RUMAH kontrakan seluas 180 meter persegi itu amat tertutup. Bagian depannya dipagari tembok satu setengah meter yang dipertinggi lembaran plastik setengah meter. Para tetangga memperkirakan, penghuninya, Nyonya Siti Jubaedah alias Juju, 42 tahun, membuka usaha show room mobil di situ. Memang tidak dipasangi papan nama, tapi tiap hari banyak orang datang ke rumah yang terletak di kawasan Kelapagading, Jakarta Utara itu.
Seorang tetangga, Nugroho, pengusaha katering, sempat curiga melihat gadis-gadis remaja sering berkunjung ke sana. Ditambah suara musik yang keras bergema sepanjang hari, Nugroho dan istri menduga, jangan-jangan Juju merangkap sebagai germo.
Alangkah kagetnya mereka ketika polisi menggerebek rumah Juju pada Jumat dua pekan lalu. Tangan sang nyonya rumah digari. Dari berita koran dan televisi, Nugroho baru mengetahui bahwa di rumah itu Juju menjalankan praktek aborsi. Selain menangkap Juju, polisi juga menangkap dr. Agung Waluyo, 41 tahun, dan Arman Sasmita alias Bobby. Kepada pemeriksa, Agung mengaku telah mengaborsi sekitar 200 janin di rumah yang merangkap klinik gelap itu. Jasad bayi dibuang Bobby ke Kali Sunter, yang mengalir tak jauh dari situ. Tak aneh bila penduduk pernah beberapa kali melihat jasad bayi terapung di permukaan kali, sampai akhirnya mereka melaporkan hal yang mengusik hati nurani itu ke polisi.
Setelah melacak kasus itu selama dua bulan, barulah polisi melakukan penggerebekan. Ada beberapa gadis remaja di rumah Juju—mungkin yang berencana menggugurkan kandungannya. Walaupun sisa-sisa raga janin belakangan sulit ditemukan di Kali Sunter, polisi tak cepat menyerah. Rabu pekan lalu, polisi membongkar septic tank di rumah Juju dan menemukan jasad bayi berikut sarung tangan plastik. Selain itu, polisi juga menyita obat dan peralatan aborsi.
Berbagai bukti itu semakin menguatkan tuduhan polisi ke arah dr. Agung beserta Juju dan Bobby. Agung, yang lulus sebagai dokter umum pada 1986 dan memperoleh ijazah spesialisasi kandungan pada 1998, enggan berbicara, agaknya karena mengalami stres berat. Namun, pada pemeriksaan awal, Agung, yang berstatus sebagai dokter tetap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, mengaku bahwa ia melakukan praktek aborsi karena ingin membantu pasiennya yang mengandung. Tapi, menurut Kepala Kepolisian Sektor Kelapagading, Kapten Rusdi Hartono, ia juga membenarkan adanya motif ekonomi.
Alasan uang sangat masuk akal, apalagi Agung sudah punya dua anak. Adapun "bisnis" ilegal yang hasilnya dibagi sama rata oleh Agung dan Juju itu memasang tarif Rp 600 ribu hingga Rp 2 juta, tergantung usia janin yang hendak digugurkan. Dan tiap kali menyelesaikan tugas membuang mayat bayi, Bobby cukup diberi upah Rp 100 ribu.
Juju mengaku memperoleh pasien dari calo-calo yang tak mau disebut namanya. Ada pasien yang berstatus ibu rumah tangga, ada yang masih berusia 16 tahun, bahkan ada siswi sekolah lanjutan tingkat pertama. Menurut polisi, sebagian pasien ingin mengakhiri kehamilannya karena malu mengandung pada usia muda. Ada pula yang tak hendak punya bayi dulu karena anaknya masih kecil. Kebanyakan, janin yang digugurkan di situ berusia hampir empat bulan.
Juju, yang bukan bidan ataupun petugas paramedis, mengungkapkan bahwa "usaha" aborsi itu berlangsung atas dasar kesepakatan antara dia dan Agung. Dia mengenal Agung ketika membantu dokter ini di sebuah klinik di Jakarta Pusat. Adapun rumah di Kelapagading itu dikontrak Juju seharga Rp 10 juta setahun. Dia juga membeli peralatan operasi seharga Rp 10 juta di daerah Pramuka, Jakarta.
Kini, keduanya terancam hukuman lima setengah tahun penjara, berdasarkan delik aborsi yang tercantum dalam Pasal 348 KUHP. Mereka juga bisa dihukum 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta karena melanggar Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Menurut pasal itu, aborsi hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat, misalnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan janinnya. Dan bukan tak ada syaratnya. Seperti dikatakan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Merdias Almatsier, aborsi diizinkan bila usia janin kurang dari dua bulan. Kalau lebih dari dua bulan, pengguguran kandungan bisa dihukum. Sang dokter pelaku juga bisa dicoret dari daftar anggota IDI.
Jelaslah, rambu-rambu hukumnya lengkap, tapi hal itu tidak menjamin bahwa "klinik" pengguguran bayi tidak akan beroperasi lagi kelak di kemudian hari. Lagi pula, kasus semacam itu bukan baru kali ini terjadi. Ingat saja kasus aborsi sekitar 30 janin di Klinik Herlina dan Klinik Amalia di daerah Tanahtinggi, Jakarta Pusat, pada 1997. Dalam kasus itu, dua dokter beserta beberapa bidan dan pembantunya dijatuhi hukuman setimpal sesuai dengan ketetapan KUHP.
Hp. S., Hendriko L. Wiremmer, dan Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini