Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Suka Sukarelawan

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Relawan memang punya kekuatannya sendiri. Lewat gerakan para relawan juga Joko Widodo bisa melenggang menjadi Presiden RI ketujuh. Pada era pemerintahan Soeharto, ada Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia. Para sarjana diorganisasi untuk kemudian ditu­gasi di wilayah-wilayah terpencil. Majalah Tempo edisi 27 Maret 1971 menuliskan kisah para sukarelawan yang memasuki daerah-daerah pedesaan itu.

Dua puluh lima sarjana muda usia meluruskan duduknya di hadapan hadirin di Istana Negara pagi itu. Dan Menteri Mursalin, yang juga Ketua Badan Urusan Tenaga Kerja ­Sukarela Indonesia, melanjut­kan laporannya, "Pembaharu­an dan pembangunan daerah pedesaan adalah pertama-tama pembaharuan atau perubahan sumber daya manusia yang hidup di daerah pedesaan itu, dan hal ini hanya mungkin jika tersedia pembawa gagasan-gagasan baru." Siapa pembawa gagasan-gagasan baru itu? Mereka, menurut Menteri Tenaga Kerja itu, adalah pemuda sarjana yang dengan sukarela mau memasuki daerah-daerah pedesaan.

Agaknya banyak yang setuju bahwa desa adalah juga penentu dalam pembangunan. Tapi orang pun sependapat bahwa masyarakat desa jauh tertinggal dari masyarakat kota. Bukan karena di desa tak ada night club, sedangkan di kota sudah merupakan pengisi kas negeri, melainkan ketinggalan itu tampak pada sikap.

Sikap ketinggalan, seperti dirasakan Judo Swadoso, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, lantaran masyarakat masih bersifat tertutup. Banten Selatan, tempat ia beroperasi selama dua tahun, kata Judo, tradisinya masih sangat kuat. Misalnya tradisi berbakti kepada sesepuh. Ada sesepuh yang mempunyai warga sampai 50 ribu orang. Ini adalah diagnosis dan, untuk itu, Judo mendapatkan terapinya. "Faktor pemuda," ujarnya.

Dan ia pun cepat-cepat mengorganisasi pemuda di desa sana. "Tapi itu tidak mudah dan pembinaan memerlukan waktu hampir satu setengah tahun. Mereka belum bergerak sehingga perlu dirangsang." Caranya? "Olahraga. Kami mengadakan pertandingan olahraga antardesa." Namun upaya ini belum berhasil sebagaimana sepatutnya. Sebab, sehabis olahraga, masih harus dipikirkan pengisian apa yang mesti dilakukan seterusnya. Maka ia pun membentuk kelompok pemuda yang mengusahakan tiga macam kegiatan, yaitu pendidikan, organisasi, dan rekreasi. Dengan tiga macam kegiatan itu, pemuda akan dibimbing ke arah pengenalan pertanian secara modern, misalnya beternak, menanam sayur, membuat pupuk buatan, dan membasmi hama.

Dalam bidang kegiatan beri­kutnya, pemuda diajari membuat rencana untuk kemudian dilaksanakan sendiri. Dan, dengan kreasi, para pemuda yang tak berpendidikan itu menyelenggarakan usaha kesenian dan olahraga. Dengan mengenalkan cara-cara pergerakan ini, paling sedikit hal itu telah menyinarkan hawa baru bagi tanggapan mereka akan sesuatu yang baru dan itu adalah pembangunan. Judo menyebutkan contoh hasil konkret: di Banten Selatan telah populer tanaman cengkeh.

Baik bagi sarjana ekonomi di atas maupun bagi ke-24 sobatnya, pengalaman di daerah telah menempatkan mereka pada satu posisi kehidupan yang menguntungkan mereka sendiri. Uang Rp 4.000 ditambah biaya dokter Rp 1.000 per bulan yang mereka terima adalah jumlah yang tak cukup untuk biaya mondok di Jakarta, tapi amat besar artinya di desa. Tinggal lagi—sebagai sarjana—yang mereka harapkan adalah adanya orang yang menaruh perhatian kepada usaha mereka. "Saya dikira petugas bimas yang didatangkan dari pusat," ucap Ompon Aruan, salah seorang sarjana hukum wanita dari ke-25 sarjana itu.

Bagaimanapun, hasil konkret yang dicapai pemuda Judo ataupun pemudi Ompon dengan organisasi Penggemar Unggas, yang mengenalkan cara beternak ayam negeri, ataupun Bank Kredit Desa, yang lebih laku daripada Bank Kosgoro di daerah Ungaran, bagaikan pionir-pionir Inggris yang membuka tanah di Amerika sekian abad yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus