Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Barang Gadaian Tukiman

Semua karyawan rumah gadai gombong (ja-teng) terlibat manipulasi: menggadaikan barang fiktif. kepala rumah gadai di rumahkan dan harus mengganti semua kerugian. (krim)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH Gadai Gombong sekarang sudah sepi. Di depan loket-loketnya, berbeda dengan sebelumnya, tak terlihat lagi orang saling mendesak menyorongkan barang gadaian Di balik loket-loket itu pun, beberapa pegawai yang masih berkantor, hanya duduk-duduk di pojok yang sulit terlihat dari luar. Bahkan Slamet Martoutomo, kepala pegadaian itu, tak pernah muncul lagi. Keadaan itu tak sulit dipahami rumah gadai itu sedang kusut masai karena manipulasi. Dan hal itu sudah berlangsung sejak beberapa bulan lalu, meskipun 8 November 82 Slamet telah melaporkan semua ikhwal rumah gadainya ke berbagai instansi di Semarang dan Jakarta, termasuk Obstib Pusat. Tinggal Slamet, 51 tahun, tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Karena selain ia menganggap tindakan tim dari Kantor Pegadaian Inspeksi V di Yogyakarta, sangat tidak adil, juga karena pengaduannya ke instansi tingkat pusat belum ditanggapi sampai sekarang. Masih untung ia tetap dibolehkan menempati rumah dinasnya yang terletak di samping rumah gadai itu, "meskipun sejak 2 April 1982 saya tak diperbolehhan menginjakkan kaki di kantor." AYAH dari tujuh anak itu menjabat Kepala Cabang Pegadaian Gombong sejak pertengahan 1979--pindahan dari Muntilan. Serah-terima jabatan berlangsung tanpa pemeriksaan barang jaminan dalam gudang. Karena, kata Kepala Daerah Pemeriksaan Kebumen, Darman, yang memimpin serah-terima, hal itu tak perlu dilakukan. Yang dihitung hanya inventaris kantor dan uang kontan. Sejak Januari 1982, Slamet mengambil kebijaksanaan tidak menerima penggadaian sepeda lagi. Karena berdasarkan catatan di bagian administrasi, gudang tak sanggup menampung lagi. Maka pertengahan Februari, ia memimpin panitia lelang gadaian sepeda yang sudah jatuh waktu. Menurut catatan, sepeda yang harus dilelang hari itu ada 25 buah. Tapi ketika lelang dibuka, Slamet kaget sepeda yang ada hanya 5 buah. "Ke mana yang dua puluh?", tanya Slamet. Ke-10 pegawai di kantor itu tak ada yang menjawab pasti. Penjaga gudang, Purwanto, dipanggil dan ditanyai. "Yang mengambil sepeda-sepeda dari gudang adalah Tukiman, katanya atas suruhan bapak," jawab Purwanto. Slamet kaget, karena ia merasa tak pernah melakukan itu. Tapi waktu Tukiman, 50 tahun, dipanggil, sebelum dianya ia sudah buru-buru "minta maaf, saya mohon ampun, pak," kata pesuruh golongan IB itu seperti dituturkan Slamet kembali. Tukiman, malahan berjanji akan mengganti semua barang jaminan yang "hilang" itu. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah gadai itu? Ketika kemudian Slamet meneliti administrasi di bagian penaksir dan mencocokkan jumlah barang dalam gudang dengan catatan pinjaman, "saya hampir pingsan, karena angka dalam buku sangat berbeda dengan barang yang ada". Menurut Slamet ada sekitar 1.300 pinjaman fiktif, artinya tak ada barangnya, tapi tertulis dicatatan sebagai barang gadaian. Barang-barang itu teruuma yang taksirannya di bawah Rp 20.000--batas taksiran yang bisa diputuskan juru taksir tanpa persetujuan kepala pegadaian. Semua mencapai nilai Rp 23 juta lebih. Ketika Slamet mengadakan rapat membahas hal itu, juru taksir menyarankan agar semua kejadian itu tak perlu dilaporkan ke atasan. "Karena semua karyawan bisa terlibat," kata Mustopa, si juru taksir. Usul ini didukung semua karyawan, termasuk Tukiman. Tapi karena dirinya bersih, Slamet. beberapa hari kemudian, menghadap Kepala Daerah Pemeriksaan Pegadaian di Kebumen, Darmin. Besoknya dengan sebuah tim, Darmin langsung memeriksa ke Gombong. Tapi Slamet heran, tim itu berkesimpulan, "tak ada kejanggalan". Ia pun melayangkan laporan ke Kepala Kantor Inspeksi Pegadaian V di Yogyakarta, 9 Maret 82. M. Singgih, kepala kantor inspeksi itu, membentuk tim dan terjun pula ke Gombong. Hasilnya, di hadapan tim itu Tukiman mengaku sebagai otak gadaian fiktif itu. Slamet mengusulkan agar hal itu dilaporkan ke pihak kepolisian. Tapi Singgih menolak. Ia ingin diselesaikan dengan musyawarah . Yaitu semu a kerugi an itu ditanggung bersama oleh seluruh karyawan Pegadaian Gombong, termasuk Slamet. Tukiman sebagai otak harus menanggung 35% atau Rp 8 juta lebih. Tapi Slamet, sebagai kepala, juga diwajibkan menanggung 35%. Sisanya dibagi menurut tingkat keterlibatan karyawan-karyawan yang lain . "Itu keputusan edan, " ujar Slamet kepada TEMPO. Kemudian Slamet juga diancam akan dipecat bila ia tak mau menandatangani hasil "musyawarah" itu. Karena takut dipecat, Slamet menjual barang-barang keluarganya yang berharga. Ditambah sumbangan seorang anaknya yang telah menjadi dokter di Surabaya, akhirnya terkumpul Rp 5 juta --langsung ia serahkan ke tim dari Yogya tadi. Tapi belum cukup Tim tadi mewajibkan Slamet melunasi semua sisa. Caranya dengan memotong gajinya yang Rp 180.000 sebulan itu mulai April 82. Karena ia memprotes, Slamet dibebastugaskan, meskipun masih boleh menempati rumah dinas. SEBENARNYA sejak kejadian itu seluruh karyawan rumah gadai itu dalam status dirumahkan. Tapi karena mereka mulai mencicil, status itu dicabut. Termasuk Tukiman, pesuruh yang dikenal tetangganya sebagai "orang kaya, karena punya dua rumah dan dua istri". Para karyawan itu menolak diwawancarai mengenai kasus tadi. Begitu pula beberapa pejabat di Kantor Inspeksi Pegadaian V di Yogya, sementara M. Singgih, si kepala kantor, "sedang sakit". Tapi sumber TEMPO di Yogya menyebutkan, manipulasi di pegadaian Gombong itu sudah berlangsung lama, jauh sebelum Slamet Martoutomo bertugas di sana. Caranya: bekerja sama dengan bagian gudang, barang-barang gadaian dikeluarkan. Duplikat girik (surat gadai) yang melekat di barang dilepas. Barang itu pun oleh Tukiman, yang dikenal pula sebagai perantara antara para penggadai dengan kantor pegadaian, disodorkan kepada juru taksir. Maka tergadai-lagilah barang itu. Setelah kembali dimasukkan ke dalam gudang, duplikat girik yang tadi dicopot, dipasang lagi, agar mudah diberikan bila pemilik barang sebenarnya hendak menebus. Satu barang dapat digadaikan berulang kali dengan cara seperti itu. Tampaknya selalu aman. Sebab Tukiman selalu rajin membayar bunga gadaian barang fiktif itu. Tapi akhirnya ia kejeblos juga. Satu saat rupanya Tukiman lalai membayar bunga, sehingga barang itu jatuh tempo dan harus dilelang. Sejak itulah Slamet mulai curiga dan meng usut. Tapi rupanya ia sendirian, sehing ga harus meminta bantuan Opstib Pusat untuk membenahi Nmah gadai itu -mungkin juga di banyak rumah gadai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus