Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Keresahan "Putra Mahkota"

Wawancara tempo dengan dr. daoed joesoef tentang normalisasi kampus, konsep nkk/bkk, reaksi mahasiswa dan kebijaksanaan untuk menghadapi kemacetan yang terjadi sekarang. (pdk)

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kesan, gaya jalannya mirip orang berbaris: cepat, tegas, seolah-olah tak memperhatikan sekeliling. Dan meski wajahnya selalu nampak serius, apalagi berkacamata ternyata mudah diajak berbicara: hampir tak pernah menolak pertanyaan yang langsung ditujukan kepadanya. Menteri P&K Dr. Daoed Joesoef, lahir di Medan, Agustus 1926, yang pernah mengatakan "berani bertindak tidak populer," ternyata kini sangat terkenal. Kebijaksanaannya mengundang banyak pemberitaan -- dan protes. Orangnya memang mengesankan sederhana, energetik dan keras. Dia tidak merokok. Minggu pagi yang lalu sempat ikut dalam lomba lari Kelompok ,tlet Masters (40 tahun ke atas) di Senayan. Pernah menekuni seni lukis di masa remajanya. Karya-karyanya tersebut, yang disimpannya dengan bangga, kini dipamerkan di Museum Pusat (lihat Pokok & Tokoh). Doktor dalam ilmu Keuangan Internasional dan Hubungan Internasional dari Universitas Paris, juga Doktor Ekonomi dari Universitas Sorbonne ini agaknya menyayangi benar putri tunggalnya, 16 tahun. Wawancara tertulis TEMPO ini -- yang terpaksa beberapa bagian dipotong karena halaman terbatas --dikerjakannya dengan membatalkan janji berkebun dengan putrinya. Mengapa konsep ini mencantumkan kata "normalisasi"? Apakah (waktu itu) kampus tidak normal? Dan bagaimana kampus yang normal itu? Konsep NKK sebagai keseluruhan memang bermaksud "menormalkan" keadaan kampus, yaitu membawa kampus kepada norma yang sewajarnya berlaku dan dikembangkan di kampus. Selama ini norma tersebut semakin dilupakan, bahkan semakin dibiarkan dirusak secara perlahan-lahan tetapi pasti sehingga sampai saat mulai diterapkannya konsep NKK memang kampus-kampus kita berada dalam keadaan tidak normal. Derajat ketidaknormalan itu memang berbeda-beda pada setiap kampus, tetapi pada umumnya dapat dikatakan semua kampus di Indonesia, tanpa kecuali, semakin lama menjadi semakin tidak normal. Ketidaknormalan ini terbukti pada tiga hal. Pertama, ilmu pengetahuan di dalam kampus ditanggapi dan diperlakukan secara tidak sempurna, tidak lengkap, yaitu semakin lama menjadi hanya sebagai produk, semakin lama semakin kurang sebagai proses dan semakin lama semakin tidak sebagai masyarakat (community). Kedua, kalaupun karena sesuatu hal ilmu pengetahuan ini terpaksa belum dapat dikembangkan dalam artiannya yang lengkap, maka titik berat perhatian secara wajar harus pada artian ilmu pengetahuan sebagai "masyarakat" dan bukannya sebagai "produk" seperti yang telah terjadi selama ini (maka itu tidak normal!). Ketiga, yang merusak artian ilmu pengetahuan sebagai "masyarakat" adalah anak-didik (mahasiswa) melalui aksi dan tindakannya mengatasnamakan kampus, melalui aksi yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkembangan kampus sebagai lingkungan hidup ilmu dalam artian "masyarakat ilmiah". Padahal mahasiswa tergolong pada warga kampus yang relatif termuda dan terlemah di dalam keilmuan. Namun oleh sementara anggota masyarakat nasional dielu-elukan sebagai "pahlawan" yang terpelajar semata-mata karena ia memakai predikat "maha" siswa tersebut, sedangkan keterpelajaran itu, ke "maha" siswaan itu seharusnya dibuktikannya dengan aktifitas keilmuan. Jadi kampus yang normal adalah, secara esensial, kampus yang memperlakukan ilmu pengetahuan sekaligus dalam artiannya yang lengkap, yaitu dalam artian produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk adalah pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmiah, baik pengetahuan yan tiperoleh dari pemikiran abstrak maupun yang merupakan hasil dari penglaman yang ditata secara teratur. Jadi dalam dirinya pengetahuan ilmiah terbatas pada pernyataan-pernyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji ataupun dibantah oleh seseorang. Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah aktifitas kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alamiah sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode (ilmiah) yang khas dipakai idalam proses ini adalah analisa rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat "impersonal", dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat ditanggapi (observable data). Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat adalah dunia pergaulan yang tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur-katanya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, disinterestedness dan sleptisisme yang teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas dari warna kulit, ras, asal-usul maupun keturunan/kedaerahan dan kepercayaan ataupun keyakinan keagamaan. Komunalisme berarti bahwa setiap pengetahuan adalah merupakan pengetahuan milik masyarakat (public knowledge). Disinterestedness berarti ilmu pengetahuan bukan propaganda. Skeptisisme yang teratur berarti keinginan untuk mengetahui dan bertanya harus didasarkan pada penalaran dan keteraturan berpikir. Dan dalam menyusun konsep tersebut apakah juga dilibatkan mahasiswa? Menurut saya ketepatan (correctness) konsep ini bukan fungsi dari ada tidaknya keterlibatan mahasiswa. Kalau yang dimaksudkan dengan "mahasiswa" ini adalah setiap anggota populasi mahasiswa yang jumlahnya mendekati lima ratus ribu itu, perlibatan itu terang tidak ada karena secara teknis pasti tidak mungkin. Kalau yang dimaksudkan dengan "mahasiswa" adalah pemuda yang pernah mengalami belajar pada perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri dengan sukses, sehingga karenanya berkemampuan untuk mengadakan perbandingan tentang sifat dan derajat ketingealan kita di bidang ilmu dan teknologi secara tepat, perlibatan itu memang ada. Dalam kategori mahasiswa ini terang tidak termasuk sejumlah kecil mahasiswa yang kini ribut mengadakan aksi protes tanpa sesuatu konsep yang jelas tentang pengembangan kampus yang mereka atas-namakan. Yang pasti, di dalam penyusunan konsep NKK, terutama sejauh yang mengenai kelembagaan dan mekanisme kerja yang relevan dengan konsep tersebut, telah melibatkan pimpinan dan staf pengajar pendidikan tinggi, melalui tidak hanya satu kali tetapi beberapa kali rapat kerja. Hal ini perlu saya kemukakan walaupun tidak ditanyakan karena kenyataan bahwa keterlibatan pimpinan dan staf pengajar ini tidak ditanyakan benar-benar mencerminkan keanehan sikap di sementara lapisan dan golongan masyarakat kita. Tingkah laku yang kasar dan pernyataan-pernyataan yang betul-betul bersifat kekanak-kanakan, kalaupun ketidak matangan akademis, dari mahasiswa, segera diterima tanpa merasa perlu menanyakan pendapat para pengasuh pendidikan tinggi yang cukup integer. Menurut anda, apakah konsep NKK/BKK mudah dipahami mahasiswa? Sehubungan dengan itu, apakah kesalahan tidak mungkin ada pada pihak penyampainya misalnya dosen atau rektor? Mungkin saja ada dosen ataupun rektor yang menyampaikan konsep NKK secara keliru kepada mahasiswanya, baik disengaja ataupun tidak. Di pihak lain, konsep tersebut tidak hanya telah dibahas di kalangan rektor, dekan beserta pembantu-pembantu mereka, tetapi juga telah saya jelaskan kepada para pemimpin redaksi media massa ataupun wakil yang mereka tunjuk untuk memenuhi undangan saya ke kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa surat kabar ibu kota telah menyambut baik himbauan saya untuk menyiarkan konsep tersebut secara lengkap. Bagi mahasiswa yang memang mau mengetahuinya, saya kira konsep itu mudah dipahami karena ia ditulis dalam bahasa Indonesia dan disajikan secara analitis populer. Sejauh konsep tersebut dianggap sebagai seperangkat ketentuan dan peraturan yang harus ditaati, itupun mudah dipahami karena penyusunannya memakai satu pendekatan yang korek, yaitu apa yang disebut sebagai goalsoriented approach to regulation tidak hanya menguraikan lembaga dan mekanismenya, tetapi konsep itu lebih banyak dan secara jelas menceritakan setiap sesuatu yang ingin dicapainya. Dari reaksi sejumlah mahasiswa yang tidak menyetujui NKK/BKK, apa kesimpulan anda. Kesimpulan saya yang pertama adalah, reaksi mereka ini pada umumnya berupa jeritan anak yang selama ini dimanjakan. Kalau saya boleh meminjam perkataan Saudara Th. Sumartana (TEMPO, 24 November 1979), keresahan mereka bagaikan keresahan seorang "putra mahkota" yang merasa belum mendapat perhatian dan bagian apa-apa dari Sri Baginda. Keresahan mereka, dibanding dengan keresahan para petani miskin di desa, adalah keresahan tanpa kerja. Keresahan mereka adalah keresahan khas kota, yaitu: bekerja sedikit, menuntut banyak! Kesimpulan saya yang kedua, sejauh mengenai para penggerak aksi protes mahasiswa, adalah bahwa mereka ini betul-betul memahami konsep NKK. Begitu memahami sehingga mereka ini betulbetul sadar bahwa di hari-hari mendatang mereka ditantang bukan sekedar menjadi "pahlawan rapat umum" tetapi menjadi "pahlawan pembangunan". Untuk dapat menjadi "pahlawan pembangunan" diperlukan kerja keras dan belajar keras. Sedangkan kerja dan belajar keras inilah yang justru mereka elakkan. Menurut tangkapan anda, apa sebetulnya yang paling ditolak mahasiswa? Menurut saya yang penting harus kita perhatikan, demi pemahaman tingkat keintelektualan mahasiswa, bukanlah apa-apa yang mereka tolak, tetapi caranya mereka menolak dan alasan-alasan penolakan yang mereka ajukan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa cara mereka menolak secara caci-maki, dengan menggunakan kata-kata kasar tanpa merasa perlu menajukan alasan-alasan secara konseptual analitis. Ini semua kiranya mencerminkan derajat kesopanan intelektual yang rendah serta tingkat mutu intelektual yang dangkal sekali kalaupun tidak nol sama sekali. Namun begitu, karena yang ditanya apa yang paling mereka tolak, menurut hemat saya adalah lembaga BKK, sekaligus supaya ia diganti dengan satu lembaga yang baik struktur dan mekanisme kerjanya identik dengan "dewan mahasiswa". Menurut saya, hal ini, di satu pihak, mencerminkan kepicikan pandangan mereka bahwa perjuangan itu harus selalu sama dan sebangun. Di lain pihak hal itu mencerminkan betapa pahamnya mereka terhadap konsekuensi pelaksanaan konsep NKK. Lain halnya pada sistem dewan mahasiswa, kini dan di hari yang akan datang sistem BKK tidak lagi memungkinkan mereka ini naik di forum politik nasional dengan menunggangi kampus secara mudah dan murah. Apakah mutlak bahwa BKK menjadi batu penyangga NKK? Apakah tidak lebih baik mundur selangkah untuk tujuan yang lebih besar? BKK dipertahankan bukanlah karena ia penyangga NKK. Yang menjadi penyangga NKK adalah ketepatan (correctness) dari konsep NKK itu sendiri sebagai satu keseluruhan yang terpadu. Artinya, BKK dipertahankan karena ia memang relevan dengan keseluruhan konsep. Kita tidak dapat mengatakan menerima konsep NKK tetapi menolak salah satu lembaga yang merupakan bagian konstitutif yang logis dari konsep NKK itu. Untuk kemunduran yang diminta walaupun hanya satu langkah, terpaut harga yang terlalu mahal untuk dibayar di kelak kemudian hari. Mengingat ketinggalan kita yang sudah begitu jauh dari perkembangan pendidikan tinggi di negeri-negeri lainnya, pula mengingat begitu besar dana dan fasilitas yang kita sediakan bagi kelompok pemuda-mahasiswa jika dibandingkan dengan yang telah kita berikan kepada kelompok lainnya di kalangan pemuda kita. Lagipula mundur ke arah mana, karena penolakan sementara mahasiswa ini adalah satu penolakan tanpa suatu alasan konseptual yang jelas. Artinya kalaupun mundur, kemunduran itu dilakukan ke arah satu kekosongan, tanpa adanya dasar berdiri baru yang solid secara konseptual. Bagaimana seandainya ada grup diskusi tentang politik? Misalnya mengundang seorang pimpinan partai untuk berbicara dalam diskusi politik yang ilmiah? Grup diskusi tidak dilarang, selama diskusi dilakukan sesuai dengan kebiasaan diskusi ilmiah dan didasarkan atas konsep analitis yang juga memenuhi persyaratan akademis. Seperti layaknya sesuatu "thesis". Mengundang seorang pemimpin partai juga boleh, selama dia di undang berdasarkan sesuatu konsep yang sudah diutarakannya lebih dahulu secara tertulis dan analisa yang dikandung oleh konsep itu memang diakui memenuhi persyaratan ilmiah. Artinya, secara esensial, orang ini diundang karena konsep analitisnya dan bukannya karena dia kebetulan pemimpin sesuatu partai. Berhubung yang menjadi rasionale diskusi adalah sifat ilmiah dari penyajiannya, maka terang pimpinan universitas ataupun fakultas vang menentukan, apakah si pembicara ini memenuhi syarat atau tidak. Bila tidak, kampus akan berubah menjadi satu arena politik praktis dan bukannya satu lingkungan (masyarakat) ilmiah. Terakhir, bagaimana kebijaksanaan anda menghadapi kemacetan sekarang ini? Izinkanlah saya mengingatkan bahwa di Indonesia ini terdapat tidak kurang dari 47 perguruan tinggi negeri. Di antara jumlah ini yang sekarang masih bergejolak praktis hanya dua perguruan tinggi, yaitu UI dan ITB. Di kedua kampus UI pun yang mengadakan aksi protes tidak seluruh mahasiswanya, tetapi hanya sebagian kecil saja yang memang cukup vokal. Jadi dipandang dari sudut ini tidak dapat dikatakan adanya kemacetan di dalam pelaksanaan konsep NKK di dunia pendidikan tinggi negeri kita. Untuk selanjutnya, kebijakan saya adalah tetap melaksanakan konsep NKK, berdasarkan sesedikitnya tiga pertimbangan pokok. Pertama, agar perguruan tinggi dapat melaksanakan tridharmanya dengan setbaik-baiknya, pada umumnya, dan agar pendidikan tinggi dapat menunaikan peranannya dengan lancar guna mencapai sasaran-sasaran yang ditetapkan baginya oleh GBHN, pada khususnya. Apa yang menjadi sasaran-sasaran ini tidak akan saya ulangi di sini karena telah diingatkan kembali oleh Bapak Presiden di dalam pidato beliau pada Dies ke-25 Universitas Airlangga, 2 7 November yang lalu. Demi pelaksanaan itu semua secara tepat oleh perguruan tinggi, diperlukan adanya serangkaian pra-syarat. Pelaksanaan yang tuntas dari konsep NKK merupakan pra-syarat itu, namun baru berupa pra-syarat yang diperlukan. Kalaupun tcrlaksana secara tuntas masih memerlukan pra-syarat tambahan lainnya. Jadi dalam dirinya pelaksanaan yang tuntas dari konsep NKK baru merupakan prasyarat yang diperlukan sekali, tetapi belum mencukupi -- a necessary but no sufficient condition. Maka itu harus tetap dilaksanakan untu4 kemudian diusahakan pemenuhan pra-syarat lainnya yang diperlukan (bangunan, peralatan, perpustakaan, tenaga pengajar, dan lain- lain). Kedua, agar kita sebagai bangsa dalam jangka panjang tidak terus menerus menjadi "importir" ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab ilmu dan teknologi itu semakin lama menjadi "benda" yang semakin mahal. Maka itu ilmu pengetahuan sebagai "proses" harus kita kembangkan, supaya kita pun mampu menghasilkan ilmu sebagai "produk". Tctapi sesuatu proses akan dapat berkembang dengan baik bila diciptakan lingkungan yang memungkinkan proses itu berkembang dan dihayati lingkungan itu adalah ilmu sebagai "masyarakat". Dalam manifestasi spiritual dan fisiknya berupa kampus, dengan segala tata-cara kerja keilmuannya. Ketiga, konsep NKK itu sendiri correct dan ternyata dapat dilaksanakan secara persis di sebagian terbesar perguruan tinggi yang ada di negeri kita. Kalaupun di sana-sini pelaksanaan NKK belum lancar, hal ini karena pelaksanaan itu dihalang-halangi, baik oleh sekelompok kecil mahasiswa maupun oleh sekelompok orang dari luar kampus. Terhadap mahasiswa penghalang dan penyabot pelaksanaan NKK akan dilakukan tindakan korektif karena di pcrguruan tinggi pemerintah adalah wajar bila diterapkan kebijakan pendidikan pemerintah. Kalau tidak menyetujuinya jangan menghalang-halangi mahasiswa yang ingin melaksanakannya. (Setiap mahasiswa yang tidak menyetujui konsep NKK bebas untuk meninggalkan kampus dan. mencari perguruan tinggi yang tidak menerapkan konsep ini). Saya akui tidak mudah merubah dan memperbarui segala sesuatu yang dihadapi. Tetapi segala sesuatu itu tidak akan dapat diubah, ataupun diperbarui selama ia tidak dihadapi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus