Laporan utama TEMPO, 5 Januari 1991, yang berjudul "Mau Diapakan Bali?" membuat bulu kuduk berdiri. Pada halaman 70 dan 75 terpampang foto sang turis dengan busana minim sedang berjemur dan dipijat di pinggir pantai Kuta. Banyak orang cemas, Bali akan tergilas arus pariwisata. Gesekan itu memang tak dapat terelakkan. Maklumlah, pariwisata Bali adalah pariwisata budaya. Budaya dan adat-istiadat Bali pada kenyataannya memang sudah tergilas oleh budaya dan adat-istiadat yang dibawa sang turis dari berbagai mancanegara, seperti Jepang, Jerman, Prancis, Swiss, dan Amerika Serikat. Di Bali sang turis dapat melakukan apa saja yang lazim mereka lakukan di negerinya. Mulai dari pergaulan bebas, kebiasaan minum-minuman keras, dan sampai pada cara berbusana yang dijiwai oleh semangat nudisme. Setelah melihat situasi yang memprihatinkan tersebut, lalu upaya apa sebaiknya yang akan kita tempuh. Di sini tak usah hantam kromo begitu saja, melihat peristiwa tersebut. Yang penting, biro-biro pariwisata melakukan introspeksi sidini mungkin. Apakah kita akan menjual pada turis itu berupa pertunjukan seni tari, lukis, pahat, sampai ke acara rituil keagamaan? Atau, kita lebih menekankan pada bisnis prostitusinya dengan mengorbankan dara dan jejaka yang ada di Bali untuk kepentingan turis? Kalau yang kedua ini menjadi sasaran, kita harus beristigfar terhadap langkah kita yang keliru tersebut. Sambutlah para turis tersebut secara wajar saja, tak perlu berlebih-lebihan. Di sinilah perlunya peran tokoh masyarakat dan agamawan untuk mengimbau dan menyadarkan pengelola pariwisata, tentang makna hakiki "Visit Indonesia Year 1991". Dengan kata lain, kita tak perlu mengorbankan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang telah diwarisi sejak dulu. ABDULLAH ASSEGAF Petukangan Utara Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini