RUSDI Effendi, wakil pimpinan umum harian Banjamasin Post, pagi
itu sudah memperingatkan atasanna, H.J. Jok Mentaya, agar
jangan ke kantor dulu. "Hoofd (kepala - Red.), kalau bisa jangan
turun ke kantor dulu. Di sini H.I. Iagi ngamuk. Ia pakai pisau,"
ujar Rusdi via telepon pada pemimpin redaksi koran itu.
Peringatan pertama ini dituruti saja oleh Jok. Tapi tak
berselang lama, dia angkat telepon menghubungi Rusdi. Tanyanya:
"Di, H.I. masih di situ? Bagaimana kalau aku ke kantor saja?"
Sahut Rusdi ragu-ragu: Yah, terserah Hoofd saja. H.I. masih di
sini. Ia terus mengacung-acungkan pisaunya."
Sekitar jam setengah sepuluh pagi. Jok sudah berada di depan
kantornya di jalan Pasar Baru. Begitu tiba, Iangsung disambut
oleh H.I. dengan pisau terhunus. H.I. tak sendiri, tapi bersama
3 orang teman yang juga mencabut pisau. Jok berusaha lari
menghindar ketika kawanan itu mengejarnya. Tapi malang, dia
tergelincir dan jatuh di depan kantor Harian Utama. Saat itulah
" tiga mata pisau sudah ditudingkan ke arah saya dan H.I.
membentak agar saya minta ampun. Ya saya minta ampun," tutur
Jok yang kini tergeletak di R.S. Ulin pada Sjachran R. dari
TEMPO. Saat itulah muncul beberapa wartawan Hanan Utama, dan
kawanan itu kabur. Langsung saja Jok dipapah ke rumah sakit.
Rupanya deras betul jatuhnya bekas aktivis mahasiswa yang kini
sudah berusia 38 tahun dan ayah dari 3 anak itu. Setelah
diperiksa oleh dokter bedah Bagyo S. Winoto, ternyata tempurung
lutut kirinya pecah, kakinya patah dan salah satu urat kaki
putus. Kata sang dokter: "Kalau tak segera dioperasi bisa cacad
seumur hidup. Timpang atau lumpuh."
Jumat siang, sekitar jam 12 tengah hari lutut kirinya yang
cedera berhasil dioperasi oleh dokter Bagyo. Malam hari setelah
sadar dari pembiusan, nyeri dan ngilu luar biasa pada tempurung
lutut yang sudah dijahit dengan kawat anti-karat membuat dia
hampir tak dapat tidur. Baru pada malam ketiga setelah insiden
itu rasa sakit berangsur-angsur kurang.
Kata seorang adiknya, dia masih harus diopname sebulan lamanya.
Dan sesudah sembuh harus istirahat banyak dan hanya boleh
berjalan dengan dua tongkat penopang. Enam bulan kemudian
tongkat itu mungkin boleh dibuang setelah kepingan tempurung
lutut yang pecah itu bertaut kembali. Dan kawat-kawatnya
dicabut melalui pembedahan ulangan.
Pagi hari sebelum insiden 1 September itu Jok dan staf redaksi
BP lainnya memang sudah menduga, mengapa H.I. begitu marah.
Soalnya, di halaman 2 koran itu ada berita berkepala Hotel "HI"
Tempat Gituan. Isinya menceritakan bagaimana hotel yang
bernama seperti inisial pemiliknya, jadi tempat praktek wanita P
yang profesionil maupun amatir. Disebut-sebut pula bahwa banyak
pejabat Kalteng suka menginap di hotel itu, sembari menikmati
servis wanita- wanita bunga tersebut.
"Makanya saya turun kekantor menemui H.I. justru hendak
menyelesaikan secara baik-baik. Kalau wartawan saya yang salah
nulis, kami bersedia meralat. Atau H.I. boleh saja mengadukan
koran saya ke pengadilan," ujar Jok, yang juga Ketua I PWI
Banjarmasin.
Percobaan Pembunuhan
Kamis itu juga, AS Ibahy sebagai Wakil Ketua dan Ruslie Yusuf
selaku Sekretaris PWI Banjarmasin mengeluarkan pernyataan dua
pasal, yang disetujui pula oleh anggota Badan Pekerja Kongres
PWI, Goembran Saleh. Di situ mereka "sangat menyesalkan dan
mencela tindakan main hakim sendiri oknum Haji Ibermansyah
dengan kawan-kawannya." Serta "mengappeal aparat penegak hukum,
agar menangani perkara penganiayaan/percobaan pembunuhan dan
menyelesaikannya menurut hukum yang berlaku."
Polisi juga cepat sekali bertindak. Jumat pagi H.I. sudah
diamankan oleh Pomdam, dan langsung diserahkan pada Komres 1301
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hari Sabtu sudah 6 orang saksi
diperiksa oleh polisi.
"Konyol juga nasib Jok masuk rumah sakit, hanya karena berita
sepele seperti itu," komentar seorang temannya di Jakarta pada
TEMPO. Sebab koran yang beredar luas di Kalsel dan Kalteng itu,
lebih dikenal karena keberaniannya membongkar dan mengecam
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Paling akhir misalnya.
koran itu terlibat konflik dengan Kepala Dinas Kehutanan
Kalteng, ir Widayat Eddy Pranoto (TEMPO, 10 September).
Bagaimana pun juga, jadi koran yang tetap independen dan kritis.
jauh dari Jakarta tampaknya tidak mudah. "Kalau tidak terus
konsultasi dengan psikiater, saya sudah sakit saraf. Tulis
begini, dipanggil si ini. Tulis begitu, dipanggil si itu. Yah.
harus rajin minta maaf," tutur Jok pada G.Y. Adicondro dari
TEMPO.
Fisik dia Juga masih punya gangguan kencing manis. Penyakit
turunam Meskipun No. 7 dalam urutan 11 bersaudara toh dia
termasuk yang paling keras tabiatnya. Di tengah keluarga Jok
masih tetap dipanggil "Huzai", sesuai dengan nama pemberian
ayahnya. Atau lengkapnya Huzai Junus Inisial "H.J." itu masih
tetap dipakainya di depan nama "Jok Mentaya" yang diciptakannya
sejak SMA di Banjarmasin. Harap maklum saja: Mentaya, adalah
nama sungai di Kalteng yang bermuara dekat Sampit, sebagai
kenang-kenangan akan kota kelahirannya. Mengapa ganti nama?
"Biasa. ikut-ikut kebiasaan para seniman waktu itulah. katanya
sambil tertawa, dengan suara yang suka melengking tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini