MENURUT dongeng di Maluku ada batu berdaun dan bertangkai jang
bisa membuka mulutnja dan menelan manusia. Lalu menurut
pengamatan reporter Martin Aleida, konon di Djakarta ada benda
jang bisa disebut sebagai batu bermenung. Batu-batu seperti itu
berdjumlah 33 buah dan dapat ditemukan dipekarangan pusat
pertokoan Senen, diatas sepetak tanah jang sekarang di kenal
sebagai taman. Apa jang kita ketahui tentang taman dari
tjerita-tjerita orang jang lama berdiam diluarnegeri, adalah
sebuah tempat rekreasi umum dilengkapi dengan pohon dan
bunga-bunga, padang rumput dan tentu sadja bangku-bangku tempat
duduk. Bila orang-orang disana menggunakan bangku sebagai tempat
berlepas-lelah dan sekaligus bertjengkerama dengan alam
sekitarnja, maka bangku ditaman Senen sebagian besar
dimanfaatkan untuk tempat bermenung: Begitu sering orang-orang
merenung dan tertjenung diatasnja, hingga kalau Martin memben
djulukan batu bermenung, tentulah tidak akan terlalu aneh
kedengarannja.
Pantat. Sesungguhnjalah mereka orang-orang itu -- djelas
kelihatan termenung dan melamun djauh kedunia lain. Ekspressi
patung Rodin -- le penseur, pemikir -- adalah ekspressi jang
paling menondjol jang hinggap diwadjah orang-orang jang duduk
diatas batu-batu itu. Tentu sadja diantara para pengelamun
terselip djuga satu dua orang jang benar-benar istirahat sambil
batja koran atau komik. Dapat dikatakan bahwa ke-33 bangku
bermenung itu hampir sepandjang hari didiami pantat-pantat jang
sama, ketjuali kalau kebetulan hari hudjan. Bila diperhatikan
para langganan taman Senen jang setia, bisa dilihat bahwa mereka
selalu mengenakan badju jang lumajan, kadang-kadang djuga lebih
dari lumajan. Seputjuk pulpen atau ballpoint terselip disaku
kemedja bahkan ada djuga map jang terkepit diketiak. Sedjak
pintu toko mulai dibuka pagi hari sampai larut malam, batu-batu
bermenung terus menerus ditempati. Bahkan djendjang tiang
bendera jang terletak di tengah taman djuga kadang-kadang
kebagian pant'
Intelektuil. Taman jang selalu penuh adalah taman jang ideal,
tapi penuhnja taman Senen djustru menimbulkan rasa kesal. Dan
djuga merepotkan. Mengapa? Karena pengundjung taman itu tidak
bertukar, mereka-mereka djuga sepandjang hari jang bertjokol
disana, para pengelamun itu. Atau para gelandangan, menurut
istilah Pelda KKO Sulaiman Wakil Perwira Keamanan Projek Senen.
Lalu tanpa diminta ia menambahkan: "Gelandangan terbagi dua.
Pertama jang gembel, pakaian tjompang-tjamping. Jang kedua,
gelandangan intelektuil. Mengusir gelandangan jang pertama,
gampang tak ada soal. Tapi gelandangan intelektuil sulit. Kita
tak punja dasar untuk ngusir. Kalau mereka balik bertanja
mengapa diusir, sulit. Kita tak punja dasar". Mengapa terfikir
untuk mengusir mereka? Hal ini dapat dikembalikan pada maksud
semula mendirikan taman, jang menurut Pelda Sulaiman dibuat
chusus untuk orang-orang jang berbelandja ke Senen. Sesudah
keluar masuk toko, mereka bisa duduk-duduk ditaman itu. Ternjata
jang terdjadi sekarang tidak demikian. Bangku-bangku taman telah
dimonopoli oleh gelandangan intelektuil, hingga orang-orang jang
berbelandja tidak kebagian tempat. Kalaupun tempat itu ada,
mereka akan segan berada ditengah-tengah gelandangan jang
kerdjanja bermenung terus-terusan. Djadi taman sudah mengalami
penjalahgunaan, dan djustru hal ini jang tidak bisa ditindak.
Seperti-dikatakan Sulaiman, kita tidak punja dasar.
Rendez-vous. Pelda jang kemampuannja hanja sampai pada
mengamat-amati sadja sampai pada kesimpulan bahwa 70% dari
penghuni batu-batu bermenung adalah penganggur. "Saja sampai
bisa mengenali, orangnja itu-itu djuga". Bahkan dia tahu apa
sadja jang mereka lakukan. "Kadang-kadang kalau pemuda, taman
itu djadi sematjam tempat rendez-vous dengan wanita. Kemudian
mereka berangkat entah kemana". Atau "diantara mereka ada djuga
jang tjuma menghabiskan waktu, sedang biaja hidupnja sudah
ditjukupi orangtuanja. Ada djuga jang hidup dari ngobjek, disitu
mereka bisa ketemu teman senasibnja. Ada djuga jang menghabiskan
waktu sementara belum ada djawaban untuk lamaran jang sudah dia
adjukan diberbagai tempat", demikian kata Sulaiman.
Petugas ini jang pernah mengikuti pendidikan di Kentucky,
Amerika, pada tahun '54, mengatakan pula bahwa kalau taman
didjadikan tempat pelarian sementara bagi para penganggur itu
ada lah soal biasa. Tidak terketjuali di Amerika jang walaupun
makmur, api belum berhasil melenjapkan penganggur. Tapi tentulah
mereka -- kaum penganggur itu, tidak sebanjak disini.
"Ditaman-taman banjak pelantjong muda jang tidur
dibangku-bangku, karena kalau tidur dihotel terlalu mahal".
Bukan sadja untuk tidur, tapi untuk perkosaan dan pembunuhan,
taman jang merupakan tiruan alam dengan semak belukar dan
pepohonan rindang, ternjata merupakan tempat jang ideal.
Pesanan. Hal jang segawat itu belum sampai terdjadi di Senen,
terutama karena taman jang ada hanjalah tanah sepetak ketjil,
tanpa rumput, apa pula belukar dan pohon rindang. Jang ada
hanjalah pohon pesanan, rapi ditanam dalam pot, dibalik mana
bahkan kutjing pun tidak bisa bersembunji. Disamping itu konon
110 orang anggota pasukan keamanan projek jang terbagi dalam
satuan keamanan parkir, keamanan mental dan keamanan fisik,
berdjaga-djaga terus, demi ketentraman orang-orang jang
ber-belandja dan mungkin djuga ketentraman orang-orang jang
menghabiskan waktunja diatas batu bermenung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini