SENGKETA Hotel Chitra agaknya merupakan kasus yang paling lama diperkarakan di Jakarta. Hotel yang terletak di kawasan pecinan Glodok, Jakarta Barat, itu dibelit perkara yang tak kunjung selesai sejak 15 tahun lalu. Dan uniknya, masalah memperebutkan Chitra diajukan beberapa kali ke sidang pengadilan—pernah sebagai perkara pidana, perdata, ataupun administrasi. Hebatnya pula, hotel berlantai lima itu sudah 10 tahun beroperasi tanpa izin dari Pemerintah Daerah Jakarta.
Statusnya yang tanpa izin itu kini membuat berang DPRD Jakarta. Para wakil rakyat mendesak Gubernur Jakarta Sutiyoso agar segera bersikap tegas, setidaknya menutup Hotel Chitra. "Seharusnya Gubernur tak membiarkan pelecehan hukum itu berlanjut terus," kata Posman Siahaan dari Komisi A DPRD Jakarta.
Akankah Gubernur menutup hotel tersebut, sehingga perkaranya yang beranak pinak dan silih berganti itu tak berkepanjangan lagi dan bisa diselesaikan untuk selama-lamanya? Soalnya, anggota DPRD boleh saja geram, tapi sengketa Hotel Chitra tentu hanya bisa diakhiri lewat keputusan pengadilan.
Adapun sengketa hotel di Jalan Toko Tiga Seberang Nomor 23, Glodok, itu bermula dari pertikaian di antara mereka yang mengaku sebagai pemiliknya. Hotel yang asal-muasalnya adalah sebuah losmen dengan nama Nam Thian itu rampung dibangun pada 1985. Saham hotel itu dimiliki Rachmat Sadeli alias Lie Kwe Siang dan Asmawi Manaf (bekas Wakil Gubernur Jakarta), masing-masing 48 persen, sedangkan sisanya dimiliki Luay Abdurachman (kakak Nyonya Rhumana Waty Manaf, istri Asmawi).
Belakangan, timbul perselisihan antara Asmawi Manaf serta Luay di satu pihak dan Rachmat di pihak lain. Pihak Asmawi menuding bahwa Rachmat selaku pengelola hotel telah menyelewengkan keuangan hotel. Sebaliknya, Rachmat menuduh kelompok Asmawi hendak menguasai hotel, padahal mereka hanya punya saham kosong alias tak pernah menyetorkan modal. Uang pembelian tanah dan biaya pembangunan hotel, sebesar Rp 2 miliar, menurut Rachmat, berasal dari koceknya.
Perseteruan memuncak dengan dilangsungkannya rapat umum pemegang saham PT Ayu Kumala Lestari pada 25 Juni 1986. Dalam rapat tersebut, pihak Asmawi memecat Rachmat dari jabatan direktur utama. Mereka juga mengambil alih hotel. Aksi itu dibalas Rachmat pada Oktober 1988. Akibat saling rebut ala koboi itu, kedua pihak sama-sama berurusan dengan polisi.
Tak cuma itu. Kedua pihak juga gugat-menggugat, baik ke pengadilan perdata maupun ke pengadilan tata usaha negara. Persoalan memperebutkan Chitra semakin kisruh karena dua perkara itu diputus berbeda oleh Mahkamah Agung. Pada perkara yang satu, Hotel Chitra diakui sebagai milik Rachmat, tapi pada perkara yang lain, hotel itu dinyatakan sebagai kekayaan PT Ayu. Ini berarti saham Rachmat sebesar 48 persen di PT Ayu masih diakui. Namun, dalam keputusan tersebut tercakup pula pengakuan bahwa hotel itu bukan semata-mata milik pribadi Rachmat.
Sengketa mestinya bisa diredakan karena pihak Asmawi juga mengaku tak hendak mengangkangi hotel milik bersama itu. Sebab, seperti pernah diutarakan Nyonya Rhumana Waty Manaf, tanah hotel itu dulu milik Asmawi. Mantan pejabat itu juga ikut membiayai pembangunan hotel dan mengusahakan kredit Bank Bumi Daya.
Ternyata, sikap Asmawi yang berkesan siap untuk kompromi disambut Rachmat dengan sikap teguh bersikukuh. Pengusaha ini berpedoman pada putusan yang memenangkannya tadi, sedangkan PT Ayu dinilainya tak berhubungan dengan Hotel Chitra. Lagi pula, Rachmat yang kini berusia 74 tahun itu—dengan rambut memutih dan kulit semakin keriput—tetap mengingatkan bahwa pihak Asmawi cuma memiliki saham kosong.
Sengketa masih belum terselesaikan ketika Gubernur Jakarta Wiyogo Admodarminto mencabut izin pariwisata Hotel Chitra dari PT Ayu pada 16 Januari 1990. Kendati tanpa izin, sampai sekarang perusahaan itu tetap mengoperasikan hotel tersebut. Anehnya lagi, permintaan DPRD agar hotel itu ditutup tampaknya juga tak diindahkan oleh Gubernur Sutiyoso.
Mungkin karena itu, Selasa pekan lalu, DPRD melayangkan teguran keras ke alamat Gubernur. Sebab, "Hotel itu dioperasikan secara ilegal dan dijadikan sumber dana bagi Rhumana Waty untuk terus beperkara di pengadilan," ujar Posman. Pekan ini, rencananya, DPRD juga akan meminta Gubenur menjelaskan masalah yang berlarut-larut itu.
Namun, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Jakarta, Muhayat, membantah tudingan bahwa Gubenur tak memedulikan DPRD. "Kasus Hotel Chitra memang pelik. Kami pun bingung mesti mengikuti putusan Mahkamah Agung yang mana karena putusannya berbeda," Muhayat menjelaskan. Sampai kini pun Mahkamah Agung tak kunjung memberikan fatwa untuk persoalan itu kendati Pemerintah Daerah Jakarta sudah memintanya sejak Desember 1999.
Hp.S., Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini