Luar biasa. Pujian ini layak dialamatkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Betapa tidak. Sampai akhir tahun nanti, BPPN menargetkan bisa membenahi tunggakan senilai Rp 80 triliun atau 30 persen dari kredit macet yang masuk ke dapur BPPN. Target gegap-gempita ini disampaikan setelah 174 dari 200 penunggak utang menyatakan kesanggupannya menyelesaikan utang, pekan lalu.
Pembenahan itu baru dimulai 1 September. Sebelum itu, selama Agustus nanti, para penunggak utang harus mencari jurus-jurus pembenahan utang bersama BPPN. Artinya, jatah waktu bersih yang tersedia untuk menyelesaikan segala macam kerepotan itu tak lebih dari lima bulan. Pada masa ketika banyak orang meragukan kemampuan BPPN, target ini bisa menjadi batu ujian yang tak mudah.
Agar beban pemerintah tak tambah berat, BPPN tak punya pilihan lain kecuali harus bertindak cepat. Pembenahan utang macet merupakan bagian dari program penyehatan perbankan untuk menggerakkan sektor riil. Pemerintah, yang menginjeksi bank dengan surat utang (yang bunganya dibebankan ke anggaran negara), perlu sumber dana. Salah satunya, dengan mencairkan aset-aset bank yang macet itu. Jika aset itu tak segera dicairkan, beban bunga obligasi sepenuhnya dibebankan ke rakyat kebanyakan.
Tapi, persoalannya, mampukah BPPN menyelesaikan kerja besar ini. Kalaupun mampu, pembenahan macam apa yang bisa diselesaikan BPPN? Apakah waktu dan kepentingan yang begitu mendesak tidak memperlemah posisi tawar BPPN terhadap penunggak utang? Apakah BPPN bisa mencairkan aset-aset itu dengan hasil maksimal, mengingat lembaga pemerintah itu tidak dibebani target-target kuantitatif?
Seorang bankir pemerintah dengan terus-terang meragukan kemampuan BPPN. Ia memberi contoh pola pembenahan utang macet Golden Key. Untuk mencapai kesepakatan jurus-jurus restrukturisasi, utang proyek petrokimia milik Eddy Tansil itu harus dibahas dalam waktu lebih dari setahun.
Pembenahan kredit macet Kanindotex juga tak jauh berbeda. Untuk mencapai kata sepakat dengan konsorsium Bambang Trihatmodjo yang mengambil alih utang Kanindo, Departemen Keuangan bersama bank-bank pemerintah menghabiskan waktu enam bulan lebih.
Itu pun dengan hasil yang amat mengecewakan. Kedua kasus kredit macet itu direstrukturisasi dengan skenario yang membuat buntung bank pemerintah. Kita ambil contoh pembenahan utang Golden Key. Aset (termasuk utang senilai Rp 1,2 triliun) perusahaan petrokimia ini diambil alih PT Banten Java Persada.
Banten memang tak menerima imbalan sepeser pun. Tapi, untuk mengembalikan utang triliunan rupiah yang macet itu, Banten mendapatkan keringanan yang luar biasa. Perusahaan milik Jusuf Kalla ini baru memulai pembayaran utangnya setelah tahun keenam sejak perjanjian. Itu pun dengan bunga super-ringan. Pada tahun pertama pembayaran (tahun 2003 atau tahun ketujuh sejak perjanjian diteken), Banten cuma mencicil Rp 10 miliar. Jumlah cicilan ini terus meningkat sampai tahun ke-20 (tahun 2023), seluruh pembayaran utang banten mencapai Rp 1,4 triliun.
Total jenderal, beban bunga yang ditanggung Banten amat ringan. Tiap tahun Banten cuma membayar bunga tak sampai satu persen. Padahal, bunga komersial saat perjanjian ini diteken mencapai 24 persen. "Ini model penyelesaian utang macet yang amat menguntungkan pengusaha, tapi tidak bagi bank," kata seorang bankir.
Pembenahan utang Kanindotex juga setali tiga uang. Konsorsium yang dipimpin Bambang Trihatmodjo yang mengambil alih pabrik tekstil terbesar di Asia itu mendapatkan keringanan dalam pembayaran bunga dan jangka waktu pelunasan. Bunga yang dibebankan ke konsorsium ini cuma enam persen. Itu pun cuma dua persen yang dibayar tunai. Selebihnya dibebankan di kemudian hari sebagai bunga terutang. "Ini, mah, sama saja seperti tidak bayar," kata seorang analis. Sedap, kan?
Persoalan akan tambah rumit kalau restrukturisasi utang bukan sekadar untuk menyelamatkan perusahaan, tapi lebih dari itu: untuk menyehatkannya. Jika sejauh itu target yang ingin dicapai, perusahaan akan memerlukan dana segar. Pemilik harus menginjeksi perusahaan dengan modal baru untuk menyeimbangkan posisi ekuitasnya.
BPPN sendiri sebenarnya sudah memiliki sejumlah alternatif restrukturisasi bagi debitur macet, antara lain dengan menjadwalkan pembayaran cicilan bunga dan utang pokok, melakukan konversi utang dengan saham (debt to equity swap), atau bisa juga injeksi modal baru baik dari pemegang saham maupun investor baru, sampai menerbitkan convertible bond (surat utang yang bisa ditukar dengan saham). Pilihan itu bergantung pada niat pemilik menyelesaikan utang dan juga prospek usahanya.
Tapi banyak yang khawatir, pola-pola penyelesaian utang model Golden Key dan Kanindotex ini akan tetap menjadi pilihan pertama. Apalagi, target-target waktu BPPN dinilai begitu gegap-gempita. "Kalau mau cepat," kata seorang analis, "buat saja skenario restrukturisasi yang menguntungkan pengusaha."
Repotnya, kalau pola-pola seperti itu yang dipilih, yang rugi bukan BPPN, tapi seluruh rakyat. Restrukturisasi utang macet ini dibutuhkan untuk mengembalikan uang rakyat yang sudah dipakai untuk menyehatkan bank. Jika jurus Golden Key dan Kanindo tetap dipakai, setoran duit yang diperoleh BPPN jauh lebih kecil ketimbang biaya yang dikeluarkan. Jika kita mengibaratkan BPPN sebagai sebuah bank, pola bisnis seperti ini akan segera membuatnya bangkrut.
Seorang analis khawatir, BPPN tak punya pilihan lain dan terpaksa menerima desakan para pengutang. Analis ini punya satu petunjuk: model restrukturisasi utang Kanindo dan Golden Key yang sudah diteken bank lama tak akan direvisi. "Saya dengar," katanya, "untuk mudahnya, BPPN akan mematuhi kesepakatan restrukturisasi utang yang sudah dicapai."
Selain kedua utang macet itu, BPPN kabarnya juga menyepakati pola pelunasan utang PT Margabumi Matraraya. Pengelola jalan tol di Jawa Timur ini berutang hampir Rp 3 triliun ke Bank Exim gara-gara kalah permainan valuta asing. Berbeda dengan pola Golden Key dan Kanindo yang minta keringanan bunga dan perpanjangan pelunasan, jurus penyelesaian utang Margabumi mirip skenario debt to equity swap. Maragabumi menyerahkan sebagian besar pendapatannya ke Bank Exim (lihat Yang Kakap, yang Misterius).
Apakah pola Margabumi akan dipakai? Mungkin saja. Tapi, menurut para analis, pola pembayaran utang dengan kepemilikan saham seperti ini memerlukan proses penilaian (appraisal) dan uji tuntas (due diligence) yang mendalam. Selain itu, pola ini juga punya banyak titik lemah: pada masa ketika harga aset tak menentu seperti sekarang, nilai aset didongkrak jauh melampaui harga yang wajar. Atau, ini sering terjadi, nilai aset proyek itu ternyata sudah jauh lebih kecil daripada jumlah utangnya.
Jadi, apa pun cara yang dipilih, selalu ada risikonya. Untuk itu, seorang bekas direktur pemerintah menegaskan bahwa niat dan komitmen orang-orang di BPPN jauh lebih menentukan ketimbang pelbagai pilihan tata cara teknis itu. Ia sendiri khawatir, komitmen di BPPN ini akan berubah-ubah seiring dengan pergantian orang-orang yang ada di tampuk kekuasaan.
Karena itu, bekas bankir terkenal ini menawarkan alternatif, tata cara penanganan debitur itu harus dibakukan sejak sekarang, sehingga tak mungkin dibengkok-bengkokkan. Ia sendiri cenderung memakai cara yang keras: tekan para penunggak utang itu dengan tegas. Jika mereka terlihat ogah-ogahan dalam menyesaikan utang, terkesan curang dan tak punya niat baik, paksa saja mereka untuk meneken perjanjian pelunasan yang ketat. Jika tetap tidak mau, "Tangkap, kalau perlu masukkan kandang di Ragunan biar bisa ditonton orang tiap hari."
M. Taufiqurohman dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini