Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

'Mbok Yao' Jadi Bahasa Indonesia

Prof. Soenardji mengusulkan pengayaan struktur bahasa Indonesia dengan bahasa lokal. Namun, gagasan itu dinilai bisa melestarikan dominasi Jawa.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, ketika membawa cucunya ke sawah, Soenardji tertegun. Ia tak bisa menjelaskan kepada sang bocah nama jenis rumput dalam bahasa Indonesia. Padahal, dalam bahasa Jawa dan Latin ada nama khusus untuk tiap rumput. Masalah serupa juga terjadi pada nama hewan yang masih muda. Anak kambing, misalnya, dalam bahasa Indonesia hanya disebut anak kambing, sementara dalam bahasa Jawa ia punya nama khusus, yakni cempe.

Soenardji, lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 65 tahun lalu, menganggap ada kesenjangan antara bahasa yang hidup di masyarakat dan bahasa Indonesia yang dihasilkan para ahli. Menurut kolektor ribuan buku dan naskah kuno ini, karya ahli bahasa, meski bagus, ternyata kurang terasa manfaatnya. Padahal, seharusnya linguistik mencerminkan batin pengguna bahasa.

Itu sebabnya pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu bahasa Universitas Negeri Semarang, Selasa dua pekan lalu, Soenardji mengusulkan agar linguistik Indonesia dibalur dengan warna kebudayaan khas yang hidup dan digunakan oleh masyarakat. Menurut ayah delapan anak itu, bahasa pers, contohnya, bisa menggunakan awalan baru dalam kalimat. Misalnya, kalimat "Hakim Jatuhkan Vonis Satu Tahun" diganti dengan "Hakim Njatuhkan Vonis Satu Tahun". Lantas, "DPRD Setujui Peraturan Daerah" diganti dengan "DPRD Nyetujui Peraturan Daerah".

Pamor linguistik keindonesiaan itu, kata Soenardji, perlu dibangun untuk memberi ruang kepada bahasa daerah. Soenardji menyandarkan argumentasinya pada sejarah linguistik yang dibangun Chomsky, juga Derrida, yang memanfaatkan mutiara cendekiawan masa lalu. Untuk bahasa Indonesia, mutiara ini adalah bahasa daerah. "Mungkin, kelak kita akan perlu kata-kata cuman, mbok yao, gimana, dan lainnya," kata Soenardji, yang memperoleh gelar doktor pendidikan bahasa dari IKIP Malang pada 1983.

Ia juga tak keberatan bila kata-kata yang lebih "ajaib" seperti mak jegagik (kata yang mengekspresikan kemunculan yang tiba-tiba), kamisosolen (kesulitan atau berlepotan berbicara, misalnya karena gugup), dan "bahasa gaul" para remaja juga dipertimbangkan untuk memperkaya bahasa nasional. Apalagi, kosakata bahasa Indonesia hanya berjumlah sekitar 125 ribu, ketinggalan jauh bila dibandingkan dengan, misalnya, 1,2 juta kosakata bahasa Inggris.

Soenardji tak menepis kemungkinan bahwa gagasannya itu bisa dianggap memunculkan banyak kosakata Jawa pada struktur linguistik Indonesia. Maklum, populasi suku Jawa terhitung sebagai penutur terbanyak. Meskipun demikian, tetap terbuka kemungkinan tampilnya bahasa Indonesia dengan roh Sunda, Batak, Makassar, dan lainnya. Contohnya, istilah "papua", yang berarti daerah yang disinari matahari, tergolong corak lokal yang bagus.

Lebih jauh, penulis ratusan karya ilmiah dan buku "wajib" untuk mahasiswa bahasa seperti Sendi Dasar Linguistika dan Kerabat Bahasa Indonesia itu memperkirakan nantinya tak bisa dibedakan lagi mana struktur bahasa Jawa dan Indonesia. Sebab, dua unsur bahasa itu sudah menyatu. "Itulah mutiara baru bahasa Indonesia. Jangan diulang lagi kesalahan masa lalu yang mengekang bahasa dengan banyak aturan, misalnya dengan Ejaan Yang Disempurnakan," kata Soenardji.

Namun, gagasan Soenardji untuk menggunakan bahasa daerah dalam struktur bahasa Indonesia dianggap sebagian ahli terlalu berlebihan. "Dalam struktur bahasa Indonesia sudah ada aturan mainnya," ujar Sindhunata, budayawan yang juga wartawan. Ia mengaku, meski tulisannya sendiri banyak menggunakan kosakata Jawa, itu lebih berkaitan dengan rasa bahasa karena kata tersebut sulit dicari padanannya. Penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin ini malah mengkhawatirkan terjadinya penjawaan bahasa Indonesia sehingga bisa menindas bahasa suku lain.

Hal senada juga diutarakan Hasan Alwi, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menurut dia, bahasa tulisan tetap harus dibedakan dengan bahasa lisan. Untuk bahasa lisan, mungkin gagasan Soenardji bisa diterima. Tapi, untuk bahasa tulisan, bagaimanapun pengadopsian unsur baru tetap harus mengacu pada kaidah baku. "Tidak benar bila 'setujui' diganti jadi 'nyetujui'," kata Hasan kepada Hendriko Wiremmer dari TEMPO. Untuk bahasa pers, ia bisa memaklumi bila awalan "me" sering dihilangkan.

Yusi A. Pareanom, Adi Prasetyo (Semarang), Raihul Fajri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus