TIADA hari tanpa tuak -- begitu kata orang Batak di kampung
halamannya di Tapanuli Sumatera Utara. Dan pemandangan di
warung-warung tuakpun tetap bertahan: beberapa orang setengah
mabuk memetik gitar, menyanyi, dan sebagian lagi larut
berlisoi-lisoi atau menari tor-tor.
Bahkan di samping sarana bersantai, kedudukan tuak begitu
penting: berhimpit dengan adat istiadat. "Selama adat Batak
masih tegak," kata Lumbantobing (SO tahun), pemilik warung tuak
di Jembatan Senggol, Sibolga Julu, "selama itulah peranan tuak
terus terjamin " Coba saja. Tak ada sebuah pesta adatpun, --
pesta kelahiran, perkawinan sampai kematian -- dilewatkan tanpa
berbotol-botol tuak. Musyawarah akan macet jalannya tanpa tuak.
Sebelum musyawarah dibuka ketua di sana akan nyeletuk lebih
dulu: " Mana tuak takkasannya -- mana tuak yang membuat lancar
omongan?"
Tuak adalah kehormatan. Mengunjungi mertua bagi menantu
terhormat
adalah mempersembahkan sebotol tuak. Hadiah bagi bayi yang baru
lahirpun selalu disertai ucapan: "Ini nak, sekedar pembeli tuak
na tonggi -- tuak manis."
Konon tuak pula yang membuat tubuh orang Batak di kampung
halamannya rata-rata sehat dan berumur panjang. Ompung Bokor
(85), misalnya, sampai hari ini tetap sehat walafiat napasnya
masih panjang dan giginya pun terhitung utuh. Hingga kinipun
hari-hari Ompung Bokor jadi menggelisahkan tanpa sebotol tuak.
Obat mujarab resep kuno adalah juga tuak. Air sadapan getah enau
itu diyakini menjadi penangkal segala macan penyakit. Jantung
akan tetap teratur berdenyut, penyakit malaria, apalagi cuma
sekedar masuk angin, akan menjauh dari tubuh si pecandu. Air
susu yang tumpatpun akan lancar bila si ibu secara teratur minum
tuak sehabis belsalin.
Itu semua cerita Lumbantobing, Sarumpaet atau pemilik warung
tuak lain yang tersebar merata di setiap pojok Tanah Batak. Itu
bukan kampanye minum tuak. Sebab menurut Marali Sarumpaet,
pemilik warung tuak di Poriaha, Tapanuli Tengah, mendiang
pahlawan nasional Ferdinan Lumbantobing -- bekas Menteri
Penerangan RI --pernah bilang: minum tuak secara teratur
sesungguhnya mendatangkan kesehatan. Asal jangan ditenggak oleh
perut yang kosong atau sampai tenggen alias mabuk. Ferdman
adalah dokter yang pernah juga menjabat Kepala Rumahsakit Umum
di Sibolga.
Dikejar
Tapi belakangan ini tuak Batak mendapat ancaman. Tak kurang dari
Gubernur Sumatera Utara sendiri, E.W.P. Tambunan, melancarkan
anti jual dan minum tuak sembarangan. Sebab angka-angka
pelanggaran, kejahatan dan keributan bersumber dari warung tuak
-- dari para pemabuk.
Di Kotamadya Sibolga lebih terlihat usaha penertiban. Polisi
bersama petugas Dinas Kesehatan turun ke lapangan mengadakan
pembersihan ke berbagai warung yang tak berizin menjual tuak.
Berhasil disita lebih 6000 botol dari sekitar 40 warung. Pemilik
warung akan diseret ke pengadilan dengan tuduhan melanggar
peraturan daerah (Perda) tentang izin menjual minuman keras.
Gebrakan pemerintah daerah disambut hangat kalangan yang tidak
menyukai kegiatan tuak dan mabuk-mabuk secara sembarangan.
"Kami sih tidak anti pati dengan minuman keras, kalau hal itu
lazim dinikmati saudara yang beragama Kristen, " ujar Hajjah
Hasni Marbun, pimpinan salah sebuah organisasi wanita Islam di
sana. Tapi yang benar saja, katanya warung-warung tuak kadang
berdiri di tempat-tempat yang tak layak. Misalnya, di muka
mushalla atau sekolah. Dan lagi, ceritanya, sang hajjah ini
pernah berurusan dengan pemabuk suatu kali ibu yang berusia 50
tahun itu dikejar-kejar seorang pemabuk di tengah kota. Untuk
menyelamatkan diri terpaksa lari dan bersembunyi di . . . warung
tuak.
Namun begitu, pemilik warung tuak tetap optimis. Laki-laki Batak
juga masih rajin memanjat pohon enau yang di sana disebut bagot.
Di atas paragat tuak, si penyadap bergendang memukul-mukul
pelepah mayang enau sambil mendendangkan pantun lama. Walaupun
di bawah tuaknya diancam razia atau "ditembak" pemabuk yang
sering menungak uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini