Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu upacara adat yang ada di Banyuwangi untuk menyambut datangnya bulan Ramadan adalah Resik Lawon. Tradisi ini berasal dari kata resik yang berarti membersihkan dan lawon berarti kain kafan. Dapat diartikan bahwa Resik Lawon adalah upacara membersihkan kain kafan putih di dalam makam buyut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tradisi ini dilakukan di salah satu daerah di Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Jawa Timur. Resik Lawon menjadi tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu dan masih eksis sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Resik Lawon dilakukan setiap bulan Ruwah dalam kalender Jawa bertepatan pada tanggal 12-15 Ruwah yang jatuh pada hari Kamis atau Minggu dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Para pelaku tradisi ini adalah orang-orang yang masih meyakini tentang hal-hal mistis ataupun magis.
Tradisi Resik Lawon. ANTARA
Para pelaku sangat menjunjung tinggi ritual ini dan memiliki kewajiban untuk selalu melakukannya. Jika tidak melakukannya, para pelaku percaya bahwa Buyut Cungking akan marah dan mendatangkan musibah atau kesialan, sebagaimana dikutip unej.ac.id.
Pelaksanaan tradisi Resik Lawon terdiri dari beberapa tahapan. Lebih dahulu, tokoh adat atau tokoh masyarakat akan berkumpul di Balai Tajuk untuk melakukan musyawarah yang membahas tentang pembentukan panitia, perlengkapan, proses pelaksanaan, serta sumbangan masyarakat. Adapun, perlengkapan yang harus disiapkan adalah kafan atau lawon, benang jahit, jarum jahit, pring atau bambu, dan tali tampar hitam (lagur). Usai musyawarah, tahapan selanjutnya adalah menetapkan hari pelaksanaannya sehingga satu hari menjelang hari pelaksanaan dapat dilakukan persiapan upacara dengan matang.
Pada harinya, setelah melakukan selamatan nasi tumpeng, seluruh pelaku ritual pergi dari Balai Tajuk ke petilasan Buyut Cungking bersama-sama tokoh masyarakat lainnya berjalan kaki, tidak diperbolehkan membawa kendaraan sebagai representasi kesabaran dalam kehidupan. Sesampainya di sana, para pelaku ritual akan lebih dahulu membersihkan area makam, baik bagian luar maupun bagian dalam. Sebelum masuk ke dalam area petilasan (makam), setiap orang diwajibkan melepas alas kaki dan sedikit menundukkan badan sebagai simbol memohon izin bahwa acara segera dilakukan.
Menurut Jurnal Media Bina Ilmiah, Resik Lawon akan dimulai dengan tokoh adat melakukan ritual melepas kain menutupi cungkup (nisan) sebanyak 28 lembar. Lalu, warga membawa kain-kain ke sumber air sungai Krambatan Banyu Gulung atau DAM dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer yang harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Kemudian, setiap lembar kain diperas dan dibilas selama tiga kali dalam dua tempat yang berbeda dan dipikul bersama-sama secara bergantian. Pemikulannya dilakukan dengan menggunakan bahu kanan dan jangan berpindah-pindah, apalagi sampai jatuh ke tanah. Selanjutnya, kain diperas dan dijemur pada tali tampar di ketinggian 4 meter sehingga tidak menyentuh tanah. Jika sudah mengering, kain diturunkan, lalu satu minggu kemudian dipendam di area petilasan Buyut Cungking lantaran kain itu sudah tidak dapat digunakan kembali.
Setelah itu, para pelaku ritual mengganti kain penutup nisan makam dengan kain kafan yang baru. Tak hanya itu, kain kafan baru juga bisa didapatkan dari hasil sumbangan sukarela masyarakat yang dijahit bersama-sama dan telah disediakan sebelum upacara dilaksanakan. Setelah semua proses telah dilakukan, upacara terakhir dalam rangkaian Resik Lawon untuk menyambung bulan Ramadan adalah nyekar atau ziarah kubur di petilasan Buyut Cungking.
Pilihan Editor: Resik Lawon Ritual Mencuci Kain Kafan Sambut Bulan Ramadan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.