Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Ampuni

Tendy K. Somantri*

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Ampuni
Perbesar
Ampuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Bung, kalau nanti aku mati, tolong jangan doakan aku ditempatkan di sisi Tuhan, ya?”

“Lo, kenapa, Mas?”

“Bung kan tahu, semua orang didoakan untuk berada di sisi Tuhan. Sudah penuh tuh tempat di sisi Tuhan! Biar aku ngalah, di belakang Tuhan saja.”

 

Itu cuplikan obrolan masa lalu dua jurnalis senior di Bandung, yang diceritakan kembali kepada saya. Kini salah satunya sudah meninggal. Obrolan mereka terkesan lucu dan sedikit kurang ajar. Kematian dan kehidupan setelahnya kok dianggap main-main. Apakah karena mereka juga adalah fotografer sehingga membayangkan setelah mati manusia akan berjejer di sisi Tuhan, seperti sekumpulan orang yang berfoto resmi? Saya hanya bisa sedikit tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar cerita itu. Orang tua kok ngomong-nya sompral (sembarangan)!

Cerita itu lama bersemayam di kepala saya hingga pada akhirnya muncul kembali dalam ingatan ketika saya melihat meme di media sosial: “Yang membawa hape harap dimatikan!”—dengan gambar lucu tentunya. Itu adalah meme sindiran terhadap logika penulisan yang salah dalam papan peringatan. Saya jadi berpikir: apakah obrolan dua wartawan senior itu merupakan sindiran juga terhadap logika yang salah saat berdoa? Boleh jadi!

Mengapa orang-orang berdoa agar orang yang meninggal ditempatkan di sisi Tuhan? Sok tahu! Memangnya kita tahu di mana Tuhan berada? Bagaimana dengan ungkapan bahwa Tuhan ada di mana-mana? Apakah orang yang meninggal itu akan terus mengikuti di sisi Tuhan di mana pun Tuhan berada?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sisi bermakna “samping”, “tepi”, “pinggir”, “rusuk”, “ pihak”, dan “garis lurus yang membatasi suatu bidang”. Frasa di sisi Tuhan itu menjadi tidak jelas karena langsung menunjuk pada posisi tertentu di tempat Tuhan berada. Padahal keberadaan Tuhan saja tidak bisa dicapai hanya dengan logika. Manusia memerlukan keyakinan untuk itu. Apakah benar orang mati bisa ditempatkan di samping atau di pinggir Tuhan?

Bukankah sebaiknya kita mendoakan orang yang meninggal itu secara tegas, seperti “Ya, Tuhan, masukkanlah dia ke dalam surga-Mu” atau “Ya, Tuhan, muliakan dia di dalam surga-Mu”. Doa yang menyebutkan surga adalah doa yang jelas dan tegas karena semua orang Indonesia tahu bahwa surga adalah tempat yang membahagiakan dan menjadi impian semua orang. Sampai-sampai sebagian orang mencoba menghadirkannya di dunia sehingga ada sebutan “surga dunia”.

Ada lagi doa yang salah secara logika kalimat, yaitu doa mohon ampun. Pada umumnya, doa mohon ampun yang disampaikan kepada Tuhan adalah “Ya, Tuhan, ampunilah (segala) dosa kami”. Kalimat itu juga tertera pada KBBI sebagai contoh untuk lema ampuni. Siapakah yang minta diampuni? Dosa kami atau kami?

Dalam ranah leksikal, kata ampun pun sebenarnya sudah menyiratkan adanya kesalahan (baca: dosa). Mari kita tengok makna kata ampun dalam KBBI: “(n) pembebasan dari tuntutan karena melakukan kesalahan atau kekeliruan; maaf”. Mungkinkah dosa kami memohon pembebasan dari tuntutan karena melakukan dosa? Kalimat tersebut jadi tidak logis.

Mari kita lihat makna kalimat itu secara gramatikal. Kalimat “Ya, Tuhan, ampunilah dosa kami” merupakan kalimat inversi. Kalimat versinya adalah “Ya, Tuhan, kami memohon pengampunan atas dosa kami”. Jelas sekali, subyek pada kalimat tersebut adalah kami, bukan dosa kami, dan predikatnya adalah memohon, -dengan komplemen pengampunan. Ketika kalimat tersebut dijadikan kalimat inversi, predikat memohon pengampunan berubah menjadi ampuni. Dengan demikian, sebagai kalimat inversi yang berpola predikat-subyek, kalimat tersebut seharusnya berbunyi ampuni(lah) kami, bukan ampuni(lah) dosa kami.

Sebagai perbandingan, kalimat serupa yang sering diucapkan dalam doa adalah “Ya, Tuhan, lindungilah kami dari marabahaya”. Kalimat versi dari kalimat tersebut adalah “Ya, Tuhan, kami mohon perlindungan dari marabahaya”. Bukankah kita tidak pernah menyebutkannya dengan “Ya, Tuhan, lindungilah marabahaya”?

Lalu apakah Tuhan akan mempermasalahkan kesalahan berbahasa kita saat berdoa seperti itu? Apakah doa kita tidak akan sampai dan tidak akan dikabulkan Tuhan hanya karena kesalahan bahasa? Tuhan itu Maha Mengetahui dan Maha Memahami, tentu saja. Jadi kita tidak perlu mempertanyakan apakah doa kita akan sampai dan dikabulkan Tuhan. Biarlah itu menjadi urusan Yang Mahakuasa. Urusan kita adalah bagaimana memperbaiki kebiasaan. Apabila selama ini kita terbiasa dengan yang salah, ya, kita perbaiki dengan kebiasaan yang baik dan benar.

Pembiaran terhadap kesalahan-kesalahan boleh jadi merupakan gambaran keangkuhan dan/atau kemalasan kita. Apalagi kesalahan berbahasa yang sering dianggap sepele. Buntut-buntutnya, kita ingin orang lain memaklumi kebiasaan salah kita. Maklum saja, kan orang Indonesia!

*) Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan, Bandung; Manajer Media-Data Center Wanadri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus