Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR saja kita putus asa: skandal suap DPR dalam penetapan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sepertinya telah masuk keranjang sampah. Setahun sudah perkara "pesta duit" di Senayan itu terbengkalai. Lalu tibatiba kejutan datang lewat sebuah konferensi pers: Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan empat tersangka. Mereka adalah Hamka Yandhu (Golkar), Irjen Polisi Purnawirawan Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri), Dudhie Makmun Murod (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Endin A.J. Soefihara (Partai Persatuan Pembangunan). Dalam kasus ini ternyata KPK tidak tidur, walaupun orang nomor satu komisi itu terpaksa nonaktif akibat tersangkut kasus pembunuhan bos badan usaha milik negara.
Ada anggapan bahwa dibukanya kembali kasus ini setelah Ketua KPK Antasari Azhar berstatus nonaktif bukanlah sebuah kebetulan belaka. Bila semasa Antasari aktif komisi antikorupsi terkesan melempem dalam kasus yang dibongkar Agus Condro itu, tersedia dua kemungkinan jawaban. Pertama, Komisi belum punya cukup bukti untuk menjerat para pelaku. Mungkin KPK sedang menjalankan silent operation, gerakan rahasia seperti dalam film Hollywood. Ketika semua bukti sudah terkumpul, haaap, semua penjahat ditangkap dalam sekali garuk.
Kemungkinan kedua: seperti ada kekuatan besar yang membuat KPK tak berani melangkah maju. Ketua KPK berulang kali memberikan pernyataan hambar tentang lanjutan kesaksian Agus Condro. Seakanakan Antasari berpikir seribu kali tentang risiko yang dihadapi KPK, atau boleh jadi dirinya sendiri, bila Komisi terus membongkar kasus ini. Itulah sebabnya banyak orang yang percaya, pengusutan kasus ini bisa berjalan kembali setelah Antasari masuk bui. Mana yang benar? Wallahualam.
Yang pasti, kasus ini berasalmuasal dari ruang pemeriksaan KPK. Syahdan, Juli tahun lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (20042009) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Agus Condro Prayitno mengaku menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta dari fraksinya. Ketika itu Komisi Keuangan DPR baru saja memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. PDIP adalah salah satu fraksi di DPR yang memilih Miranda.
Agus mengaku, ada 35 anggota Dewan lain yang juga menerima duit haram tersebut. Total duit yang digelontorkan sekitar Rp 24 miliar. Sebagian dari mereka diketahui mencairkan sendiri cek itu. Sebagian lainnya menyuruh sopir, istri, atau sanak saudara. KPK telah memeriksa petinggi PDI Perjuangan. Tapi, menghadapi kasus yang sesungguhnya tak sulitsulit amat diungkap ini, KPK pada mulanya terkesan setengah hati.
Kelak kita akan tahu persis penyebabnya. Bagaimanapun, sekarang KPK sudah bergerak. Karena kasus ini sudah lima tahun umurnya, Komisi harus putar otak dalam melakukan investigasi. Tak ada lagi yang bisa ditangkap basah"senjata" andalan KPK selama ini. Sebagian penerima suap sudah mencairkan duitnya, dan besar kemungkinan fulus itu sudah ludes dipakai berfoyafoya, berlibur, atau membeli mobil baru. Agus Condro punya ungkapan menarik tentang duit tak halal ini, "Seperti duit setan dimakan iblis." Tandas tanpa bekas.
Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sangat dibutuhkan di sini. Lembaga itu punya wewenang penuh untuk menelisik rekening mereka yang dicurigai. Ndilalah, anggota Dewan yang terlibat kasus ini semuanya menggunakan jasa bank paling tidak ketika mencairkan cek pelawat itu. Jadi, semestinya siapa yang memberi dan menerima bisa ditelisik ke hulu dan ke hilir.
Tentu bukan hanya empat tersangka itu yang perlu diusut. Penerima lainnya tak boleh dilepaskan. Hukuman perlu tetap dijatuhkan apabila, misalnya, para anggota Dewan nanti berombongan mengembalikan duit haramnya. Pimpinan KPK pasti mafhum, pasal korupsi tak sertamerta bisa dicabut meski para tersangka mengembalikan fulus rasuah itu.
Seraya menelisik ke hilir, yang di hulu juga mesti diperiksa. Investigasi Tempo pada September 2008 mengindikasikan perkembangan yang berarti. Cek pelawat dibeli oleh sebuah perusahaan perkebunan yang berafiliasi pada pengusaha terkenal. Belakangan, Komisi sudah pula memeriksa Nunun Nurbaetie, istri bekas calon Gubernur DKI Adang Daradjatun. Tentu pemeriksaan Nunun memberikan banyak bahan bagi KPK untuk meneruskan penelisikan.
Di ujung paling atas, rasanya janggal bila Miranda Goeltom tidak diperiksa. Ini memang bukan perkara mudah. Miranda bisa saja menyangkal tidak tahumenahu perihal bagibagi duit tersebut-sesuatu yang selama ini dikatakannya. Dalam perkara korupsi tingkat tinggi ini, memang kaitan antara pelaku lapangan dan aktor intelektual biasanya kerap kabur atau sengaja dikaburkan.
Itu sebabnya KPK kini memakai taktik makan bubur panas: bergerak pelanpelan dari pinggir terus ke tengah. Empat tersangka itu mudahmudahan hanyalah "bubur di tepian". Kita menunggu KPK bergerak ke tengah dan segera menciduk tokoh paling "hot" dalam kasus memalukan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo