Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya sekejap Bertina Manurung mendengar suara mendengung keras. Ketika itu, warga Duren Sawit, Jakarta Timur, ini sedang berada di luar rumah. ”Tiba-tiba terdengar suara ledakan, kencang sekali,” katanya. Ia panik, tapi tidak tahu yang terjadi. Bertina pun lari masuk rumah. Setelah merasa lebih tenang, ia kembali ke luar. Panik kembali menyergap karena hanya berjarak dua rumah dari tempat ia berdiri, Bertina melihat tiga rumah hancur. Dia mengira rumah itu terbakar. ”Asapnya tebal sekali,” katanya.
Yang terjadi di permukiman padat pada sore 29 April itu adalah meteor jatuh. Kurang dari sepekan setelahnya, meteorit juga ditemukan di Pegunungan Wawo, Bima, Nusa Tenggara Barat. Meski dalam waktu berdekatan wilayah Indonesia dihantam dua batu meteor, para ahli memastikan tidak akan terjadi ”hujan” batu meteor sebesar kelapa seperti yang jatuh di Duren Sawit di wilayah Indonesia. Bahkan astronom juga memastikan batu meteor Duren Sawit dengan Bima itu tidak berhubungan. ”Hanya kebetulan,” kata Profesor Thomas Djamaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Yang menarik, kedua meteor itu sebenarnya sudah teridentifikasi. Menurut Kepala Observatorium Bosscha Dr Hakim Luthfi Malasan, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sudah memperhitungkan kedatangan dua meteor itu. Yang jatuh di Duren Sawit berkait an dengan meteor yang sudah diamati sejak 2002, sedangkan yang mendarat di Bima baru terlacak tahun ini. Meski keduanya sudah diperhitungkan bakal menghantam permukaan bumi, lokasi pendaratannya tidak bisa dipastikan.
Sejumlah lembaga antariksa, seperti NASA, memang memiliki program pemantauan benda langit yang berpapasan dengan bumi. Hal ini terutama untuk berjaga-jaga jika meteor atau benda yang lebih besar, seperti asteroid, mungkin menabrak bumi. Paling tidak, pengawasan ini merupakan usaha manusia modern untuk memprediksi ancaman pada bumi. Sejarah mencatat, 65 juta tahun silam, sebuah asteroid ber diameter sekitar 15 kilometer menghantam bumi. Dinosaurus pun punah.
Nah, jika ada meteor berukuran raksasa mengarah ke bumi, para ilmuwan sudah menyiapkan beberapa skenario meski belum ada yang terperinci. Salah satu caranya adalah membelokkan lintasannya atau menghancurkan sama sekali seperti di film Armageddon yang dibintangi Bruce Willis.
Untung saja, batu angkasa berukuran raksasa seperti itu sangat jarang jatuh ke bumi. Ukuran meteorit yang cukup besar terakhir jatuh di Tunguska, Rusia, pada 1908. Efek benturan meteo rit yang berukuran belasan meter tersebut dengan bumi menghasilkan energi sekitar seribu kali bom atom Hiroshima. Meteor yang paling sering me nerpa bumi hanya seukuran pasir dan, jika jumlahnya banyak, sering disebut hujan meteor. ”Untuk yang ukuran-ukuran kecil, terbakar habis,” kata Djamaluddin.
Laju meteor superkilat. Dengan kecepatan 36-144 ribu kilometer per jam, meteor yang terbakar berusaha menerobos partikel-partikel gas di mesosfer lapisan atmosfer di ketinggian 50-85 kilometer. Gesekan dengan partikel ini mengakibatkan sebagian atom menguap sehingga menciptakan selongsong gas panas di sekitar partikel kecil itu kadang besarnya sampai 30 sentimeter lebih. Selongsong gas panas inilah yang dilihat sebagai bintang jatuh.
Untuk ukuran meteor lebih besar sekitar 40 meter menurut versi NASA tidak semuanya hancur. Lebih kecil dari 40 meter, meteor akan terbakar habis. Tapi frekuensi pendaratan batu meteor yang lebih besar ini tidak sesering yang seukuran pasir atau kerikil. ”Rata-rata setiap hari ada satu atau dua me teor seukuran yang jatuh di Duren Sawit itu,” ujar Djamaluddin.
Batu meteor yang mendarat di permukiman manusia juga sangat langka, karena permukaan bumi yang tak berpenghuni lebih luas daripada yang berpenghuni. Di New York, Amerika Serikat, pada 1992, ada meteor yang menimpa sebuah mobil Chevrolet Malibu. Batu angkasa itu kemudian dinamai meteor Peekskill, sesuai dengan tempat jatuhnya. Pendaratan meteor itu direkam setidaknya 16 video berbeda dan gambarnya bertebaran di YouTube.
Kemungkinan jatuhnya meteor di berbagai wilayah dunia juga kurang-lebih rata. Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan batu meteor jatuh di kawasan tertentu. ”Di wilayah khatulistiwa atau lintang-lintang lain, frekuensinya sama,” kata Djamaluddin. Namun kecelakaan seperti yang terjadi di Duren Sawit juga tetap mungkin terjadi.
Meski ancamannya kecil, Indonesia tidak memiliki alat untuk memantau bila ada meteor jatuh di tempat ber penghuni. Sebab, kita tidak memiliki program pengawasan khusus. Untuk pengamatan, dibutuhkan teleskop optik dan model komputer sebagai alat perhitungan lintasan. ”Itu perlu fasili tas canggih,” kata Djamaluddin. Harganya tentu sangat mahal.
Dan sialnya, untuk sekadar mengamati gerak meteor pun sulit. Teleskop Bosscha, sebagai peneropong angkasa tercanggih di Indonesia, luntur kedigdayaannya gara-gara ”polusi” cahaya akibat pembangunan Bandung yang membuat kota itu terlalu gemerlap. Maka teleskop Bosscha pun tak begitu mampu lagi menangkap obyek angkasa redup seperti meteor sebelum menyentuh atmosfer meteor hanya terlihat menyala saat terbakar.
Tapi masih ada kelebihan kita, yaitu memanfaatkan batu meteor sebagai bahan keris. Teknologinya sudah dikuasai sejak dahulu kala. Contoh yang terkenal adalah meteor yang jatuh di Prambanan pada 1797. Sebagian batu itu dijadikan keris dan sisanya disimpan di Keraton Surakarta.
Menurut Haryono Haryoguritno, insinyur Institut Teknologi Bandung yang juga ahli keris, fenomena jatuhnya meteor di wilayah Jawa selama berabad-abad selalu mengandung unsur mistis. Karena dianggap memiliki kekuatan magis, batu meteor dijadikan bahan pembuatan keris. ”Dianggap kontribusi dari dewa kepada manusia.”
Faktanya, logam di meteor, yang berupa campuran besi dan nikel, sangat cocok untuk bahan ”pamor”, ya itu lapisan yang membentuk pola pada keris. Haryono mengatakan sekitar 10 dari 100 keris yang ia produksi ditempa di Madura dan diselesaikan di Jakarta dibuat dengan campuran batu meteor yang dia peroleh di berbagai tempat, termasuk titip kepada sesama penggemar keris yang membeli meteo rit di luar negeri.
Nur Khoiri, Ririn Agustia, Anwar Siswadi (Bandung)
Meramal Kedatangan Tamu Angkasa
Lembaga antariksa di Amerika Serikat dan Eropa aktif melacak benda-benda langit yang lintasannya berdekatan dengan bumi. Mereka berjaga-jaga terhadap kemungkinan meteor raksasa, dengan diameter lebih dari satu kilometer, menghunjam ke bumi. Tapi meteor mini, seperti yang mendarat di Duren Sawit, juga ada dalam katalog pengamatan mereka.
Pantauan Benda Langit Dekat Bumi:
Terpantau: 6.995 buah
Ukuran besar (diameter >1 kilometer) sebanyak 1.111 buah. Menurut perhitungan saat ini, tak satu pun menjadi ancaman bumi.
Ukuran Bahaya:
<40 meter: terbakar oleh atmosfer
40 meter-1 kilometer: menciptakan kerusakan lokal
>2 kilometer: menciptakan bencana global
Bintang Jatuh:
Meteor berukuran seperti pasir atau kerikil yang sedang terbakar di lapisan mesosfer (atmosfer pada ketinggian 50-85 kilometer). Atom yang menguap menciptakan selongsong gas panas di luar butir pasir meteor itu. Selongsong itu bisa berukuran sampai 30 sentimeter lebih dan tampak oleh mata telanjang.
Sumber: www.ace.mmu.ac.u/nasa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo