LAHAN kering yang retak-retak dan berdebu sudah biasa di Desa
Picon. Penduduknya (360 jiwa) mengatap rumah dengan ijuk dan
daun rumbia. Sebagian besar melarat. Rakhmadun, petani di sana
berkata, "yang paling kami butuhkan ialah air."
Alhamdulillah, sekarang sebuah pompa listrik tak henti-hentinya
menyemburkan air 30 - 40 m3 per jam. Sedikitnya 60 ha sawah
tadah hujan bisa diairi. Cukup pula air bagi penduduk memasak,
mandi, mencuci, dan sebagainya. Dan kini tiap rumah memasang
lampu neon 20 watt, bahkan mereka bisa menonton siaran televisi
di balai desa pada malam hari.
Semua itu terjadi setelah BPPT (Badan Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi) membangun pembangkit listrik dari tenaga
surya di Picon, Banten, 3 tahun yang lalu. Pembangkit listrik
itu terletak di lengah desa, dalam areal 250 m2 yang
sekelilingnya bebas pepohonan. Sinar surya langsung menerpa 9
bagan, masing-masing berukuran 2 x 2,5 m yang terpasang miring
26 derajat ke arah utara menyongsong matahari. Bagan yang
berjajar tiga disangga tiang-tiang besi dengan fondasi beton.
Pada tiap bagan tersusun 72 modul, berupa bingkai aluminium 12 x
30 cm timbal-balik dan berlapis kaca bening.
Tiap modul berisi 35 lempengan tipis silikon warna gelap. Itulah
yang dinamai sel fotovoltaik (sel pembangkit energi surya).
Sinar yang diserap sel itu berubah menjadi listrik. Kemudian
melewati terminal positif dan negatif yang dibuat pada tiap
lempengan silikon, arus dari seluruh bagan terkumpul dan
mengalir ke sebuah gardu listrik di kompleks itu.
Sel-sel fotovoltaik itu menghasilkan listrik 5,5 kw, di
antaranya 2,2 menggerakkan mesin, memompa air dari kedalaman
lebih 20 m. Sisanya untuk penerangan rumah penduduk.
Tentu sel tak menghasilkan listrik di malam hari, atau tatkala
cuaca mendung. Maka arus listrik tadi lebih dulu disimpan di
dalam 30 accu 12 volt yang sudah diseri, di dalam gardu.
Pembangkit listrik yang sama, tapi lebih besar -- menghasilkan
25 kw terdapat di Cituis, 50 km dari Tangerang. Di desa pantai
yang dihuni 200 keluarga nelayan itu, menurut rencana listrik
juga akan menggerakkan mesin penawar air laut. Tapi
"instalasinya belum dipasang," kau Ir. Kardono, staf BPPT yang
mengawasi proyek Cituis dan Picon. Cituis mulai ditangani 1979
upi direncanakan selesai tahun 1984.
Pertama kali dipakai di Indonesia, 1975, untuk mercu suar Pulau
Kapoposong, Sul-Sel, sekarang energi sel surya digunakan untuk
135 rambu laut, antara lain di Pulau Marundung (KalSel), Sungai
Batanghari (Jambi), dan Kuala Langsa (Aceh). Perumtel
menggunakan energi ini mulai dua tahun lalu di beberapa daerah
terpencil untuk menggerakkan sentral telepon jarak jauh (STJJ
yang nonotomat), pemancar dan penerima radio HF, dan sistem
telepon pedesaan yang sekarang sedang dicoba di Kecamatan Peung
(Bali). "Satelit Palapa pun memakai fotovoltaik," kau Sallya
Rachmat, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan
Telekomunikasi, Perumtel.
Sistem fotovoltaik juga sudah terpasang di dua tempat (Gollu
Watu dan Bukambero) di Sumba Barat. Keduanya marnpu menyediakan
air minum -sangat berarti bagi ribuan penduduk dalarn musim
kemarau panjang ini.
BPPT sedang membangun lagi empat proyek percontohan Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kecamatan Manggala (Lampung
Utara), Kecamatan Palas (Lampung Selatan), Kecamatan Cibinong
(Cianjur), dan Kecamatan Secang (Magelang). Risetnya di bidang
ini mendapat bantuan Jerman Barat.
Dalam tahap awal ini PLTS diprioritaskan untuk daerah terpencil,
terutama yang belum tercapai oleh PLN. Tapi "sudah saatnya
(fotovoltaik) dikembangkan secara nasional," kata Dr. Ir. Adang
Suwandi dalam sebuah seminar di ITB Bandung pekan lalu.
Persoalan ialah harga fotovoltaik "masih tinggi," kau Ir. P.
Iwan Santoso dari PT Centronix. Perusahaarmya sejak awal tahun
ini merakit fotovoltailc di kawasan Sunter, Jakarta. Modul yang
menghasilkan listrik hanya 20 watt sudah mencapai (harga sistem)
Rp 250. 000.
Proyek Picon menghabiskan Rp 150 juta. Harga itu melangit karena
masih berupa proyek penelitian. Namun listrik yang dihasilkan
generator kecil cuma Rp 1.000 per watt, atau 1096 di bawah harga
listrik fotovoltaik. Karena itu, menurut Sallya Rachmat,
Perumtel menggunakannya hanya di daerah terpencil, "di mana BBM
sulit diperoleh." Di Desa Picon, misalnya, sangat mahal minyak
solar, Rp 225 per liter, hampir dua kali harga biasa.
PT Centronix merakit fotovoltaik dengan lisensi Bolarex (USA).
Konsumennya terbatas pada lembaga pemerintah seperti Hankam dan
Perumtel. Perusahaan lain, Guna Elektro mengageni produk AEG
Telefunken (Jer-Bar) untuk mensuplai Dep. Perhubungan dan BPPT,
sementara PT Philips dan beberapa perusahaan Amerika (Intercol
Power Corp., Choner Corp., dan Sunteo System) sedang menjajaki
pemasaran di Indonesia. "Kalau (fotovoltaik) nanti sudah
memasyarakat, harganya pasti murah," kata Iwan Santoso.
Prof. Dr. Samsun Samadikun, Dirjen Ketenagaan Dep. Pertambangan
dan Energi, sependapat. "Sistem fotovoltaik nanti lebih murah
daripada disel," katanya. Tahun 1990, menurut dugaannya, tiap
watt fotovoltaik hanya Rp 800.
Yang membuat tinggi harga itu sekarang adalah sistemnya. Sedang
perawatannya murah. Proyek Picon itu hanya dijaga tiga pegawai,
"dan tahan 20 tahun," kata Ir. Kardono.
Menurut Prof. Dr. Sulaeman, Ketua Laboratorium Konversi Energi
Listrik ITB, "rahasia teknologi fotovoltaik sudah kita ketahui."
Bahan baku utamanya, pasir kwarsa, melimpah. Untuk
memproduksikan sel energi matahari, katanya, "Amerika malah
mengimpor pasir kwarsa dari Jawa Timur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini