Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon seluler Ezki Tri Rezeki Widianti tak berhenti berdering pada Rabu malam dua pekan lalu. Ucapan selamat datang silih berganti. Maklum, dia baru terpilih sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia periode 2010-2013, bersama delapan orang lainnya. Mereka adalah Mochamad Riyanto, Dadang Rahmat Hidayat, Azimah, Nina Mutmainnah, Idy Muzzayad, Iswandi Syahputra, Yudhariksawan, dan Yazirwan Uyun. ”Saya baru tidur jam tiga pagi,” kata Ezki, yang ketika itu sedang berada di Parepare, Sulawesi Selatan.
Pemilihan para anggota Komisi Penyiaran itu nyaris luput dari perhatian pers. Mereka dipilih Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi informasi dari total 31 orang kandidat, setelah melalui uji kelayakan pada 26-28 April lalu. Berbagai isu pun menyertai proses pemilihan. ”Banyak rumor yang beredar. Si X didorong kelompok tertentulah,” kata Ezki. ”Saya sendiri juga diisukan macam-macam,” kata perempuan 42 tahun yang didukung Aliansi Jurnalis Independen ini.
Karena tugas utama Komisi Pe nyiaran adalah menjadi ”wasit” isi siar an televisi dan radio, sebenarnya masuk akal bila ada kepentingan pemilik media elektronik yang disisipkan ke anggota Komisi. Anggota Komisi I DPR, Achmad Basarah, mengakui adanya kepentingan pemilik media tersebut. ”Memang ada usaha untuk menitipkan orang-orangnya,” kata Achmad kepada Tempo. Bahkan usaha lobi itu berlanjut sampai pemilihan anggota baru, sehingga penentuannya dilakukan dengan voting.
Dalam menghadapi pemilik modal di media elektronik, Achmad menilai Komisi Penyiaran selama ini tak ”bergigi”. ”Dua periode KPI nyaris tidak berdaya,” kata anggota Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan ini. Tegur an dan imbauan yang dikeluarkan Komisi dinilai tidak efektif dan cenderung diabaikan stasiun televisi. ”KPI mandul. Ada hal-hal yang membuat mereka tidak berani bersuara. Padahal tugas mereka semestinya kritis terhadap siaran,” kata anggota Komisi I DPR lainnya, Lily Wahid.
Pengamat media, Veven Wardhana, ber pendapat seharusnya Komisi Pe nyiaran benar-benar kembali ke posisi awal, yaitu mengawasi lembaga pe nyiaran. ”Selama ini, lembaga itu seperti ada dan tiada, bahkan kalau dipelesetkan jadi Komisi Pembiaran Iklan,” ujarnya. Veven menyoroti bebasnya iklan masuk ke program siaran tanpa disemprit komisi ini. ”Tingkah laku televisi dan radio untuk memperoleh iklan luar biasa liar.”
Ketua Komisi Penyiaran yang baru lengser, Sasa Djuarsa Sendjaja, membela lembaganya. Dia mengatakan ki nerja Komisi sudah meningkat dibanding periode sebelumnya. Pada 2007, Komisi mengeluarkan 68 sanksi, tahun berikutnya 64, dan pada 2009 meningkat menjadi 135 sanksi. Bila tampak kurang mampu mengawasi, menurut Sasa, hal itu semata karena minimnya peralatan dan personel. ”Hanya 30 persen tayangan yang bisa dipantau,” ujarnya.
Agar Komisi dapat bekerja baik, Sasa mengusulkan peningkatan fasilitas dan infrastruktur. Selain itu, Komisi diberi wewenang penuh memberikan sanksi. Selama ini, kata Sasa, sanksi dari Komisi berdasarkan peraturan pemerintah. Padahal masih banyak perbedaan persepsi antara Komisi dan pemerintah. ”Kami sudah mengajukannya dalam judicial review dan masuk program legislasi nasional 2010,” kata pengajar Universitas Indonesia ini.
Ezki bertekad Komisi bisa menjadi lembaga yang disegani. ”KPI harus menjadi penyeimbang antara pemerintah, publik, dan pemilik lembaga penyiaran,” ujarnya sembari mengiyakan bahwa selama ini teguran Komisi kerap tak diindahkan industri. ”Kami akan mengutamakan kepentingan publik.”
Sedangkan pihak televisi juga siap menyambut skuad baru Komisi ini. Kepala Departemen Marketing Public Relations Trans TV Hadiansyah Lubis mengatakan setuju bila Komisi mengutamakan kepentingan publik. Dia tidak khawatir dengan ancaman sanksi Komisi, karena televisi tempatnya bekerja sudah berjalan sesuai dengan aturan. ”Persaingannya lebih pada kreativitas konten.”
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo