Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pesan Agama untuk Korps Baju Hijau

Dwifungsi militer dianggap bertentangan dengan moral agama. Bagaimana sebaiknya korps ini diposisikan?

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NABI agama Konghucu, Konghucu, pernah ditanya seorang muridnya. Apa syarat berdirinya sebuah negara? Ia bersabda, ''Harus cukup makan, cukup persenjataan, dan ada kepercayaan rakyat." Lalu, kalau terpaksa ada satu yang tidak bisa dipenuhi, apa yang harus dilalukan (diabaikan)? ''Lalukan persenjataan." Ini tentu bukan cerita dari Negeri 1001 Malam. Kisah yang dimuat dalam kitab agama Konghucu, Lun Gi, itu sesungguhnya sedang mengetengahkan wisdom agama dalam memandang institusi militer, yakni bahwa militer (yang ditamsilkan dengan persenjataan) adalah lembaga yang paradoksal. Ia penting, tapi dibandingkan dengan dua elemen negara lainnya, ia paling bisa diabaikan. Militer perlu, tapi kehadirannya patut dibatasi. Militer harus tetap berada pada posnya sebagai pengaman negara dan sedapat mungkin dicegah masuk ke dalam institusi sipil. Jika prinsip ini dilanggar, sebuah negara akan sangat mudah terperosok ke dalam militerisme dan totalitarianisme. Dan itu artinya, tamatlah riwayat demokrasi dalam kamus politik negara tersebut. Soal ''penting tapi tidak pentingnya" militer dalam negara, menurut perspektif agama-agama, itulah yang muncul dalam diskusi ''Militer dan Agama" yang diadakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) di Hotel Ambhara, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Dua agama yang meneropong masalah ini adalah Islam dan Konghucu. Dalam acara itu, hadir pula sejumlah pengamat militer, praktisi politik, pemuka agama, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Tradisi Konghucu memang mengenal erat soal pembatasan peran militer ini. Prinsipnya adalah pemilahan lembaga negara berdasarkan fungsinya. Fungsi yang satu bisa berinteraksi dengan fungsi yang lain. Tapi tidak boleh ada tumpang tindih. Dalam kitab Lun Gi disebutkan bahwa Nabi Konghucu pernah mengemukakan bahwa jika ia harus mendirikan negara, ia akan memberikan nama-nama. Selanjutnya, persoalan diurus berdasarkan nama-nama itu. ''Artinya Konghucu ingin agar sesuatu diurus sesuai dengan tempatnya," kata Budi Santoso Tanuwibowo, Sekretaris Umum Matakin (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia). Lembaga militer mengurus soal pertahanan dan lembaga sipil mengurus pengelolaan negara. Islam mempunyai pandangan yang kurang lebih sama. Menurut Masykuri Abdillah dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, keterlibatan dalam militer hukumnya fardu kifayah. Maksudnya, jika sebagian anggota masyarakat sudah masuk militer, sebagian yang lain tidak wajib lagi. Hal yang sama juga berlaku pada profesi dokter, ilmuwan, petani, dan lainnya. Artinya, peran-peran itu merupakan kewajiban kolektif warga negara dan bukan kewajiban personal. ''Dengan demikian, ada distribusi tugas dalam masyarakat," kata Masykuri. Dengan distribusi tugas itulah, baik Islam maupun Konghucu menganggap pelaksanaan dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertentangan dengan moral agama. ''Seorang militer yang menduduki jabatan sipil harus melepaskan (jabatan) militernya," kata Masykuri. Persoalannya bukan cuma pembagian tugas, tapi juga soal kontrol. Jika militer juga masuk ke institusi sipil, mekanisme kontrol akan rusak. TNI yang masuk parlemen, misalnya, akan mengganggu kontrol legislatif terhadap lembaga tentara. Jadi, yang perlu dihindari adalah pemusatan dan pemutlakan kekuasaan. ''Bagi Konghucu, hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak," kata Budi lagi. Lalu, jika pembagian tugas itu sudah terlaksana, apakah posisi militer dan sipil harus seimbang? Tidak ada jawaban yang pasti. Tapi, dalam tradisi Konghucu diriwayatkan bahwa raja yang berkunjung ke luar negeri selalu didampingi oleh dua menteri. Menteri sipil berdiri di sisi kiri dan menteri militer di sebelah kanan. Dan berbeda dengan tradisi Barat, dalam Konghucu, kiri dianggap lebih penting dibandingkan dengan kanan. Artinya, militer secara hierarkis berada di bawah jabatan sipil. Sulit memang menerapkan gagasan itu dalam sebuah masyarakat yang lebih rumit seperti saat ini. Salah-salah kecemburuan sosial antara sipil dan militer akibat perbedaan strata ini malah mengundang bentrokan. Tapi, terlepas dari hal itu, Islam mengajarkan moral penting dari kerja militer. Doktrin Islam tentang militer adalah tentara hanya melakukan tugasnya untuk mempertahankan diri. Dengan kata lain, Islam tidak membenarkan aksi militer dalam bentuk penyerangan (ofensi)—baik yang dilakukan pemerintah yang berkuasa maupun oposannya. Ini tentu dalam konteks hubungan intranegara dan antarnegara. Dalam konteks hubungan sipil-militer, tafsirnya bisa jadi sebagai berikut. Militer seharusnya bekerja dalam posnya sendiri dan jangan masuk ke dalam tugas-tugas di pos sipil. Atau, dengan kata lain, militer sebaiknya segera kembali ke barak. Arif Zulkifli, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus