Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Pelantikan Ala Soeharto

JOKO Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Pre-siden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2019.

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

19 Maret 1983
Perbesar
19 Maret 1983

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pada 2014, pelantikan Joko Widodo dihadiri puluhan ribu orang yang memadati Jalan Sudirman-Thamrin-Medan Merdeka. Beragam acara digelar di sepanjang jalan itu sampai pelepasan lebih dari 17 ribu lampion di 31 titik di seluruh Indonesia.

Di era Orde Baru, perayaan pe-lantikan Presiden Soeharto digelar di mana-mana, tak terkecuali di Kemusuk, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat kelahiran-nya. Seperti terekam dalam artikel majalah Tempo edisi 19 Maret 1983 berjudul “Cerita dari Tanah Kelahiran”, pesta pelantikan berlangsung ramai.

Gemuruh tepuk tangan yang terdengar dari televisi dan radio seusai pelantikan Soeharto sebagai Presiden RI belum sirna tatkala dari rumah-rumah penduduk suara keplok ramai terdengar menyusul. Anak-anak berhamburan ke luar rumah sambil berteriak-teriak. Spontan, tanpa komando, bendera Merah Putih dikibarkan di depan semua rumah.

Hari itu, 11 Maret 1983, suasana cerah dan gembira memayungi Dukuh Kemusuk, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta. Hari itu Soeharto, putra kelahiran Kemusuk, dilantik untuk keempat kalinya menjadi presiden. “Begitu acara selesai, kami beramai-ramai -mengirim ucapan selamat kepada Bapak Presiden langsung ke Istana,” kata Soekardi, anggota Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Argomulyo.

Presiden Soeharto tampaknya dijadikan teladan di desa kelahirannya itu. “Di sini semua orang tua menasihati anaknya agar rajin bersekolah supaya bisa menjadi priayi agung seperti Soeharto dan Probosute-djo,” ujar seorang penduduk.

Sarana pendidikan memang bukan suatu masalah buat Argomulyo, yang mempunyai penduduk 10.034 orang. Argomulyo, yang dipimpin Lurah Noto Suwito, adik seibu Soeharto, bisa membanggakan diri dengan 8 taman kanak-kanak, 7 sekolah dasar, 2 sekolah menengah pertama, 1 sekolah menengah atas negeri, 1 sekolah teknik menengah negeri, dan 1 sekolah luar biasa. Ada juga Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dengan jurusan perikanan, peternakan, dan pertanian.

Memasuki daerah yang terletak 13 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta ini, berbagai gapura bercat kuning menyambut para pengunjung. Pagar tembok de-ngan poster seragam mengelilingi desa ini. Pagar desa yang seragam itu dibangun atas perintah Lurah Suwito.

Argomulyo dengan 14 dukuh itu juga memiliki sebuah kantor pos. Listrik masuk ke Argomulyo menjelang Pemilihan Umum 1982, yang ongkos pemasangannya diangsur tiap bulan lewat kelurahan. Masih di desa ini, di pinggir Jalan Wates-Yogyakarta, tampak tumpukan batu dan pasir teronggok di beberapa tempat. “Di sini akan dibangun rumah sakit,” ujar Soekardi, penanggung jawab pemba-ngunan.

Sawah menghijau subur, rumah penduduk rapi, kembang bermekaran, perkebunan nanas mulai berbuah. Keberha-silan pertanian di desa ini berkat irigasi dari Sungai Progo yang baik. “Pengairan di sini sudah teratur sejak zaman Kertosudiro, ayah Soeharto, menjabat ulu-ulu (pejabat pengair-an),” ucap Paijo Parmohandoyo, Kepala Dukuh Kemusuk Lor.

Menurut Paijo, 63 tahun, kawan sepermainan Soeharto, waktu kecil Soeharto pendiam tapi rajin bekerja. “Ia tidak nakal dan selalu mengalah bila ada pertengkaran,” katanya. Mereka berpisah sejak Soeharto pindah ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, sewaktu berusia sembilan tahun. Itu terjadi pada 1929.

Kertosudiro merasa kecewa dengan cara anaknya dibesarkan di Kemusuk. Ia memutuskan menitipkan Soeharto kepada adiknya, Nyonya Prawirowihardjo, istri mantri pertanian di Wuryantoro yang juga orang tua pengusaha terkenal, Sudwikatmono. Di sinilah Soeharto menamatkan SD.

Di sekolah yang sama belajar juga Siti Hartinah, putri Wedana Wuryantoro, Sumoharyomo, yang kelak menjadi istrinya. “Pernah kakinya saya obati dengan bubuk-an belerang. Akibatnya, Mas Harto me-ngeluh karena badan dan pakaiannya bau belerang,” kata Djosentiko, pembantu Prawirowihardjo.

Setamat SD, Soeharto menetap di Wonogiri. Di sini ia menyelesaikan sekolah lanjutan pertama. Setelah sebentar bekerja se-bagai pembantu klerek di bank desa Wur-yantoro, Soeharto diterima masuk sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah, Juni 1940. Sejak itulah karier militer Soeharto dimulai, dan menanjak terus, sampai pada jabatan tertinggi di negeri ini: presiden. 

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  26 Januari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1652/1983-03-19

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus