Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dana Itu Masih Utuh

Pemerintah menyediakan dana bantuan hukum bagi yang tidak/kurang mampu, keputusan menteri kehakiman tentang petunjuk pelaksanaan bantuan hukum sulit dipraktekan. (hk)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kabar gembira buat pencari keadilan yang tidak atau kurang mampu -- khususnya yang tersangkut perkara pidana. Pemerintah, melalui Departemen Kehakiman, sudah menyediakan dana bantuan hukum sebesar Rp 300 juta untuk membantu mereka membayar pembela. Tentunya hal itu juga boleh merupakan "peringan langkah" bagi para advokat atau pokrol bambu yang ditunjuk pengadllan sebagai pembela. Dengan dana itu, menurut Menteri Kehakiman Mudjono, berarti ada 3000 perkara di seluruh Indonesia yang dibiayai pembelaannya oleh pemerintah. Atau,.para pembela akan menerima Rp 100 ribu setiap membela perkara yang terdakwanya menerima bantuan hukum. Bagi pencari keadilan di wilayah.Jakarta Pusat, misalnya, menurut Ketua Pengadilan di situ, H.M. Soemadijono, pemerintah telah menyediakan dana sebesar Rp 1,8 juta 4 November lalu. Begitu juga di beberapa pengadilan lain. Tapi, belum lagi sempat dimanfaatkan, muncul perintah agar pengadilan menangguhkan pemanfaatan dana tersebut. Bagi pengadilan di Jakarta perintah penangguhan datang dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Alasannya, "soal administrasi", seperti dikatakan Bismar Siregar dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Petunjuk pelaksanaan untuk memanfaatkan dana bantuan hukum sebenarnya telah ada. Yaitu berupa keputusan Menteri Kehakiman tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum (1 Juni 1980). Tapi, menurut seorang panitera di salah sebuah pengadilan di Jakarta petunjuk Menteri tersebut sulit dipraktekkan . Tak mudah bagi pengadilan, misainya, untuk menentukan seorang terdakwa adalah termasuk "yang tidak/kurang mampu" seperti petunjuk Menteri Mudjono. Juga, lanjut panitera tadi, tatacara mengambil uang di Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) -- yang lazimnya berbelit-belit dan lambat -"bisa-bisa juga malah memperlambat penyelesaian suatu perkara." Memang ada 8 fasal dan banyak ketentuan yang merupakan petunjuk Menteri Kehakiman tentang dana bantuan hukum. Misalnya pemberian bantuan hukum diselenggarakan hanya melalui Badan Peradilan Umum. Yaitu diberikan kepada tertuduh yang tidak atau kurang mampu dalam perkara pidana yang diancam dengan pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati. Juga bagi yang diancam deligan pidana penjara kurang dari lima tahun, tapi "perkara tersebut menarik perhatian masyarakat luas," demikian Mudjono. Pernyataan tidak atau kurang mampu membayar pembela, seorang terdakwa disyaratkan menunjukkan surat keterangan pejabat yang berwenang,setidaknya oleh kepala desa dan diketahui camat. Dari situ ketua majelis hakim akan menunjuk dan menetapkan seorang atau lebih pemberi bantuan hukum. Dan yang namanya "pemberi bantuan hukum," menurut Menteri Mudjono, "selain advokat juga pokrol bambu." Majelis Hakim akan menunjuk pemberi bantuan hukum yang mempunyai reputasi baik, sanggup memberi bantuan atau jasa secara cuma-cuma. Sehingga ang yang diterimanya dari dana bantuan hukum "adalah sekedar merupakan imbalan jasa, penggantian ongkos jalan, biaya administrasi dan lain sejenisnya. " Pengajuan biaya bantuan hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Dan seterusnya pejabat-pejabat badan peradilan tersebut harus menempuh prosedur yang lazim sebelum KPN mengeluarkan uang dari dana anggaran pembangunan. Bila semuanya beres, perkara di pengadilan juga selesai, Ketua Pengadilan Negeri melalui Ketua Pengadilan Tinggi melaporkan pelaksanaan bantuan hukum kepada Tim Pengendali Pelaksanaan Bantuan llukum pada Ditjen Pembinaan Badan Peradilan Umum departemen Kehakiman. Gelandangan Alhasil, menurut panitera yang disebut di atas, cara untuk memperoleh dana bantuan hukum tidak sederhana. Misalnya, kepala desa mana yang mau memberi keterangan miskin bagi terdakwa berasal dari luar Jawa yang diadili di Jakarta? Bagaimana kalau terdakwa, misalnya saja, gelandangan? Untuk lebih enaknya, menurut Wakil Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, A. Rahman Saleh, dana bantuan hukum disalurkan saja melalui lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada. Bila uang Rp 100 ribu hanya untuk membiayai satu perkara--seperti ditentukan Menkeh--bagi LBII, menurut Rahman, yang sekian itu bisa untuk mengurus 3 atau 4 perkara. Dan lagi, katanya, penyaluran dana melalui lembaga lebih mudah dikontrol daripada bila pengadilan menyerahkannya kepada pembela perorangan. Juga, prakteknya, pengadilan selama ini sering minta LBH membela suatu perkara dengan prodeo. Bagi Hakim Bismar Siregar, apapun caranya, boleh-boleh saja. Namun, jika harus disalurkan melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, ketua pengadilan ini mempertanyakan: kepada lembaga yang mana? Diberikan kepada yang satu, katanya, hanya akan membuat iri hati yang lain. Padahal yang sungguh memerlukan adalah yang tidak mampu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus