Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GOLKAR RETAK | ||
Penulis | : | Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 1999 |
Penyunting | : | Stanley |
Kerumitan menganalisis Golkar analog dengan mengamati sebuah organisasi konglomerat. Persamaan keduanya adalah kedua organisasi tersebut mendapatkan begitu banyak proteksi dan monopoli dari pemerintah (penguasa). Sementara sebuah organisasi konglomerat menguasai seluruh aktivitas dan pasar ekonomi dari hulu ke hilir tanpa menghadapi saingan yang berarti, Golkar pada masa Orde Baru mendapat dukungan penuh, baik secara kelembagaan maupun individual, baik birokrasi sipil maupun militer, khususnya presiden (baca: Soeharto). Golkar juga merupakan pundi-pundi modal. Ini bisa dilihat dari dukungan finansial dari para pengusaha papan atas yang berkepentingan atas kelanjutan usaha bisnisnya.
Kebesaran dan keperkasaan Golkar pada masa lalu tentu saja mudah diukur. Paling tidak, indikasinya adalah dengan selalu memenangi pemilihan umum setiap lima tahun, sebagai single majority atau absolute majority (meraih 60,11 sampai 74,51 persen). Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa sistem politik Indonesia pada dasarnya merupakan sistem partai tunggal mengingat kedua partai lain (PPP dan PDI) berada di pinggiran dalam konstelasi politik nasional.
Golkar mendeklarasikan diri sebagai Partai Golkar sejak 28 Oktober l999 (pada ulang tahunnya yang ke-34).
Setelah Orde Baru tumbang, apa yang kemudian terjadi? Bisa ditebak, sebagaimana diungkapkan di buku Golkar Retak ini, persoalan-persoalan yang muncul lebih bersifat internal, seperti intrik dan klik politik di dalam tubuh partai.
Secara teoretis, organisasi semacam ini, pada masa Orde Baru, dikenal bersifat patrimonial. Proses politik yang bersifat top down alias restu dan petunjuk dari atas (baca: Soeharto) dan proses rekrutmen partai bukan atas dasar achievement (pencapaian) tapi ascription, misalnya keluarga, kroni, perkoncoan yang dekat dengan kekuasaan. Selain itu, dinamika politik sangat bergantung pada pemegang kekuasaan yang secara struktural diwujudkan dengan adanya dewan pembina (baca: Soeharto). Berbeda dengan Partai LDP di Jepang atau Partai Kongres di India yang pernah menjadi the ruling party, Golkar lebih tepat disebut the ruler's party. Atas dasar itu pula, ketika desakan reformasi terjadi, sang patron lenyap dengan lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Dengan dihapuskannya lembaga dewan pembina, intrik dan konflik yang selama ini bisa diredam karena peran Soeharto, semakin tampil ke permukaan. Partai Golkar kini bak anak ayam yang kehilangan induknya. Ada pihak yang berusaha merasa sebagai ahli waris menggantikan peran patron tersebut; ada pihak yang merasa menjalankan tugas mulia sebagai penyelamat partai. Suasana konsolidasi dan reposisi dalam tubuh organisasi semakin transparan dan faktual. Fragmentasi menampakkan wujudnya secara nyata di dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar, misalnya, antara kelompok Edi Sudrajat dan Akbar Tandjung atau kubu Islam dan kubu nasionalis. Namun, yang menarik di sini, semua kubu menampilkan dirinya sebagai kelompok reformis dengan segala jargonnya, seperti Golkar Baru atau Indonesia Baru. Padahal, cara-cara yang dipakai masih sama dengan pola Orde Baru, mulai dari cara mereka melobi, menjalankan politik main uang, sampai mengatur jalur birokrasi. Ini semakin nyata saat Sidang Istimewa MPR 1999, saat orang-orang Golkar yang duduk di dewan legislatif masih belum menunjukkan dirinya sebagai reformis sejati. Mereka malah berupaya keras agar reformasi tidak melindas dirinya dengan seketika.
Buku yang membedah isi tubuh Partai Golkar saat ini boleh dibilang memang memadai karena bersifat informatif dan analitis. Mungkin akan lebih menarik, dalam edisi revisinya, buku ini memasukkan hasil pemilihan umum terakhir, yang secara nyata meskipun masih diwarnai dengan berbagai kecurangan, memperlihatkan Partai Golkar masih ''bertaring" karena berhasil masuk ke dalam enam partai terbesar. Pengalaman (termasuk dalam soal kecurangan), infrastuktur, dan sudah pasti jumlah dana, memang sangat menentukan keberadaan sebuah partai politik. Hal ini yang tampaknya belum dimiliki oleh partai-partai politik yang baru. Selain itu, Eep Saefulloh Fatah, yang memberikan kata pengantar, mengungkapkan dengan baik sebuah analisis dan perjalanan panjang Golkar melalui pembagian waktu ke dalam lima periode serta basis dukungan partai tersebut.
Nur Iman Subono
*) Pengajar FISIP Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo