Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi mengenai persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden menimbulkan kegaduhan dan menuai polemik di masyarakat. Berbagai pihak menuduh keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam putusan atas gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum itu melalui Ketua MK Anwar Usman yang sekaligus adik iparnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat ini memang tidak ada lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi hakim konstitusi sejak keluarnya putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2016 yang menyatakan hakim konstitusi bukan obyek pengawasan Komisi Yudisial.
Pada waktu MK dibentuk, kita melihat sebuah lembaga yang sakral dan berwibawa karena fungsinya sebagai benteng terakhir demokrasi. Kita semua juga mempunyai keyakinan bahwa para hakim konstitusi adalah manusia-manusia terpilih, berintegritas tinggi, mempunyai sikap kenegarawanan, dan mumpuni karena harus mengemban tugas serta tanggung jawab tidak ringan.
Namun kita tentu masih ingat peristiwa ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap Rp 57,8 miliar dan US$ 500 ribu sebagai imbalan memutus 15 sengketa pemilihan kepala daerah. Sampai-sampai pada era tersebut ada semacam senda gurau yang menyakitkan: ada dua macam kepala daerah, yakni yang dipilih MK dan dipilih rakyat.
Patrialis Akbar, penerus Akil, juga berurusan dengan KPK karena menerima suap dari importir daging US$ 20 ribu dan S$ 200 ribu berkaitan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pola umum korupsi di MK adalah penyuapan, bahkan pemerasan. Korupsi bisa muncul dari pihak yang beperkara atau karena adanya permintaan serta pemerasan oleh hakim konstitusi terhadap pihak yang beperkara. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat mendorong pihak yang beperkara menyuap hakim agar menang.
Pemerintah dan anggota legislatif hasil Pemilihan Umum 2024 harus membuat terobosan luar biasa untuk menjaga dan mengembalikan muruah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelamatkan demokrasi dan tatanan bernegara Indonesia.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Demokrasi Indonesia
FILSUF Edmund Burke mengatakan “the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing”. Kejahatan akan menang jika orang baik diam saja. Indonesia hari ini terlihat makin mengarah ke rumusan Burke. Cukup banyak kajian pakar bahwa situasi oligarkis berlangsung sekarang. Segelintir elite mendapatkan keabsahan dari berbagai peraturan ataupun perundang-undangan.
Demokrasi Indonesia bisa mati bukan di tangan seorang jenderal, melainkan di tangan pemimpin yang membajak proses untuk membawa mereka ke kekuasaan. Saat ini produk perundang-undangan seolah-olah dijadikan alat memperkuat politik ekstraktif dan melahirkan ekonomi ekstraktif serta mengukuhkan oligarki. Kemajuan teknologi informasi digunakan untuk agitasi, pembodohan, serta pemberitaan-pemberitaan yang menyesatkan. Pembangunan fisik yang diagung-agungkan sebenarnya keropos karena mutu manusia makin mundur.
Mari kita mencintai bangsa ini dengan berbuat nyata agar apa yang disampaikan Edmund Burke tidak terwujud.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Putusan Mahkamah Konstitusi" dan "Demokrasi Indonesia"