RUMAH Gadai Gombong sekarang sudah sepi. Di depan
loket-loketnya, berbeda dengan sebelumnya, tak terlihat lagi
orang saling mendesak menyorongkan barang gadaian Di balik
loket-loket itu pun, beberapa pegawai yang masih berkantor,
hanya duduk-duduk di pojok yang sulit terlihat dari luar. Bahkan
Slamet Martoutomo, kepala pegadaian itu, tak pernah muncul lagi.
Keadaan itu tak sulit dipahami rumah gadai itu sedang kusut
masai karena manipulasi. Dan hal itu sudah berlangsung sejak
beberapa bulan lalu, meskipun 8 November 82 Slamet telah
melaporkan semua ikhwal rumah gadainya ke berbagai instansi di
Semarang dan Jakarta, termasuk Obstib Pusat.
Tinggal Slamet, 51 tahun, tak tahu apa yang mesti ia lakukan.
Karena selain ia menganggap tindakan tim dari Kantor Pegadaian
Inspeksi V di Yogyakarta, sangat tidak adil, juga karena
pengaduannya ke instansi tingkat pusat belum ditanggapi sampai
sekarang. Masih untung ia tetap dibolehkan menempati rumah
dinasnya yang terletak di samping rumah gadai itu, "meskipun
sejak 2 April 1982 saya tak diperbolehhan menginjakkan kaki di
kantor."
AYAH dari tujuh anak itu menjabat Kepala Cabang Pegadaian
Gombong sejak pertengahan 1979--pindahan dari Muntilan.
Serah-terima jabatan berlangsung tanpa pemeriksaan barang
jaminan dalam gudang. Karena, kata Kepala Daerah Pemeriksaan
Kebumen, Darman, yang memimpin serah-terima, hal itu tak perlu
dilakukan. Yang dihitung hanya inventaris kantor dan uang
kontan.
Sejak Januari 1982, Slamet mengambil kebijaksanaan tidak
menerima penggadaian sepeda lagi. Karena berdasarkan catatan di
bagian administrasi, gudang tak sanggup menampung lagi. Maka
pertengahan Februari, ia memimpin panitia lelang gadaian sepeda
yang sudah jatuh waktu. Menurut catatan, sepeda yang harus
dilelang hari itu ada 25 buah. Tapi ketika lelang dibuka, Slamet
kaget sepeda yang ada hanya 5 buah. "Ke mana yang dua puluh?",
tanya Slamet. Ke-10 pegawai di kantor itu tak ada yang menjawab
pasti.
Penjaga gudang, Purwanto, dipanggil dan ditanyai. "Yang
mengambil sepeda-sepeda dari gudang adalah Tukiman, katanya atas
suruhan bapak," jawab Purwanto. Slamet kaget, karena ia merasa
tak pernah melakukan itu. Tapi waktu Tukiman, 50 tahun,
dipanggil, sebelum dianya ia sudah buru-buru "minta maaf, saya
mohon ampun, pak," kata pesuruh golongan IB itu seperti
dituturkan Slamet kembali. Tukiman, malahan berjanji akan
mengganti semua barang jaminan yang "hilang" itu.
Apa yang sebenarnya terjadi di rumah gadai itu? Ketika kemudian
Slamet meneliti administrasi di bagian penaksir dan mencocokkan
jumlah barang dalam gudang dengan catatan pinjaman, "saya hampir
pingsan, karena angka dalam buku sangat berbeda dengan barang
yang ada". Menurut Slamet ada sekitar 1.300 pinjaman fiktif,
artinya tak ada barangnya, tapi tertulis dicatatan sebagai
barang gadaian. Barang-barang itu teruuma yang taksirannya di
bawah Rp 20.000--batas taksiran yang bisa diputuskan juru taksir
tanpa persetujuan kepala pegadaian. Semua mencapai nilai Rp 23
juta lebih.
Ketika Slamet mengadakan rapat membahas hal itu, juru taksir
menyarankan agar semua kejadian itu tak perlu dilaporkan ke
atasan. "Karena semua karyawan bisa terlibat," kata Mustopa, si
juru taksir. Usul ini didukung semua karyawan, termasuk Tukiman.
Tapi karena dirinya bersih, Slamet. beberapa hari kemudian,
menghadap Kepala Daerah Pemeriksaan Pegadaian di Kebumen,
Darmin. Besoknya dengan sebuah tim, Darmin langsung memeriksa ke
Gombong. Tapi Slamet heran, tim itu berkesimpulan, "tak ada
kejanggalan".
Ia pun melayangkan laporan ke Kepala Kantor Inspeksi Pegadaian V
di Yogyakarta, 9 Maret 82. M. Singgih, kepala kantor inspeksi
itu, membentuk tim dan terjun pula ke Gombong. Hasilnya, di
hadapan tim itu Tukiman mengaku sebagai otak gadaian fiktif itu.
Slamet mengusulkan agar hal itu dilaporkan ke pihak kepolisian.
Tapi Singgih menolak. Ia ingin diselesaikan dengan musyawarah .
Yaitu semu a kerugi an itu ditanggung bersama oleh seluruh
karyawan Pegadaian Gombong, termasuk Slamet.
Tukiman sebagai otak harus menanggung 35% atau Rp 8 juta lebih.
Tapi Slamet, sebagai kepala, juga diwajibkan menanggung 35%.
Sisanya dibagi menurut tingkat keterlibatan karyawan-karyawan
yang lain . "Itu keputusan edan, " ujar Slamet kepada TEMPO.
Kemudian Slamet juga diancam akan dipecat bila ia tak mau
menandatangani hasil "musyawarah" itu.
Karena takut dipecat, Slamet menjual barang-barang keluarganya
yang berharga. Ditambah sumbangan seorang anaknya yang telah
menjadi dokter di Surabaya, akhirnya terkumpul Rp 5 juta
--langsung ia serahkan ke tim dari Yogya tadi. Tapi belum cukup
Tim tadi mewajibkan Slamet melunasi semua sisa. Caranya dengan
memotong gajinya yang Rp 180.000 sebulan itu mulai April 82.
Karena ia memprotes, Slamet dibebastugaskan, meskipun masih
boleh menempati rumah dinas.
SEBENARNYA sejak kejadian itu seluruh karyawan rumah gadai itu
dalam status dirumahkan. Tapi karena mereka mulai mencicil,
status itu dicabut. Termasuk Tukiman, pesuruh yang dikenal
tetangganya sebagai "orang kaya, karena punya dua rumah dan dua
istri". Para karyawan itu menolak diwawancarai mengenai kasus
tadi. Begitu pula beberapa pejabat di Kantor Inspeksi Pegadaian
V di Yogya, sementara M. Singgih, si kepala kantor, "sedang
sakit".
Tapi sumber TEMPO di Yogya menyebutkan, manipulasi di pegadaian
Gombong itu sudah berlangsung lama, jauh sebelum Slamet
Martoutomo bertugas di sana. Caranya: bekerja sama dengan bagian
gudang, barang-barang gadaian dikeluarkan. Duplikat girik (surat
gadai) yang melekat di barang dilepas. Barang itu pun oleh
Tukiman, yang dikenal pula sebagai perantara antara para
penggadai dengan kantor pegadaian, disodorkan kepada juru
taksir. Maka tergadai-lagilah barang itu. Setelah kembali
dimasukkan ke dalam gudang, duplikat girik yang tadi dicopot,
dipasang lagi, agar mudah diberikan bila pemilik barang
sebenarnya hendak menebus.
Satu barang dapat digadaikan berulang kali dengan cara seperti
itu. Tampaknya selalu aman. Sebab Tukiman selalu rajin membayar
bunga gadaian barang fiktif itu. Tapi akhirnya ia kejeblos juga.
Satu saat rupanya Tukiman lalai membayar bunga, sehingga barang
itu jatuh tempo dan harus dilelang. Sejak itulah Slamet mulai
curiga dan meng usut. Tapi rupanya ia sendirian, sehing ga harus
meminta bantuan Opstib Pusat untuk membenahi Nmah gadai itu
-mungkin juga di banyak rumah gadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini