Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budayawan Romo Dick Hartoko, 77 tahun, terlahir sebagai Theodoor Willem Geldorp, memutuskan untuk berpamitan dengan dunia intelektual yang ia geluti selama 43 tahun. Ia ingin "bertapa" di Emaus, Girisonta, Karangjati, Ungaran, Semarang. Di situ ia akan lebih banyak menggeluti masalah kerohanian.
Acara perpisahan rohaniwan keturunan Jawa-Belanda itu berlangsung santai. Acara tersebut diselenggarakan oleh majalah Basis, yang ia pimpin selama lebih dari seperempat abad, dan Rumah Sakit Panti Rapih, di Gedung Bentara Budaya, Yogyakarta, 25 Juni 1999. Sekitar 60 budayawan, seniman Yogya, dosen Universitas Gadjah Mada, dan kerabat Romo dari pastoran turut hadir.
Dalam kata sambutannya, Romo Dick, yang dilahirkan di Jatiroto, Bondowoso, Jawa Timur, mengatakan bahwa setelah mundur, ia lebih dulu akan mengunjungi kota kelahirannya. "Saya akan piknik ke kampung halaman, sebelum ke Ungaran," katanya.
Seniman Yogya, Landung Simatupang, dalam acara itu membacakan tulisan Romo Dick berjudul Tanda-Tanda Zaman yang dimuat di Basis pada 1984. "Saya sangat terkesan dengan pemikiran-pemikiran Romo Dick. Secara pribadi, ia ramah, lucu, dan kadang-kadang porno," ujar Landung.
Dick menamatkan pendidikan sekolah menengahnya di SMU Kanisius, Jakarta, pada 1941. Kemudian, ia belajar filsafat di Kolese Ignatius, Yogyakarta, pada 1946-1949. Lelaki yang sekarang mulai pelupa ini pada 1949 pergi ke Negeri Belanda. Di sana, ia belajar sejarah umum dan teologi di Canisium Maastricht hingga 1956. Sebelumnya, pada 1955, Dick diberkati menjadi seorang pastor oleh Uskup Lemens.
Ia mengagumi Umar Kayam, Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis. Namun, di antara para sastrawan itu, Dick lebih kagum pada hasil karya Pramoedya Ananta Toer. Kini, di usia senjanya, Romo Dick merasa pengembaraannya sudah cukup.
***
PENSIUN sebagai guru besar tak harus berhenti mengajar. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan, yang selalu memberikan perhatian kepada dunia pendidikan. "Saya masih mengajar, sebagai guru besar emeritus di UI. Hanya, waktunya dikurangi, dua kali saja dalam seminggu, Senin dan Rabu," katanya kepada TEMPO.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan V ini pada 26 Juni 1999 genap berusia 70 tahun dan pada 1 Juli 1999 ini pensiun. Sejumlah staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan para anak didiknya menyiapkan "pesta" menyambut purnatugas lelaki yang gemar berkuda, bermusik, dan memelihara burung perkutut ini, yakni berupa seminar "Apresiasi 70 tahun Fuad Hassan" di Kampus UI, Depok, 28 Juni, sekaligus peluncuran buku Fuad Hassan di Antara Hitam dan Putih: Catatan-Catatan Kenangan di Usia 70 Tahun.
Ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan termasuk menteri yang paling konsisten terhadap kurikulum pendidikan. Alasannya, "Gonta-ganti sistem dan kurikulum akan banyak menimbulkan keresahan masyarakat, anak didik, dan guru."
Menurut dia, kurikulum tak perlu sering diubah. Yang penting adalah ujung tombak pendidikan, yaitu guru, terutama guru sekolah dasar (SD). "Di SD-lah muara semua pendidikan itu berada," katanya.
Fuad dilahirkan di Semarang, 26 Juni 1929, sebagai putra seorang akuntan pajak, Ahmad Hassan, yang mewariskan darah seni kepadanya. Pendidikan SD sampai SMA ia tamatkan di Kota Solo, Jawa Tengah. Kemudian, ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi UI dan lulus pada 1958. Tiga tahun selepas itu, ia belajar filsafat di Universitas Toronto, Kanada.
Di masa pensiunnya, Fuad Hassan yang mahir memainkan biola ini mendorong para penggemar musik klasik, khususnya kaum remaja, bergabung di Youth Orchestra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo