LISTRIK PLN belum mengalir ke wilayah pantai selatan Jawa Barat.
Tapi listrik sudah mulai membantu kehidupan nelayan di sana.
Nelayan Kasno dan kawan-kawan, misalnya, bisa memperoleh es
seperlunya untuk mengawetkan ikan dan udang, sebelum mereka
sempat menjual hasil laut itu ke Pameungpeuk, 6 km jauhnya.
Sebuah mesin pembuat es berkapasitas 350 kg per hari disediakan
oleh Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Desa
Cilauteureun. Mesin itu mendapat tenaga dari kincir angin, suatu
proyek percobaan.
Hanya 100 m dari bibir pantai, tempat angin samudra berhembus
bebas, Lapan sejak Mei lalu memasang kincir tipe Aeroman buatan
MAN (Machinenfabriek Augsburg Nurnberg) seharga Rp 30 juta,
suatu bantuan pemerintah Jerman Barat. Dua sudu yang berdiameter
5,5 m menempel pada sebuah turbin, sehingga instalasi ini mirip
kipas angin raksasa. Turbin itu duduk horisontal di atas menara
besi setinggi 10,5 m. Di samping kiri turbin, ada pula-kipas
angin lebih kecil, punya 6 sudut dengan diameter 1,5 m.
Dihubungkan oleh dua unit roda gigi ulir, kipas kecil ini
berfungsi memusing posisi turbin sehingga selalu menyongsong
arah angin. Dengan begitu dua sudu raksasa udi berputar secara
otomatis, walaupun angin datang dari arah yang berubah-ubah.
Putaran itu menggerakkan sebuah generator sinkron menghasilkan
listrik sebesar 10 kw, apabila angin bertiup di atas 8,5 m per
detik.
Generator itu dirancang untuk kecepatan angin 8,5 hingga 24 m
per detik. Tapi ia sudah berfungsi ketika angin berhembus 3,5 m
per detik. Meskipun tidak dengan kapasitas penuh (10 kw), kincir
di Cilauteureun bisa membagi listrik untuk mesin pembuat es,
pengecas accu, atau pemompa air dan penerangan di kompleks Lapan
itu. Penduduk seperti Kasno, selain mendapat es, juga tak perlu
lagi pergi ke kota untuk mengecas accu yang mereka gunakan untuk
menyalakan pesawat televisi. "Semuanya gratis," kau Kasno.
Pada musim angin barat -- biasanya Januari dan
Februari-kecepatan angin di sana 40 m per detik, yang mungkin
menyebabkan generator terbakar. Karena itu kincir ini dilengkapi
dengan sistem pengaman (gale safety). Ketika kecepatan angin
melebihi 24 m per detik, alat ini akan bekerja otomatis
menggeser posisi sudu raksasa ke posisi jungkat-jangkit,
sehingga membentuk sudut nol derajat dengan arah angin. Dengan
demikian terjangan angin diredam. Malah -- kalau datang
topan--posisi turbin jadi membelakangi arah angin dan sudu
berhenti berputar.
Masih belum diketahui kapan penelitian ini selesai dan
dimasyarakatkan. Tapi industri sudah berminat. Dalam perjanjian
(11 November lalu) Lapan dengan PT Elnusa, perusahaan
elektronika itu akan memproduksi kincir listrik, begitu
penelitian selesai.
Sebetulnya sejak tahun 1800n, pabrik bir di Jakarta sudah
menggunakan kincir tapi untuk memompa air. Sampai sekarang pun
kincir cukup populer di pedesaan untuk kebutuhan nonlistrik.
Bahkan Pemda DKI, uhun 1976 memasukkan 26 kincir dari Australia
untuk menggerakkan pompa air mekanis. Tapi kincir untuk
pembapgkit listrik baru dipikirkan di Indonesia mulai
pertengahan tahun 1970-an. Dan (tahun 1978), Menteri Ris-Tek
menunjuk Lapan meneliti kemungkinan pengembangan energi angin.
Biaya pemeliharaannya murah. Kincir Aeroman, misalnya, bisa
tahan 20 tahun--hanya dengan pelumasan yang "bisa dilakukan oleh
anak-anak STM," kata Dr. Ir. Harijono Djojodihardjo, Kepala
Pusat Teknologi Dirganura Lapan. Dalam wawancara TEMPO, Harijono
menyatakan ambisi untuk memakai kincir berpotensi lebih besar
--di atas 200 kw--di Penfui (Kupang) dan Denpasar.
Pemerintah Belanda juga membantu proyek Lapan ini. Akhir Oktobr
lalu dipasang satu kincir model Darrieus buatan pabrik pesawat
terbang-Fokker, Belanda, tak jauh dari kincir bantuan Jerman
tadi.
Ada rencana Lapan memasang satu Darrieus lagi--"kini sedang kami
tes di terowongan angin pabrik," kau Visser G. Tenaga ahli
Belanda ini diperbantukan di Desa Angin Cilauteureun (demikian
disebut lokasi proyek itu).
Punya 3 sudu dengan diameter 5,3 meter, yang melekat pada poros
balingbaling vertikal, Darrieus mirip alat pengocok telur
raksasa. Kincir ini tak butuh menara, atau alat pembantu lain,
karena sudu-sudunya dalam posisi tegak, mampu berputar walau
angin datang dari mana pun.
Di Cilauteureun, kincir Belanda ini baru bisa menghasilkan
listrik ketika kecepatan angin minimal 5 m per detik. Bila di
atas maksimal 24 m per detik, ia harus dimatikan. Kincir ini
terpaksa dipadukan dengan mesin diesel 35 kw untuk
menghidupkannya. Menurut Harijono, Darrieus yang menghasilkan
listrik 7,5 kw cocok untuk daerah yang sudah punya listrik,
misalnya, pabrik yang mau menghemat biaya energi di daerah
terpencil.
Kenapa harganya terlalu mahal? Kincir listrik masih dalam tahap
penelitian. "Kalau sudah diproduksi secara komersial, harga tipe
Darrieus mungkin hanya Rp 7,5 juta," kau Visser.
Laboratorium Konversi Energi Listrik, ITB, telah membuat kincir
dua sudu--dengan kecepatan angin 4-6 m per detik -- menghasilkan
300 watt (0,3 kw). Tanpa menara, harganya cuma Rp 80.000, kata
Ir. Harry Sosrohadisewoyo, bekas kepala laboratorium itu. Memang
murah tapi rendah pula kapasitasnya.
Setelah krisis energi 1973, kincir angin secara berangsur
termasuk daftar alternatif di berbagai negara. Negeri Belanda,
misalnya, sudah memasang 70 kincir berskala 15-50 kw, bahkan me,
rencanakan pembangunan 40 kincir yang berkapasitas 10 mw
(megawat). Dan California, AS, mengirnpor 300 kincir angin dari
Belanda. lndonesia akan menyusul tampaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini