PEMBACA, orang Jawa itu manusia. Apakah ini masih perlu
dipersoalkan? Barangkali tidak. Pembuktian tidak perlu. Atau
adakah seorang pandir yang masih membimbangkannya? Mungkin ada,
mungkin tidak.
Namun, seabad yang lalu, Multatuli yang bukan pandir merasa
harus mengucapkannya: Pembaca, orang Jawa itu manusia. Untuk
menutup karangannya, "Tunjukkan aku tempat, di mana aku telah
menabur," diulanginya lagi: Orang Jawa itu manusia. Multatuli
yang berkesah bicara tentang manusia yang kehabisan harapan.
Silakan pembaca mengaitkannya dengan apa saja sekitar manusia,
sekitar sesama manusia. Dengan eksistensialisme barangkali, yang
bicara tentang aku yang mempunyai ke-diri-sendirian. Atau dengan
ajaran para Stoik belasan abad yang silam: manusia itu sama,
secara alamiah. Atau bisa dihubungkan dengan rokh Revolusi
Prancis yang tersohor itu: Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan.
Bisa dihubungkan dengan ucapan Jefferson, tokoh penyusun
Declaration of Independence itu, yang bilang bahwa manusia
diciptakan sama bahwa Tuhan menganugerahinya hak-hak yang tak
dapat diganggu-gugat bahwa di antaranya adalah hak untuk hidup,
kemerdekaan dan mencari kebahagiaan.
Alhamdulillah, kita bisa bangga bahwa dalam soal-soal manusia
dan sesama manusia orang Indonesia tidak perlu berkiblat pada
negeri lain dan zaman lain. Soal persamaan, kekeluargaan,
kegotong-royongan, kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan sudah
tersedia di sini, digali dari bumi Indonesia oleh tangan-tangan
Indonesia. Tinggal mendalami makna yang terkandung dalam
Pancasila, UUD 1945 dan TAP MPR. Kita mempunyai pelbagai modal
yang ampun: Trilogi Pembangunan, Sapta Krida Kabinet
Pembangunan, Delapan Jalur Pemerataan dan lain-lain.
***
Maka terbetiklah kabar perihal jurang yang menganga antara buruh
dan administrator perkebunan di Sumatera Utara. Sumbernya Dirjen
Perawatan Tenaga Kerja, bukan aktivis.
Upah buruh SKU (Syarat Kerja Umum) bila dibandingkan dengan gaji
administrator, hasilnya menjadi 1:15. Dibanding dengan gaji
seorang direksi, hasilnya 1:16 atau 1:17. Kalau dihitung-hitung
fasilitas yang dinikmati direksi, perbandingannya menjadi 1:50,
malah disinyalir 1:200. Perbandingan terakhir (1:200) sekaligus
disangkal. Terlalu besar, keterlaluan.
Ternyata menghitungnya tidak mudah tapi ancer-ancernya begini.
Upah buruh terendah Rp 18.200 per bulan sudah termasuk bantuan
beras. Gaji seorang administrator Rp 300.000 per bulan.
Perbandingannya sekitar 1:16.
Lalu ada perbedaan dalam fasilitas yang membikin hidup lebih
nyaman. Sebaliknya, bagi buruh ada pula tambahan premi yang bisa
membuatnya bergaji Rp 800 - Rp 900 seharinya. Di atas segala
kerumitan itu, perbandingan 1:15 patutlah dibuat pegangan
sementara.
Sesungguhnya, pembaca yang budiman, adakah ini aneh Apakah
yang mau diributkan? Bukanlah para buruh perkebunan itu masih
bisa bersyukur? Kalau mereka baca koran November 1979 (sayang
bacaan barang luks) maka mereka tahu: upah buruh dua perusahaan
nasional di Semaran di bawah Rp 200 sehari. Pada satu
perusahaan, upah sehari Rp 190,23 dengan perincian: upah bulanan
Rp 3.000, uang makan sehari Rp 5 dan premi Rp 1.000 sebulan
kalau tak pernah absen.
Pada perusahaan lainnya upah sehari Rp 185 dengan perincian: Rp
150 upah ditambah makanan senilai Rp 35. Bekerja dari jam 6 pagi
sampai jam 6 sore. Dan upah itu sekitar Rp 75 lebih rendah dari
ketentuan upah minimum regional Jawa Tengah yang dipatokkan Rp
265 sehari seorang.
Mereka ini digiring nasib ke bawah garis kemiskinan. Tapi adakah
ini barang baru? Tidak. Bulan September yang lalu, pada Seminar
Petani Buruh di Jakarta (diselenggarakan Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia) juga dikatakan bahwa sebagian besar petani buruh
hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah petani miskin ini tidak
kepalang tanggung: sekitar 11.328.000 rumah tangga petani atau
56.640.000 jiwa.
Mengukur jurang semakin rumit jadinya, lebih rumit dari contoh
perkebunan Sumatera Utara. Bagaimana mengukur jurang antara
buruh tani Kromo dengan wiraswastawan asyim Ning, Sudarpo atau
Gobel? Mustahil dan tidak perlu. tapi perbandingannya jelas di
atas 1: 200.
Namun tentu bermanfaat untuk mengukur-ukur jurang resmi di
kalangan pegawai negeri, sesama anggota KORPRI dan sama-sama
memiliki Sapta Prasetya dan Bhinneka Karya Abdi Negara. Lihatlah
jurang resmi antara golongan I A dan IV E misalnya. Gaji
golongan I A masa dinas nol tahun kira-kira sebesar Rp 12.000
sebulan. Golongan IV E mencapai Rp 120.000 sebulan.
Di atas itu ada tunjangan fungsional, tunjangan istri, tunjangan
anak. Mungkin ada rumah dinas, mobil dinas dan sopir. Pejabat
tertentu bisa mendapat tunjangan struktural Rp 100.000 atau
lebih. Jadi, gaji pegawai rendah dan tertingi bisa berbanding
1: 30. Dengan seorang menteri, perbandingannya kiranya di atas
1: 60, silakan taksir. Tentunya, pendapatan tambah mainnya bukan
untuk dihitung.
Pada aman pemerataan, adakah ini jurang (resmi) yang layak? Di
negeri kapitalis seperti Amerika Serikat jurang antara gaji
pegawai terendah dan tertinggi (Grade I Step 1 dan Crade 17 Step
6) tidak ada 1: 8. Gaji pegawai terendah dengan menteri tidak
ada 1: 10. Saya tidak mafhum keadaan negeri komunis, tapi jelas
perbandingan tersebut lebih kecil lagi di Australia dari pada di
Amerika Serikat.
Pancasila, UUD 45, GBHN, Ekaprasetya Pancakarsa, Delapan Jalur
Pemerataan, semuanya menghimbau: keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Menghimbau: petani gurem itu manusia golongan
I A itu manusia. Maka layaklah kita berharap jurang ini
pelan-pelan menciut 'menjadi jurang yang lebih manusiawi. Lagi
pula, bukankah para pemimpin dan elite kita akan memberi contoh,
menjadi suri tauladan dan motivator ampuh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini