Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jurang Yang Manusiawi

Menurut dirjen perawatan tenaga kerja terjadi jurang yang dalam antara gaji buruh dan administrator, 1:15. begitu juga gaji pegawai negeri golongan i dan golongan iv e, perbandingannya 1:30.

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBACA, orang Jawa itu manusia. Apakah ini masih perlu dipersoalkan? Barangkali tidak. Pembuktian tidak perlu. Atau adakah seorang pandir yang masih membimbangkannya? Mungkin ada, mungkin tidak. Namun, seabad yang lalu, Multatuli yang bukan pandir merasa harus mengucapkannya: Pembaca, orang Jawa itu manusia. Untuk menutup karangannya, "Tunjukkan aku tempat, di mana aku telah menabur," diulanginya lagi: Orang Jawa itu manusia. Multatuli yang berkesah bicara tentang manusia yang kehabisan harapan. Silakan pembaca mengaitkannya dengan apa saja sekitar manusia, sekitar sesama manusia. Dengan eksistensialisme barangkali, yang bicara tentang aku yang mempunyai ke-diri-sendirian. Atau dengan ajaran para Stoik belasan abad yang silam: manusia itu sama, secara alamiah. Atau bisa dihubungkan dengan rokh Revolusi Prancis yang tersohor itu: Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. Bisa dihubungkan dengan ucapan Jefferson, tokoh penyusun Declaration of Independence itu, yang bilang bahwa manusia diciptakan sama bahwa Tuhan menganugerahinya hak-hak yang tak dapat diganggu-gugat bahwa di antaranya adalah hak untuk hidup, kemerdekaan dan mencari kebahagiaan. Alhamdulillah, kita bisa bangga bahwa dalam soal-soal manusia dan sesama manusia orang Indonesia tidak perlu berkiblat pada negeri lain dan zaman lain. Soal persamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan sudah tersedia di sini, digali dari bumi Indonesia oleh tangan-tangan Indonesia. Tinggal mendalami makna yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945 dan TAP MPR. Kita mempunyai pelbagai modal yang ampun: Trilogi Pembangunan, Sapta Krida Kabinet Pembangunan, Delapan Jalur Pemerataan dan lain-lain. *** Maka terbetiklah kabar perihal jurang yang menganga antara buruh dan administrator perkebunan di Sumatera Utara. Sumbernya Dirjen Perawatan Tenaga Kerja, bukan aktivis. Upah buruh SKU (Syarat Kerja Umum) bila dibandingkan dengan gaji administrator, hasilnya menjadi 1:15. Dibanding dengan gaji seorang direksi, hasilnya 1:16 atau 1:17. Kalau dihitung-hitung fasilitas yang dinikmati direksi, perbandingannya menjadi 1:50, malah disinyalir 1:200. Perbandingan terakhir (1:200) sekaligus disangkal. Terlalu besar, keterlaluan. Ternyata menghitungnya tidak mudah tapi ancer-ancernya begini. Upah buruh terendah Rp 18.200 per bulan sudah termasuk bantuan beras. Gaji seorang administrator Rp 300.000 per bulan. Perbandingannya sekitar 1:16. Lalu ada perbedaan dalam fasilitas yang membikin hidup lebih nyaman. Sebaliknya, bagi buruh ada pula tambahan premi yang bisa membuatnya bergaji Rp 800 - Rp 900 seharinya. Di atas segala kerumitan itu, perbandingan 1:15 patutlah dibuat pegangan sementara. Sesungguhnya, pembaca yang budiman, adakah ini aneh Apakah yang mau diributkan? Bukanlah para buruh perkebunan itu masih bisa bersyukur? Kalau mereka baca koran November 1979 (sayang bacaan barang luks) maka mereka tahu: upah buruh dua perusahaan nasional di Semaran di bawah Rp 200 sehari. Pada satu perusahaan, upah sehari Rp 190,23 dengan perincian: upah bulanan Rp 3.000, uang makan sehari Rp 5 dan premi Rp 1.000 sebulan kalau tak pernah absen. Pada perusahaan lainnya upah sehari Rp 185 dengan perincian: Rp 150 upah ditambah makanan senilai Rp 35. Bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Dan upah itu sekitar Rp 75 lebih rendah dari ketentuan upah minimum regional Jawa Tengah yang dipatokkan Rp 265 sehari seorang. Mereka ini digiring nasib ke bawah garis kemiskinan. Tapi adakah ini barang baru? Tidak. Bulan September yang lalu, pada Seminar Petani Buruh di Jakarta (diselenggarakan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) juga dikatakan bahwa sebagian besar petani buruh hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah petani miskin ini tidak kepalang tanggung: sekitar 11.328.000 rumah tangga petani atau 56.640.000 jiwa. Mengukur jurang semakin rumit jadinya, lebih rumit dari contoh perkebunan Sumatera Utara. Bagaimana mengukur jurang antara buruh tani Kromo dengan wiraswastawan asyim Ning, Sudarpo atau Gobel? Mustahil dan tidak perlu. tapi perbandingannya jelas di atas 1: 200. Namun tentu bermanfaat untuk mengukur-ukur jurang resmi di kalangan pegawai negeri, sesama anggota KORPRI dan sama-sama memiliki Sapta Prasetya dan Bhinneka Karya Abdi Negara. Lihatlah jurang resmi antara golongan I A dan IV E misalnya. Gaji golongan I A masa dinas nol tahun kira-kira sebesar Rp 12.000 sebulan. Golongan IV E mencapai Rp 120.000 sebulan. Di atas itu ada tunjangan fungsional, tunjangan istri, tunjangan anak. Mungkin ada rumah dinas, mobil dinas dan sopir. Pejabat tertentu bisa mendapat tunjangan struktural Rp 100.000 atau lebih. Jadi, gaji pegawai rendah dan tertingi bisa berbanding 1: 30. Dengan seorang menteri, perbandingannya kiranya di atas 1: 60, silakan taksir. Tentunya, pendapatan tambah mainnya bukan untuk dihitung. Pada aman pemerataan, adakah ini jurang (resmi) yang layak? Di negeri kapitalis seperti Amerika Serikat jurang antara gaji pegawai terendah dan tertinggi (Grade I Step 1 dan Crade 17 Step 6) tidak ada 1: 8. Gaji pegawai terendah dengan menteri tidak ada 1: 10. Saya tidak mafhum keadaan negeri komunis, tapi jelas perbandingan tersebut lebih kecil lagi di Australia dari pada di Amerika Serikat. Pancasila, UUD 45, GBHN, Ekaprasetya Pancakarsa, Delapan Jalur Pemerataan, semuanya menghimbau: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menghimbau: petani gurem itu manusia golongan I A itu manusia. Maka layaklah kita berharap jurang ini pelan-pelan menciut 'menjadi jurang yang lebih manusiawi. Lagi pula, bukankah para pemimpin dan elite kita akan memberi contoh, menjadi suri tauladan dan motivator ampuh?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus