Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Koran Kemerdekaan dan Kemerdekaan Koran

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo*

Ketika industri media massa kini telah mekar begitu rupa—"yang menjaring kehidupan kita sejak mata melek hingga merem kembali," tulis David Croteau dan Williams Hoynes dalam Media/Society (1997)—ada baiknya kita kenang sebuah koran perjuangan. Dalam artian yang terasa romantik, perjuangan itu bermakna sebuah pergulatan pada masa sulit dan pengorbanan yang tiada tara. Koran perjuangan itu adalah Berita Indonesia, surat kabar yang terbit perdana pada 6 September 1945 di Jakarta, dan menjadi koran pertama setelah Indonesia merdeka. Pendirinya adalah para pelajar Sekolah Menengah Tinggi, antara lain Sidi Mohammad Sjaaf, Suraedi Tahsin, dan Rusli Amran.

Bahwa koran itu lahir dari suatu pergumulan yang berat, ini bisa dilihat dari kisah mereka yang harus kucing-kucingan dengan sisa tentara musuh pada awal revolusi fisik. Mereka juga berisiko ditangkap, bahkan ditembak musuh, saat menyebarkan koran itu. Untuk memproduksinya, Rusli Amran—kemudian dikenal sebagai penulis buku Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang (1981)—terpaksa menjual perhiasan istrinya. Maka sahih bila mereka mendeskripsikan korannya dengan moto "Dalam Kemerdekaan, Soeara Perdjoeangan". Beberapa kali logo ini berubah dalam edisi selanjutnya: "Soeara Perdjoeangan", "Soeara Perdjoeangan dalam Kemerdekaan", "Soeara Rakjat Merdeka", dan "Harian Pelopor Proklamasi".

Pilihan logo itu merupakan upaya Berita Indonesia untuk menumbuhkan kekuatan evokatif. Upaya ini terlihat dalam pernyataan Berita Indonesia tentang apa yang harus diperbuat masyarakat ketika itu: "Kita menjoesoen soeatoe collective opgehoopte volkswil, satoe kemaoean rakjat, ialah: 1. merasa diri merdeka, 2. menoentoet tetap merdeka" (Edisi 2, September 1945). Meski demikian, menyadari bahwa terbitnya Berita Indonesia masih menimbulkan tanya di kalangan masyarakat, redaksi menulis, "Soerat chabar kita ini diboeat oleh rakjat oentoek rakjat." Dalam rubrik Podjok edisi sebelumnya bahkan dipertegas, "Dan kalau ada jang anti djangan merintangi, sebab nanti bisa hanjoet sendiri dalam Laoetan DARAH!"

Kutipan tersebut memperlihatkan, sebagai surat kabar yang lahir pada masa pergolakan, Berita Indonesia menebarkan bahasa yang bergejolak pula. Menurut Roman Jakobson, linguis asal Rusia, dalam suatu komunikasi verbal memang terdapat fungsi emotif yang melibatkan emosi dan sikap tertentu si penyampai pesan (dalam Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 2010). Dalil itu juga terbaca dalam Berita Indonesia, yang banyak memilih kata "bertenaga" yang sugestif, menggerakkan kekuatan dan emosi. Sangat mungkin bahasa yang emotif tergelincir menjadi slogan.

Tak aneh jika tanda seru (!) bertebaran dalam Berita Indonesia, seperti: "Dimasa jang genting ini, kita haroes bersatoe padoe…. Ra’jat haroes merasa dirinja rakjat Republik Indonesia! Polisi haroes merasa dirinja polisi Republik Indonesia! Pangreh Pradja haroes merasa dirinja Pangreh Pradja Republik Indonesia!" (Edisi 2). Ada kalanya "berita" Berita Indonesia mirip pamflet tanpa tubuh berita: "Pertahankanlah Kemerdekaan Kita!!! Tiap-tiap Bangsa Berhak Merdeka", "Instroeksi: Memperhebat Pengibaran Merah-Poetih" (Edisi 2).

Dimotori anak-anak muda, Berita Indonesia membahasakan rasa tak puas mereka terhadap kinerja para pemimpin. Dalam risalah "Pertanggoengan Djawab Rakjat Indonesia", kekecewaan itu terungkap: "Soedah lebih dari tiga minggoe Rakjat Indonesia menjatakan Kemerdekaannja, tapi sampai kini beloem ada hasil jang njata jang dapat direboet oleh Rakjat Indonesia…. Sebab2nja tak lain ialah karena pemimpin2 tjap Ambtenaren-klasse ini lemah sekali, dibelakang mereka hanja ada gerombolan2 jang passief, tak sanggoep beraksi…" (Edisi 1). Terhadap golongan pasif yang "tak ingin akan kemerdekaan", tulis Berita Indonesia selanjutnya (Edisi 2, Oktober), "Kami pemoeda2, pentjinta tanah air, tak enggan sedikitpoen djoega oentoek menghantjoerkan saudara2 dari moeka boemi ini."

Mengikuti alur pikiran Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution (1972), kritik Berita Indonesia tersebut mencerminkan perbedaan cara pandang antargenerasi pejuang di Indonesia tentang bagaimana mengelola peluang kemerdekaan. Generasi tokoh senior yang berjuang sejak masa pergerakan dinilai kaum muda hanya menunggu "komitmen" penjajah yang menjanjikan kemerdekaan. Sedangkan para pemuda merasa malu jika kemerdekaan itu diberikan oleh "bangsa jang dalam tiap-tiap perboeatannja memakai perkataan berkenan: berkenan doedoek, berkenan berdiri, berkenan menangis, berkenan maki-maki, berkenan menjiksa" (Berita Indonesia, Edisi 4).

Bagaimanapun, dengan segala keterbatasannya, Berita Indonesia bisa dikenang sebagai koran kemerdekaan sekaligus menikmati kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan itu pula yang membuat Berita Indonesia diincar lawannya dalam kemelut politik Orde Lama sehingga mengakhiri hidupnya.

*) Pengajar Fakultas lmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus