Tulisan "Satu Periode Lagi Buat Aziz" (TEMPO, 12 Januari 1991, Nasional) justru makin mengeruhkan proses pencalonan Gubernur Sulawesi Tengah untuk periode 1991-1996. Tampaknya, TEMPO belum mengetahui apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi dalam proses lahirnya paket bakal calon gubernur yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri itu. Karena itu sebagai warga negara yang lahir di daerah tersebut, saya merasa perlu mengemukakan beberapa data dan fakta sebagai berikut. Pada November 1990, DPD I Golkar Sul-Teng bersama orsos-masinal dan orsinalmas serta tokoh-tokoh masyarakat melakukan semacam pengumpulan pendapat tentang nominasi bakal calon gubernur. Saat itu muncul beberapa nama, antara lain A. Aziz Lamadjido (20 suara), Saleh Sandagang (5 suara), Ny. Ghalib Lasahido (3 suara). Dalam poll ini ada sepuluh suara abstain. Pada tahapan berikutnya, berkat rekayasa sepihak, muncullah tiga nama bakal calon: Aziz Lamadjido, R. Tobigo, dan S. Pargio. Hasil ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa bakal calon tidak diambil dari hasil poll? Dari hasil penelitian, diketahui bahwa ada kekhawatiran dari kelompok tertentu, bila salah seorang dari nominasi melakukan koalisi dengan 10 suara abstain, maka dapat dipastikan akan melemahkan posisi Aziz Lamadjido. Sementara itu, kelompok kecil yang punya kepentingan tertentu atas kepemimpinan Aziz Lamadjido berupaya melakukan "distorsi informasi", seolah-olah Aziz Lamadjido telah mendapat restu untuk melanjutkan masa jabatan kedua. Selanjutnya, bakal calon yang diajukan ternyata ditolak oleh Menteri Rudini. Hal ini merupakan antiklimaks dari usaha-usaha kelompok pendukung Lamadjido. Akibatnya, dalam kepanikannya, kelompok ini mulai berbeda pendapat, yaitu sebagian terus mencalonkan Lamadjido dan sebagian lagi mencari alternatif lain. Inilah yang kemudian memunculkan nama Mbak Tutut sebagai calon. Dari kronologis di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. * Penolakan oleh Menteri Rudini adalah hal yang sangat tepat. * Para politikus di Sul-Teng belum mampu memahami apa yang tersirat atau menjiwai penolakan bakal calon tersebut. * Kalangan pimpinan DPD I Golkar dan Orpol di Sul-Teng belum dapat memahami apa yang disebut oleh Mensesneg Moerdiono sebagai budaya politik, etika politik, dan komunikasi politik dalam era demokrasi Pancasila. Selain itu, mereka belum menyimak apa yang tersirat dan tersurat dalam UU No. 5 Tahun 1974. * Tampaknya kemajemukan etnis (suku) di Sul-Teng masih tetap merupakan sumber utama disparitas kepentingan yang selalu bermuara pada kontroversi. * Bila berbicara tentang aspirasi rakyat, maka semua pihak harus kembali pada hasil pengumpulan pendapat. Dan ini merupakan tugas pimpinan DPRD I Sul-Teng, seluruh fraksi, dan Mendagri, sebagai penanggung jawab proses pencalonan gubernur. Z. PANJILI, S.E. HARYANTO DJALUMANG, S.E. Harapan Jaya C 26 RT 02/12 Bekasi Utara Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini