Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deklarasi Damai KontraProduktif
PADA deklarasi kampanye damai di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, semua pasangan kandidat berorasi politik. Mereka menitikberatkan pada pelaksanaan pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia, tidak ada intervensi atau kejahatan. Deklarasi juga diisi sejumlah tarian dari berbagai daerah serta monolog oleh seniman Butet Kertaredjasa.
Butet punya kebiasaan unik, sehingga orang mudah mengenalnya. Ada yang menarik ketika ia tampil dengan menyampaikan kritik terhadap ketiga pasangan. Misalnya, ia menyindir Megawati dan SBY yang tidak pernah akur. Hal itu bertentangan dengan nilainilai yang diusung dalam Deklarasi Kampanye Pemilu Damai. Kalimatkalimatnya mengandung unsur provokasi. Semoga para kandidat tidak terprovokasi sehingga pemilu benarbenar damai.
HENDRIWAN ANGKASA
Tanah Sereal, Tambora,
Jakarta Selatan
Jangan Lupakan Pancasila
PANCASILA dibuat dengan amat hatihati dan harus mampu mewakili semua aspek kehidupan. Pancasila tidak pernah diubah sebagai dasar negara. Namun kini kian berkembang kehidupan bermasyarakat, berbagai paham dan aliran menjamur.
Persatuan bangsa kini benarbenar telah dipertaruhkan. Jiwa gotongroyong, bahumembahu di antara sesama, sekarang tinggal kenangan. Kian lama manusia semakin egois dan individualistis. Belum lagi maraknya kasuskasus ketidakadilan di negeri ini. Hukum telah dipermainkan oleh pihakpihak yang memiliki uang. Pendidikan yang seharusnya hak setiap warga negara tak terlaksana. Biaya pun semakin mahal. Di mana keadilan negeri ini?
Jika kita masih percaya nilainilai Pancasila masih amat relevan dengan kehidupan kita, mari kita berusaha menerapkan nilainilainya agar tidak hilang.
DANI HERMAWAN
Pemerhati masalah hukum dan HAM
Jl. Pintu Air, Jakarta Pusat
Jangan Pernah Melupakan Pancasila
DALAM pemaparan visi para calon presiden, yang mengemuka adalah perdebatan neolib dan ekonomi kerakyatan. Hampir tidak ada yang mengusung sistem ekonomi Pancasila yang lebih pas untuk Indonesia. Kepentingan politik jangka pendek para elite politik secara tidak disadari menyeret bangsa Indonesia terpilah dalam kepentingan ideologi lain.
Kepada seluruh anak bangsa, diimbau untuk tidak larut dalam ingarbingar kemeriahan kampanye politik. Kepada para pengelola pers nasional, teruslah menggelorakan nilainilai Pancasila.
GERRY SETIAWAN
Aktivis Jaringan Epistoholik Jakarta (JEJAK) Jl. Kober Gang H. Ismail, Condet, Jakarta Timur
Sinyal Indosat di Aceh Singkil
SEBAGAI pelanggan operator Indosat dengan nomor 081534013***, saya memohon perbaikan jaringan di Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil. Dalam beberapa bulan ini, masyarakat pelanggan Indosat banyak mengeluh karena tidak maksimalnya pelayanan.
SMS sering tertunda sehingga berita penting yang akan disampaikan telat. Sering kali saya lebih dulu bertemu orangnya daripada SMS. Pesan pun bisa masuk berkalikali. Sinyal hilang hingga empat jam lebih, padahal cuaca baik. Jaringan internet/GPRS sering putus sehingga download terganggu.
Masyarakat Gunung Meriah mayoritas pelanggan Indosat. Kalau memang menara di daerah kami tidak cukup, tolong ditambah kapasitasnya. Terima kasih.
M. IQBAL
Kecamatan Gunung Meriah
Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam
Ambalat, Manohara, dan Nasionalisme
Pada pertengahan 2009, dua kasus yang berkaitan dengan Malaysia muncul hampir bersamaan. Yaitu sengketa Blok Ambalat dan kekerasan terhadap Manohara. Yang satu berurusan dengan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang lain terkait nasib seorang warga kita yang diperlakukan tidak adil oleh penghuni kerajaan. Keduanya bermuara pada kesombongan berlebihan bangsa lain dan kurang cerdasnya kita mengelola nasionalisme bangsa ini.
Negeri yang teramat luas, kaya raya, ini ternyata ”kecil” di mata bangsa lain. Supaya bangsa ini bisa duduk sejajar dan disegani bangsa lain, dari sekarang kita harus mulai berbenah. Kita jaga perbatasan wilayah kita, kita kelola laut dan hutan untuk kesejahteraan rakyat kita. Kita basmi korupsi agar uang rakyat bisa untuk membiayai sekolah gratis, kita bangun industri sebanyak mungkin dengan memanfaatkan sumber daya alam. Ambalat dan Manohara telah menggugah nurani untuk lebih cerdas mengelola nasionalisme kita.
SARJITO
Volunteer NGO
Lhok Seumawe, Nanggroe Aceh Darussalam
Tuntaskan Ambalat
MASUKNYA kapalkapal perang Malaysia ke wilayah Indonesia secara demonstratif memancing kesabaran para prajurit TNI yang sedang menjaga kawasan Blok Ambalat. Apakah ini kesengajaan atau sekadar nyasar? Ini yang harus segera diklarifikasi Malaysia. Jika tidak sengaja, kenapa kejadian ini selalu berulang?
Pelanggaran ini harus segera dituntaskan. Jangan sampai para prajurit TNI yang di lapangan terprovokasi sehingga mesin perang yang mereka operasionalkan menyalak. Tentu bukan ini yang kita inginkan. Masih ada waktu dan banyak jalan penyelesaian. Pendekatan diplomasi harus tetap diutamakan, baik melalui semangat ASEAN maupun penyelesaian secara hukum melalui Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Rencana Komisi Pertahanan DPR ke Kuala Lumpur untuk minta kejelasan tentang tujuan kapalkapal perang Malaysia patut kita dukung.
DYAN YUSTISIA, SH
Jl. Roda 54, Bogor
Megawati dan Citacita
DALAM program Barometer, dengan tema “Mega Blakblakan Berbicara”, di SCTV pada malam 10 Juni 2009, setelah selesai menjawab pertanyaan mahasiswa, Ibu Megawati balik bertanya soal citacita penanya. Sang mahasiswa menjawab ingin menjadi wartawan. Yang mengejutkan saya, Ibu Mega menanggapi jawaban mahasiswa dengan bertanya, “Kok, citacitanya hanya menjadi wartawan?”
Ibu Mega terkesan memandang rendah citacita mahasiswa yang ingin menjadi wartawan. Saya bertanya: kok bisa Megawati sebagai kandidat dan mantan presiden berpandangan rendah terhadap profesi yang sangat mulia ini. Tidakkah Ibu Mega menyadari dan memahami betapa wartawan sebagai alat kontrol sosial masyarakat mempunyai fungsi serta peran besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Ibu Mega mungkin lupa ia juga bisa dikenal tentu tidak terlepas dari peran wartawan. Mudahmudahan Ibu Mega hanya khilaf dan tidak mematahkan citacita si mahasiswa untuk tetap bertekad menjadi wartawan.
DIDI IRAWADI SYAMSUDDIN
Redaktur Jurnal Keadilan
Politisasi Jilbab
JILBAB merupakan pakaian yang lapang dan dapat menutup kepala, muka, serta dada. Jilbab bukan sebatas penutup kepala, seperti yang banyak dipahami muslimah saat ini. Jika mengenakan penutup kepala, tapi aurat yang lain seperti dada dan tangan masih terbuka, sesungguhnya orang tersebut belum mengenakan jilbab.
Setelah berlangsung beberapa abad, jilbab bergeser semakin jauh dari porosnya. Jilbab yang sangat bernuansa teologis bergeser menjadi ekonomis. Memakai jilbab bukan sekadar kepatuhan kepada syariat, melainkan sebagai tren dan mode.
Mode ternyata bukan akhir dari pergerakan jilbab. Sekarang, jilbab malah menjadi amat politis. Dan telah menjelma menjadi peneguhan identitas sebagai muslimah yang layak dipercaya untuk memegang jabatan tertentu. Istri bupati, gubernur, hingga calon legislator ramairamai mengenakan jilbab menjelang pemilihan. Mereka berharap dipilih rakyat. Inilah jilbab politik dan politisasi jilbab.
HJ SITI UMIYATI
Jl. Raya Wangun, Tajur, Ciawi, Bogor
Berdayakan Kelurahan
JIKA duet Jusuf KallaWiranto atau MegawatiPrabowo memenangi pemilihan presiden pada 8 Juli mendatang, mereka perlu memberdayakan kelurahan atau kepala desa sebagai ujung tombak pembangunan yang berbasis rakyat kecil dan ekonomi berbasis kerakyatan.
Pemberdayaan kelurahan atau kepala desa jauh lebih penting daripada kecamatan dan kabupaten. Kelurahan atau kepala desa bersentuhan langsung dengan rakyat kecil.
Kualitas pelayanan masyarakat di kelurahan amat rendah. Antara lain disebabkan aparatur kelurahan tak memiliki tenaga profesional. Ketertinggalan desa dan kemiskinan tidak terlepas dari sistem administrasi negara kita.
HARRISON PAPANDE SIREGAR
Mahasiswa Administrasi Negara
Universitas Indonesia
Ragu Proyek Cai Jiang
SAYA ingin menyampaikan keraguan atas angka yang ditulis Avianti Armand dalam kolom majalah Tempo edisi 2531 Mei 2009. Dia menyebutkan bahwa megaproyek yang didanai Cai Jiang, seorang local tycoon, bernilai US$ 1 triliun.
Rasanya tidak masuk akal bila pembangunan perumahan di gurun Mongolia menelan ongkos sebesar itu. Bayangkan, nilai stimulus package pemerintah Amerika cuma US$ 700an miliar. Miliarder terkaya di dunia hartanya US$ 3040 miliar. Apakah angka yang US$ 1 triliun itu seharusnya Rp 1 triliun (sekitar US$ 100 juta)? Terima kasih.
MARCUS SUSANTO
81/25 Market Street, Sydney 2000, Australia
Mahasiswa Berharap Bantuan
SAYA mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Hamfara, Yogyakarta. Saya memiliki masalah pembayaran administrasi sebesar Rp 3 juta. Tunggakan ini sudah agak lama, sekitar tiga bulan lalu, dan kini merupakan harihari terakhir untuk melunasinya.
Saya tak tahu harus berbuat apa. Mulai dari mencari pekerjaan sampingan hingga beasiswa telah saya lakukan, tapi tak berhasil. Saya sudah menjual satusatunya barang berharga, yakni telepon seluler. Tapi dana penjualannya belum cukup. Kini pintu keluar kampus sudah tampak di depan mata. Terpaksa saya kirim surat ini ke Tempo, berharap ada pembaca yang memiliki kelapangan rezeki. Nomor rekening ada di Redaksi Tempo.
Terima kasih atas perhatiannya.
NANANG KUSWARDI
Jalan Sorosutan No. 62
Umbul Harjo, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo