ADA kesan, gaya jalannya mirip orang berbaris: cepat, tegas,
seolah-olah tak memperhatikan sekeliling. Dan meski wajahnya
selalu nampak serius, apalagi berkacamata ternyata mudah diajak
berbicara: hampir tak pernah menolak pertanyaan yang langsung
ditujukan kepadanya. Menteri P&K Dr. Daoed Joesoef, lahir di
Medan, Agustus 1926, yang pernah mengatakan "berani bertindak
tidak populer," ternyata kini sangat terkenal. Kebijaksanaannya
mengundang banyak pemberitaan -- dan protes.
Orangnya memang mengesankan sederhana, energetik dan keras. Dia
tidak merokok. Minggu pagi yang lalu sempat ikut dalam lomba
lari Kelompok ,tlet Masters (40 tahun ke atas) di Senayan.
Pernah menekuni seni lukis di masa remajanya. Karya-karyanya
tersebut, yang disimpannya dengan bangga, kini dipamerkan di
Museum Pusat (lihat Pokok & Tokoh).
Doktor dalam ilmu Keuangan Internasional dan Hubungan
Internasional dari Universitas Paris, juga Doktor Ekonomi dari
Universitas Sorbonne ini agaknya menyayangi benar putri
tunggalnya, 16 tahun. Wawancara tertulis TEMPO ini -- yang
terpaksa beberapa bagian dipotong karena halaman terbatas
--dikerjakannya dengan membatalkan janji berkebun dengan
putrinya.
Mengapa konsep ini mencantumkan kata "normalisasi"? Apakah
(waktu itu) kampus tidak normal? Dan bagaimana kampus yang
normal itu?
Konsep NKK sebagai keseluruhan memang bermaksud "menormalkan"
keadaan kampus, yaitu membawa kampus kepada norma yang
sewajarnya berlaku dan dikembangkan di kampus. Selama ini norma
tersebut semakin dilupakan, bahkan semakin dibiarkan dirusak
secara perlahan-lahan tetapi pasti sehingga sampai saat mulai
diterapkannya konsep NKK memang kampus-kampus kita berada dalam
keadaan tidak normal. Derajat ketidaknormalan itu memang
berbeda-beda pada setiap kampus, tetapi pada umumnya dapat
dikatakan semua kampus di Indonesia, tanpa kecuali, semakin lama
menjadi semakin tidak normal.
Ketidaknormalan ini terbukti pada tiga hal.
Pertama, ilmu pengetahuan di dalam kampus ditanggapi dan
diperlakukan secara tidak sempurna, tidak lengkap, yaitu semakin
lama menjadi hanya sebagai produk, semakin lama semakin kurang
sebagai proses dan semakin lama semakin tidak sebagai masyarakat
(community).
Kedua, kalaupun karena sesuatu hal ilmu pengetahuan ini terpaksa
belum dapat dikembangkan dalam artiannya yang lengkap, maka
titik berat perhatian secara wajar harus pada artian ilmu
pengetahuan sebagai "masyarakat" dan bukannya sebagai "produk"
seperti yang telah terjadi selama ini (maka itu tidak normal!).
Ketiga, yang merusak artian ilmu pengetahuan sebagai
"masyarakat" adalah anak-didik (mahasiswa) melalui aksi dan
tindakannya mengatasnamakan kampus, melalui aksi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan perkembangan kampus sebagai lingkungan
hidup ilmu dalam artian "masyarakat ilmiah". Padahal mahasiswa
tergolong pada warga kampus yang relatif termuda dan terlemah di
dalam keilmuan. Namun oleh sementara anggota masyarakat nasional
dielu-elukan sebagai "pahlawan" yang terpelajar semata-mata
karena ia memakai predikat "maha" siswa tersebut, sedangkan
keterpelajaran itu, ke "maha" siswaan itu seharusnya
dibuktikannya dengan aktifitas keilmuan.
Jadi kampus yang normal adalah, secara esensial, kampus yang
memperlakukan ilmu pengetahuan sekaligus dalam artiannya yang
lengkap, yaitu dalam artian produk, proses dan masyarakat.
Ilmu pengetahuan sebagai produk adalah pengetahuan yang telah
diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmiah, baik
pengetahuan yan tiperoleh dari pemikiran abstrak maupun yang
merupakan hasil dari penglaman yang ditata secara teratur. Jadi
dalam dirinya pengetahuan ilmiah terbatas pada
pernyataan-pernyataan yang mengandung kemungkinan untuk
disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji ataupun dibantah
oleh seseorang. Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah aktifitas
kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia
alamiah sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita
kehendaki. Metode (ilmiah) yang khas dipakai idalam proses ini
adalah analisa rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat
"impersonal", dari masalah-masalah yang didasarkan pada
percobaan dan data yang dapat ditanggapi (observable data).
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat adalah dunia pergaulan yang
tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur-katanya diatur
oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme,
komunalisme, disinterestedness dan sleptisisme yang teratur.
Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas dari warna
kulit, ras, asal-usul maupun keturunan/kedaerahan dan
kepercayaan ataupun keyakinan keagamaan. Komunalisme berarti
bahwa setiap pengetahuan adalah merupakan pengetahuan milik
masyarakat (public knowledge). Disinterestedness berarti ilmu
pengetahuan bukan propaganda. Skeptisisme yang teratur berarti
keinginan untuk mengetahui dan bertanya harus didasarkan pada
penalaran dan keteraturan berpikir.
Dan dalam menyusun konsep tersebut apakah juga dilibatkan
mahasiswa?
Menurut saya ketepatan (correctness) konsep ini bukan fungsi
dari ada tidaknya keterlibatan mahasiswa. Kalau yang dimaksudkan
dengan "mahasiswa" ini adalah setiap anggota populasi mahasiswa
yang jumlahnya mendekati lima ratus ribu itu, perlibatan itu
terang tidak ada karena secara teknis pasti tidak mungkin. Kalau
yang dimaksudkan dengan "mahasiswa" adalah pemuda yang pernah
mengalami belajar pada perguruan tinggi di dalam dan di luar
negeri dengan sukses, sehingga karenanya berkemampuan untuk
mengadakan perbandingan tentang sifat dan derajat ketingealan
kita di bidang ilmu dan teknologi secara tepat, perlibatan itu
memang ada.
Dalam kategori mahasiswa ini terang tidak termasuk sejumlah
kecil mahasiswa yang kini ribut mengadakan aksi protes tanpa
sesuatu konsep yang jelas tentang pengembangan kampus yang
mereka atas-namakan. Yang pasti, di dalam penyusunan konsep NKK,
terutama sejauh yang mengenai kelembagaan dan mekanisme kerja
yang relevan dengan konsep tersebut, telah melibatkan pimpinan
dan staf pengajar pendidikan tinggi, melalui tidak hanya satu
kali tetapi beberapa kali rapat kerja. Hal ini perlu saya
kemukakan walaupun tidak ditanyakan karena kenyataan bahwa
keterlibatan pimpinan dan staf pengajar ini tidak ditanyakan
benar-benar mencerminkan keanehan sikap di sementara lapisan dan
golongan masyarakat kita. Tingkah laku yang kasar dan
pernyataan-pernyataan yang betul-betul bersifat kekanak-kanakan,
kalaupun ketidak matangan akademis, dari mahasiswa, segera
diterima tanpa merasa perlu menanyakan pendapat para pengasuh
pendidikan tinggi yang cukup integer.
Menurut anda, apakah konsep NKK/BKK mudah dipahami mahasiswa?
Sehubungan dengan itu, apakah kesalahan tidak mungkin ada pada
pihak penyampainya misalnya dosen atau rektor?
Mungkin saja ada dosen ataupun rektor yang menyampaikan konsep
NKK secara keliru kepada mahasiswanya, baik disengaja ataupun
tidak. Di pihak lain, konsep tersebut tidak hanya telah dibahas
di kalangan rektor, dekan beserta pembantu-pembantu mereka,
tetapi juga telah saya jelaskan kepada para pemimpin redaksi
media massa ataupun wakil yang mereka tunjuk untuk memenuhi
undangan saya ke kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Beberapa surat kabar ibu kota telah menyambut baik himbauan saya
untuk menyiarkan konsep tersebut secara lengkap.
Bagi mahasiswa yang memang mau mengetahuinya, saya kira konsep
itu mudah dipahami karena ia ditulis dalam bahasa Indonesia dan
disajikan secara analitis populer. Sejauh konsep tersebut
dianggap sebagai seperangkat ketentuan dan peraturan yang harus
ditaati, itupun mudah dipahami karena penyusunannya memakai satu
pendekatan yang korek, yaitu apa yang disebut sebagai
goalsoriented approach to regulation tidak hanya menguraikan
lembaga dan mekanismenya, tetapi konsep itu lebih banyak dan
secara jelas menceritakan setiap sesuatu yang ingin dicapainya.
Dari reaksi sejumlah mahasiswa yang tidak menyetujui NKK/BKK,
apa kesimpulan anda.
Kesimpulan saya yang pertama adalah, reaksi mereka ini pada
umumnya berupa jeritan anak yang selama ini dimanjakan. Kalau
saya boleh meminjam perkataan Saudara Th. Sumartana (TEMPO, 24
November 1979), keresahan mereka bagaikan keresahan seorang
"putra mahkota" yang merasa belum mendapat perhatian dan bagian
apa-apa dari Sri Baginda. Keresahan mereka, dibanding dengan
keresahan para petani miskin di desa, adalah keresahan tanpa
kerja. Keresahan mereka adalah keresahan khas kota, yaitu:
bekerja sedikit, menuntut banyak!
Kesimpulan saya yang kedua, sejauh mengenai para penggerak aksi
protes mahasiswa, adalah bahwa mereka ini betul-betul memahami
konsep NKK. Begitu memahami sehingga mereka ini betulbetul sadar
bahwa di hari-hari mendatang mereka ditantang bukan sekedar
menjadi "pahlawan rapat umum" tetapi menjadi "pahlawan
pembangunan". Untuk dapat menjadi "pahlawan pembangunan"
diperlukan kerja keras dan belajar keras. Sedangkan kerja dan
belajar keras inilah yang justru mereka elakkan.
Menurut tangkapan anda, apa sebetulnya yang paling ditolak
mahasiswa? Menurut saya yang penting harus kita perhatikan,
demi pemahaman tingkat keintelektualan mahasiswa, bukanlah
apa-apa yang mereka tolak, tetapi caranya mereka menolak dan
alasan-alasan penolakan yang mereka ajukan. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa cara mereka menolak secara caci-maki, dengan
menggunakan kata-kata kasar tanpa merasa perlu menajukan
alasan-alasan secara konseptual analitis. Ini semua kiranya
mencerminkan derajat kesopanan intelektual yang rendah serta
tingkat mutu intelektual yang dangkal sekali kalaupun tidak nol
sama sekali.
Namun begitu, karena yang ditanya apa yang paling mereka tolak,
menurut hemat saya adalah lembaga BKK, sekaligus supaya ia
diganti dengan satu lembaga yang baik struktur dan mekanisme
kerjanya identik dengan "dewan mahasiswa".
Menurut saya, hal ini, di satu pihak, mencerminkan kepicikan
pandangan mereka bahwa perjuangan itu harus selalu sama dan
sebangun. Di lain pihak hal itu mencerminkan betapa pahamnya
mereka terhadap konsekuensi pelaksanaan konsep NKK. Lain halnya
pada sistem dewan mahasiswa, kini dan di hari yang akan datang
sistem BKK tidak lagi memungkinkan mereka ini naik di forum
politik nasional dengan menunggangi kampus secara mudah dan
murah.
Apakah mutlak bahwa BKK menjadi batu penyangga NKK? Apakah tidak
lebih baik mundur selangkah untuk tujuan yang lebih besar?
BKK dipertahankan bukanlah karena ia penyangga NKK. Yang menjadi
penyangga NKK adalah ketepatan (correctness) dari konsep NKK itu
sendiri sebagai satu keseluruhan yang terpadu. Artinya, BKK
dipertahankan karena ia memang relevan dengan keseluruhan
konsep. Kita tidak dapat mengatakan menerima konsep NKK tetapi
menolak salah satu lembaga yang merupakan bagian konstitutif
yang logis dari konsep NKK itu.
Untuk kemunduran yang diminta walaupun hanya satu langkah,
terpaut harga yang terlalu mahal untuk dibayar di kelak kemudian
hari. Mengingat ketinggalan kita yang sudah begitu jauh dari
perkembangan pendidikan tinggi di negeri-negeri lainnya, pula
mengingat begitu besar dana dan fasilitas yang kita sediakan
bagi kelompok pemuda-mahasiswa jika dibandingkan dengan yang
telah kita berikan kepada kelompok lainnya di kalangan pemuda
kita. Lagipula mundur ke arah mana, karena penolakan sementara
mahasiswa ini adalah satu penolakan tanpa suatu alasan
konseptual yang jelas. Artinya kalaupun mundur, kemunduran itu
dilakukan ke arah satu kekosongan, tanpa adanya dasar berdiri
baru yang solid secara konseptual.
Bagaimana seandainya ada grup diskusi tentang politik? Misalnya
mengundang seorang pimpinan partai untuk berbicara dalam diskusi
politik yang ilmiah?
Grup diskusi tidak dilarang, selama diskusi dilakukan sesuai
dengan kebiasaan diskusi ilmiah dan didasarkan atas konsep
analitis yang juga memenuhi persyaratan akademis. Seperti
layaknya sesuatu "thesis". Mengundang seorang pemimpin partai
juga boleh, selama dia di undang berdasarkan sesuatu konsep yang
sudah diutarakannya lebih dahulu secara tertulis dan analisa
yang dikandung oleh konsep itu memang diakui memenuhi
persyaratan ilmiah.
Artinya, secara esensial, orang ini diundang karena konsep
analitisnya dan bukannya karena dia kebetulan pemimpin sesuatu
partai. Berhubung yang menjadi rasionale diskusi adalah sifat
ilmiah dari penyajiannya, maka terang pimpinan universitas
ataupun fakultas vang menentukan, apakah si pembicara ini
memenuhi syarat atau tidak. Bila tidak, kampus akan berubah
menjadi satu arena politik praktis dan bukannya satu lingkungan
(masyarakat) ilmiah.
Terakhir, bagaimana kebijaksanaan anda menghadapi kemacetan
sekarang ini?
Izinkanlah saya mengingatkan bahwa di Indonesia ini terdapat
tidak kurang dari 47 perguruan tinggi negeri. Di antara jumlah
ini yang sekarang masih bergejolak praktis hanya dua perguruan
tinggi, yaitu UI dan ITB. Di kedua kampus UI pun yang
mengadakan aksi protes tidak seluruh mahasiswanya, tetapi hanya
sebagian kecil saja yang memang cukup vokal. Jadi dipandang dari
sudut ini tidak dapat dikatakan adanya kemacetan di dalam
pelaksanaan konsep NKK di dunia pendidikan tinggi negeri kita.
Untuk selanjutnya, kebijakan saya adalah tetap melaksanakan
konsep NKK, berdasarkan sesedikitnya tiga pertimbangan pokok.
Pertama, agar perguruan tinggi dapat melaksanakan tridharmanya
dengan setbaik-baiknya, pada umumnya, dan agar pendidikan tinggi
dapat menunaikan peranannya dengan lancar guna mencapai
sasaran-sasaran yang ditetapkan baginya oleh GBHN, pada
khususnya. Apa yang menjadi sasaran-sasaran ini tidak akan saya
ulangi di sini karena telah diingatkan kembali oleh Bapak
Presiden di dalam pidato beliau pada Dies ke-25 Universitas
Airlangga, 2 7 November yang lalu.
Demi pelaksanaan itu semua secara tepat oleh perguruan tinggi,
diperlukan adanya serangkaian pra-syarat. Pelaksanaan yang
tuntas dari konsep NKK merupakan pra-syarat itu, namun baru
berupa pra-syarat yang diperlukan. Kalaupun tcrlaksana secara
tuntas masih memerlukan pra-syarat tambahan lainnya. Jadi dalam
dirinya pelaksanaan yang tuntas dari konsep NKK baru merupakan
prasyarat yang diperlukan sekali, tetapi belum mencukupi -- a
necessary but no sufficient condition. Maka itu harus tetap
dilaksanakan untu4 kemudian diusahakan pemenuhan pra-syarat
lainnya yang diperlukan (bangunan, peralatan, perpustakaan,
tenaga pengajar, dan lain- lain).
Kedua, agar kita sebagai bangsa dalam jangka panjang tidak terus
menerus menjadi "importir" ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab
ilmu dan teknologi itu semakin lama menjadi "benda" yang semakin
mahal. Maka itu ilmu pengetahuan sebagai "proses" harus kita
kembangkan, supaya kita pun mampu menghasilkan ilmu sebagai
"produk". Tctapi sesuatu proses akan dapat berkembang dengan
baik bila diciptakan lingkungan yang memungkinkan proses itu
berkembang dan dihayati lingkungan itu adalah ilmu sebagai
"masyarakat". Dalam manifestasi spiritual dan fisiknya berupa
kampus, dengan segala tata-cara kerja keilmuannya.
Ketiga, konsep NKK itu sendiri correct dan ternyata dapat
dilaksanakan secara persis di sebagian terbesar perguruan tinggi
yang ada di negeri kita. Kalaupun di sana-sini pelaksanaan NKK
belum lancar, hal ini karena pelaksanaan itu dihalang-halangi,
baik oleh sekelompok kecil mahasiswa maupun oleh sekelompok
orang dari luar kampus.
Terhadap mahasiswa penghalang dan penyabot pelaksanaan NKK akan
dilakukan tindakan korektif karena di pcrguruan tinggi
pemerintah adalah wajar bila diterapkan kebijakan pendidikan
pemerintah. Kalau tidak menyetujuinya jangan menghalang-halangi
mahasiswa yang ingin melaksanakannya. (Setiap mahasiswa yang
tidak menyetujui konsep NKK bebas untuk meninggalkan kampus dan.
mencari perguruan tinggi yang tidak menerapkan konsep ini).
Saya akui tidak mudah merubah dan memperbarui segala sesuatu
yang dihadapi. Tetapi segala sesuatu itu tidak akan dapat
diubah, ataupun diperbarui selama ia tidak dihadapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini