajuan biaya bantuan hukum dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Dan seterusnya
pejabat-pejabat badan peradilan tersebut harus menempuh prosedur
yang lazim sebelum KPN mengeluarkan uang dari dana anggaran
pembangunan. Bila semuanya beres, perkara di pengadilan juga
selesai, Ketua Pengadilan Negeri melalui Ketua Pengadilan
Tinggi melaporkan pelaksanaan bantuan hukum kepada Tim
Pengendali Pelaksanaan Bantuan llukum pada Ditjen Pembinaan
Badan Peradilan Umum departemen Kehakiman.
Gelandangan
Alhasil, menurut panitera yang disebut di atas, cara untuk
memperoleh dana bantuan hukum tidak sederhana. Misalnya, kepala
desa mana yang mau memberi keterangan miskin bagi terdakwa
berasal dari luar Jawa yang diadili di Jakarta? Bagaimana kalau
terdakwa, misalnya saja, gelandangan?
Untuk lebih enaknya, menurut Wakil Direktur LBH (Lembaga Bantuan
Hukum) Jakarta, A. Rahman Saleh, dana bantuan hukum disalurkan
saja melalui lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada. Bila uang
Rp 100 ribu hanya untuk membiayai satu perkara--seperti
ditentukan Menkeh--bagi LBII, menurut Rahman, yang sekian itu
bisa untuk mengurus 3 atau 4 perkara. Dan lagi, katanya,
penyaluran dana melalui lembaga lebih mudah dikontrol daripada
bila pengadilan menyerahkannya kepada pembela perorangan. Juga,
prakteknya, pengadilan selama ini sering minta LBH membela suatu
perkara dengan prodeo.
Bagi Hakim Bismar Siregar, apapun caranya, boleh-boleh saja.
Namun, jika harus disalurkan melalui lembaga-lembaga bantuan
hukum, ketua pengadilan ini mempertanyakan: kepada lembaga yang
mana? Diberikan kepada yang satu, katanya, hanya akan membuat
iri hati yang lain. Padahal yang sungguh memerlukan adalah yang
tidak mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini