Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Dubai - Hasil riset terbaru mengungkap air susu ibu atau ASI tak hanya mengandung semua nutrisi penting yang dibutuhkan untuk perkembangan bayi, tapi juga berfungsi sebagai perisai terhadap berbagai penyakit. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi kesehatan internasional utama lainnya, pemberian ASI direkomendasikan minimal selama enam bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami menyarankan ibu untuk menyusui bayinya karena berbagai alasan dan manfaat, salah satunya adalah kepuasan emosional dan ikatan antara ibu dan anak," kata Dr Fozi Dakliah, konsultan neonatologis dan direktur tindakan medis Thumbay Hospital di Dubai, Uni Emirat Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, sebuah studi longitudinal selama 10 tahun yang dilakukan American Psychological Association menemukan bahwa wanita yang menyusui anak-anak mereka lebih lama menunjukkan sensitivitas ibu yang lebih baik saat sang anak melewati masa bayi dan balita.
Menurut hasil temuan yang dipublikasi di jurnal Developmental Psychology, sensitivitas itu terus berlanjut. Bahkan, setelah memperhitungkan neurotisme maternal, sikap mengasuh anak, etnisitas, pendidikan ibu, dan kehadiran pasangan romantis.
"Sangat mengejutkan bagi kami. Bahwa durasi menyusui dapat memprediksi perubahan dari waktu ke waktu dalam kepekaan ibu," kata penulis utama studi tersebut, Jennifer Weaver, dari Boise State University, Idaho, Amerika Serikat.
Sebenarnya, dalam penelitian sebelumnya diketahui terdapat hubungan antara kegiatan menyusui dan awal sensitivitas ibu. "Tapi penelitian itu tidak menunjukkan efek menyusui secara signifikan setelah periode pemberian ASI berakhir," kata Weaver.
Kepekaan ibu didefinisikan sebagai waktu sinkron dari respons ibu terhadap anaknya. Termasuk dalam hal ini adalah nada emosionalnya, fleksibilitasnya dalam perilakunya, dan kemampuannya untuk membaca isyarat anak. Peningkatan durasi menyusui menyebabkan sensitivitas ibu lebih besar dari waktu ke waktu.
"Itu berarti interaksi kedekatan yang dialami selama menyusui mungkin satu dari banyak cara ikatan untuk memperkuat hubungan antara ibu dan anak," ujar Weaver.
Para peneliti menganalisis data dari wawancara dengan 1.272 keluarga yang berpartisipasi dalam salah satu program dari Institut Nasional Studi Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia untuk Perawatan Anak Dini. Mereka direkrut dari 10 lokasi di Amerika Serikat, pada 1991, yakni ketika bayi mereka berumur satu bulan. Mereka mewawancarai para ibu yang menjadi bagian dari sampel penelitian awal.
Sampel tersebut mencakup sebagian besar orang tua berpendidikan rendah, yakni 30 persen, tidak memiliki pendidikan tinggi, dan keluarga etnis minoritas, yakni 13 persen adalah orang Afrika-Amerika.
Dalam penelitian ini, sampel penelitian itu adalah wanita yang memberikan ASI rata-rata 17 minggu. Sekitar kurang dari 1 persen pemberian ASI selama 24 bulan dan yang terakhir, 29 persen, tidak menyusui sama sekali.
Para periset kemudian mewawancarai dan merekam keluarga di rumah mereka secara berkala sampai anak mereka berusia 11 tahun. Mereka dilibatkan dalam berbagai kegiatan penelitian untuk mengetahui interaksi mereka dengan anak-anaknya saat bermain bebas dan mencari pemecahan masalah sesuai dengan usianya. Pada kunjungan enam bulan, misalnya. Orang tua dan bayi bermain dengan seperangkat mainan dan, ketika anak-anak berusia empat tahun, mereka akan menyelesaikan labirin bersama-sama.
Kemudian, ketika anak-anak berada di kelas lima, para ibu berbicara kepada anak mereka tentang kemungkinan pertengkaran, dan juga bekerja sama dengan anak mereka untuk membangun menara dari tusuk gigi.
Hasilnya, periset menilai kualitas interaksi kolaboratif, seperti tingkat dukungan ibu, menghormati otonomi, dan tingkat permusuhan anak-anaknya. Peran ayah sendiri dianggap nol dalam korelasi antara rentang masa menyusui ibu dan kepekaan pria terhadap anak mereka. Namun Weaver menegaskan, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi pengalaman ikatan ibu dan anak pada wanita yang tidak mampu menyusui.
"Pada akhirnya, saya berharap bahwa kita akan melihat menyusui sebagai faktor pengasuhan yang lebih dekat, tidak hanya sebagai pertimbangan kesehatan, tapi juga memungkinkan kita untuk lebih memahami peran yang dapat dimainkan oleh menyusui dalam kehidupan keluarga," kata Weaver.
Simak hasil riset menarik lainnya tentang air susu ibu hanya di Tempo.co.
DEVELOPMENT PSYCHOLOGY | SCIENCE DAILY | GULF NEWS