SEKALI-SEKALI ada baiknya menengok Kota Karbala. Kota kecil di
Irak ini, di tepi Sungai Dajlah alias Tigris, dikenal juga
namanya di Indonesia. Diketahui bahwa penyebaran Islam di tanan
air pada kurun-kurun pertama banyak dijejali pengaruh Syi'ah
mazhab yang menyandarkan diri pada 'Ali bin Thalib, menantu
Nabi, dan keturunannya. Dan Karbala adalah 'lambang dukacerita
Syi'ah'.
Di situ, dahulu, telah dibunuh Saidina Husain, adik Hasan
--kedua-duanya cucu Nabi, putera Ali dan Fatimah. Pembunuhnya:
Hajjaj bin Yusuf, panglima Yazid bin Mu'awiah. (Mu'awiah sendiri
adalah penegak Dinasti Umaiyah yang dikenal sebagai "kerajaan
duniawi" pertama dalam Islam). Pembunuhan ini, yang memang
tercatat sebagai dilakukan dengan keji, adalah puncak dari
sentimen politik yang kemudian mendapat warna agama. Sementara
penindasan dan pengejaran yang selalu mereka derita menumbuhkan
berbagai takhyul dan kepercayaan tentang imam ghaib, imam mahdi,
ratu adil--dan jadilah Karbala sebagai monumen abadi.
Maka Ramadhan pun datang di Kota Karbala. Biasa saja. Pada
sepuluh hari terakhir bulan Sya'ban (Ruwah), orang mulai
bersiap-siap. Mereka membeli perbekalan: beras, air mawar, adas,
kemenyan, minyak samin, kapulaga, tepung. Pasar Karbala menjadi
ramai, dan Mesjid Husain - yang kelima kubahnya berselaput emas
-- mulai dibersihkan dan digosok-gosok.
Ada yang disebut rukyat. Yakni melihat munculnya bulan dengan
mata kepala, sebagaimana di tanah air kita, untuk menandai
permulaan bulan puasa atau pun lebaran. Upaya yang dulu
dilakukan sebelum ada penanggalan ini, oleh sementara muslimin
memang masih dipertahankan. Orang-orang Karbala pun bergembiM
juga dengan sensasi 'munculnya bulan' ini. Sejak azan maghrib,
segala pengeras suara menantikan berita tentang bulan itu dengan
mengumandangkan seruan-seruan menyambut tamu Ramadhan.
"Marhaban! Selamat datang wahai Ramadhan!", misalnya dengan
lagu.
Orang-orang yang ingin melihat bulan itu biasanya pada
mengelompok. Ada yang di taman di pinggir jalan, ada yang di
sotoh (atap rumah), ada yang ke luar kota, ada pula yang
memanjat pohon korma. Mereka yang berhasil melihat itu benda
yang hanya sebentar menggurat di langit, biasanya akan membaca
selawat Nabi, diteruskan dengan doa yang bunyinya begini:
"Tuhanku dan Tuhanmu, wahai bulan, adalah Tuhan Semesta. Ya
Allah berkahilah kami dalam bulan kami ini, berikanlah rezki,
kebaikan dan pertolongannya jauhkan kami dari kesempitan,
kejahatan, malapetaka dan fitnah. Amin."
Setelah itu mereka pergi menurut keinginannya. Yang paling utama
ialah berziarah ke makam suci Husain dan makam suci Abbas (paman
Nabi, yakni yang dalam film The Message diperankan oleh Anthony
Quin).
Nyunggi Qur'an
Sejak jamjam pertama bulan Ramadhon memang tampak tiap pribadi
mengalami perobahan sikap. Yang biasanya tidak pernah main-main
dengan tasbih kini membawa tasbih, terutama "tasbih Husainiyah"
yang warnanya hitam dan jumlah bijinya 101 butir. Ada yang
membawa kitab Al Qur'an ada pula yang membawa kitab bacaan
Syi'ah Mashobihul jinan, mafatihul jinan (Lentera Batin,
Kunci-kunci Batin) yang berisi doa-doa Ramadhan dan doa ziarah.
Yang tidak pernah salat juga ikut menyambut bulan puasa ini.
Pada malam hari kelompok dzikir atau tadarus paling ramai di
makam suci Husain atau Abbas. Kedua tempat itu boleh dibilang
ramai untuk 24 jam terus-menerus. Mereka biasa melakukan thawaf
di situ (persis seperti thawaf di Ka'bah) sambil membaca doa
ziarah. Di hari-hari biasa pun sebelum jenazah orang mati
dimakamkan, lebih dahulu dithawafkan di makam tersebut.
Malam Lailatul Qodar, di sini biasanya diselenggarakan tanggal
17 s/d 21 Ramadhan adalah puncak keramaian bulan puasa. Mereka
menyebutnya 'Kadurat'. Pada malam-malam tersebut, di kedua makam
atau pada kelompok-kelompok tertentu banyak orang yang
mengangkut Al Qur'an di atas kepala seraya mengucapkan yang
dalam bahasa Indonesianya: "Padamu ya Allah, padamu ya Muhammad,
padamu ya Ali, ya Hasan, ya Husain." Ini diucapkan sepuluh kali.
Yang demikian ini juga mereka lakukan setelah shalat untuk
mengenang Imam Mahdi (imam ke-12 dalam Syi'ah Imamiyah).
Meski orang yang berpuasa tidak banyak makan pada umumnya ketika
berbuka, namun persediaan makannya bermacam jenis. Di meja
terdapat al: nasi, sayur, syurbat (sejenis bubur), kabab (daging
cacah yang dikepalkan pada tusuk sate lalu dipanggang) dan
kueh-kuehan manis (halawah). Sedang jenis minumannya: perasan
delima, khusyabah (dari asam yang diberi gula), qomarudin
(rasanya masam-masam manis) dll. Yang paling top adalah Syurbat
itu tadi --diminum untuk mengawali berbuka sebelum yang
lain-lainnya.
Ada beberapa jenis makanan yang mereka jauhi selama bulan
Ramadhan. Waktu sahur mereka tidak akan makan terung, ikan, atau
nasi yang berminyak.
Lantas pada 21 Ramadhan, kota kec Karbala berubah menjadi kota
duka. Semua penduduk berwajah sedih. Mereka mengenakan pakaian
hitam. Toko-toko tutup. Mereka berbondong-bondong ke kedua makam
suci. Suasana berkabung, kali ini, adalah untuk mengenang
kematian Ali, ayahanda Hasan dan Husain yang dibunuh oleh
Abdurrahman ibn Muljam, seorang gerpol tanggal 17 Ramadhan 40 H,
tepat ketika Ali membuka pintu rumahnya untuk pergi ke mesjid
menjelang subuh . . . Dan 8 atau 9 hari kemudian, datanglah Idul
Fithri. Sama seperti Idul Fithri kita ini. Minal aidin ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini