Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mencegah terulangnya kasus pengunduran diri wakil kepala daerah, apakah Anda setuju pemilihan kepala daerah tanpa wakil?
|
||
Ya | ||
65,14% | (228) | |
Tidak | ||
31,43% | (110) | |
Tidak Tahu | ||
3,43% | 12 | |
Total | (100%) | 350 |
AKHIR Desember lalu, duet penguasa Jakarta bercerai. Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengajukan pengunduran diri ke Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Atasannya, Gubernur Fauzi Bowo, hanya mendapat tembusan. Alasannya: ketidakcocokan.
Sejak pertengahan tahun lalu sudah santer beredar kabar bahwa Prijanto merasa "dikucilkan" oleh Fauzi Bowo. Dalam satu wawancara, Prijanto mengaku hanya jadi "ibu rumah tangga yang lebih banyak mengerjakan administrasi dan keuangan pemerintahan". "
Ini bukan kasus pecah kongsi kepala daerah yang pertama. Sebelumnya, di Garut, Wakil Bupati Dicky Chandra juga mundur. Alasannya sama: tidak cocok dengan Bupati. Belum lagi belasan kasus serupa di berbagai daerah.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menegaskan posisi wakil kepala daerah dalam konstruksi pemerintahan daerah sebenarnya tidak diperlukan. "Dalam UUD 1945, posisi itu tidak perlu," ujarnya. Karena itu, Saldi mengusulkan posisi wakil kepala daerah dihilangkan saja.
Sebagian besar pembaca Tempo sependapat dengan gagasan itu. Pada jajak pendapat di situs berita Tempo.co sepanjang pekan lalu, 65,14 persen responden setuju pemilihan kepala daerah dilakukan tanpa wakil. Menurut mereka, model ini bisa mencegah terulangnya kasus pecah kongsi macam Prijanto dan Dicky Chandra. Hanya kurang dari sepertiga pembaca Tempo.co yang berpendapat sebaliknya.
Indikator Pekan Ini Menteri Perdagangan Gita Wirjawan membuat gebrakan. Dua pekan lalu, dia mengumumkan kebijakan baru di kantornya: pegawai negeri di Kementerian Perdagangan harus memiliki skor Test of English as a Foreign Language (TOEFL) di atas 600. Untuk tahap awal, kebijakan ini baru diberlakukan bagi 1.200 dari total 3.000 pegawai kementerian itu. "Akan saya prioritaskan mereka yang sedang dan akan bertugas ke luar negeri," kata Menteri Gita, Selasa pekan lalu. Gagasan Gita sebenarnya bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kementerian Perdagangan. Dalam paparan Outlook 2012, Kementerian Perdagangan tak hanya akan mewajibkan pegawainya fasih berbahasa Inggris, tapi juga harus berpendidikan tinggi. Jumlah pegawai berpendidikan S-2 dan S-3 di sana akan didongkrak sampai separuh dari total jumlah pegawai. Karena Gita juga masih menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, kebijakan serupa bakal diterapkan di lembaga itu. Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, menilai kebijakan Gita tidak realistis. Menurut dia, target skor TOEFL 600 itu kelewat tinggi. Sebagai jalan tengah, Andrinof minta target TOEFL di Kementerian Perdagangan diturunkan jadi 560 saja. "Itu masih realistis," katanya. Setujukah Anda jika pegawai negeri di lingkungan Kementerian Perdagangan diwajibkan memiliki skor TOEFL di atas 600? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempo.co. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo