Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Babun, Ibu, dan Tesis Gender

Buku Mother Nature menegaskan kembali peran wanita sebagai ibu. Tesis yang bersumber pada penelitian hewan itu diterpa badai kritik.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK menghidupi anak-anaknya, dia bekerja keras selama 17 jam sehari. Seharian itu pula satu bayinya digendong di punggung. Ketika dia pulang ke rumah, anak-anaknya yang lebih tua menyambut dengan permintaan agar dia menjadi penengah pertengkaran. Saat anak-anaknya tertidur, dia hanya punya waktu beberapa jam untuk makan dan bebersih. Lantas, dia tidur, meski sekejap, untuk kemudian bangun dan kembali melakoni rutinitas sepanjang mentari terbit.

Dia bukan seorang ibu, memang. Dia hanyalah hewan primata dari jenis babun betina di Kenya. Namun, problem hidup yang dihadapi babun betina dianggap tak berbeda dengan wanita yang acap menjalani profesi ganda sebagai ibu sekaligus pencari nafkah. Dia melakukan tugas sehari-hari yang lebih berat ketimbang pasangan lelakinya. Acap pula pemecahan masalah yang ditempuh primata betina tak ubahnya seorang ibu manusia. Primata betina jenis tamarin di Amazon Basin, Amerika Selatan, umpamanya, mempercayakan anaknya pada bibi atau nenek anak tersebut tatkala si induk sibuk mencari makan.

Tapi jangan salah. Hewan betina juga punya semacam perilaku negatif bila merasa frustrasi. Beruang hitam Amerika, yang biasa melahirkan dua atau tiga anak sekaligus, misalnya, akan segera meninggalkan anak yang terlahir sendirian. Begitu pula tikus betina, yang akan memakan anaknya yang terlahir di bawah ukuran normal. Adakah perilaku negatif itu analog pula dengan sikap sebagian wanita yang mungkin membunuh anaknya sendiri karena terlahir di luar keinginannya, entah gara-gara hubungan gelap entah akibat pemerkosaan?

Yang pasti, kesamaan naluri antara hewan betina dan seorang ibu itu diangkat kembali oleh Sarah Blaffer Hrdy, antropolog di Universitas California, Amerika Serikat, lewat bukunya Mother Nature: a History of Mothers, Infants, and Natural Selection. Menurut Hrdy, seperti dikutip majalah Time edisi 8 Mei 2000, semua ibu menghadapi dilema yang sama. Karena itu, dengan menyimak perilaku binatang, katanya dalam buku yang diliris pada Oktober 1999 itu, orang akan bisa lebih mengerti arti dan pentingnya peranan ibu bagi kehidupan.

Keruan saja, tema klasik seputar gender yang diulas itu mengulang kembali perdebatan tentang fungsi wanita sebagai ibu. Dan buku itu menjadi sumber perdebatan bukan hanya lantaran menyamakan manusia dengan hewan primata, tapi juga karena penelitian Hrdy seolah-olah menegaskan berlakunya hukum alam terhadap wanita selaku ibu. Memang, struktur DNA manusia hampir mirip dengan hewan primata.

Masalahnya, menurut Prof. Teuku Jacob, ahli antropologi ragawi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hasil penelitian terhadap hewan primata tak bisa diterapkan untuk manusia. Soalnya, jelas, manusia adalah makhluk berkebudayaan, sementara hewan hanya mengandalkan naluri. Pada manusia pun pembagian tugas di lingkungan masyarakatnya bergantung pada perkembangan budaya.

Bagi masyarakat yang kebiasaannya masih tergolong alamiah, pembagian tugas antara wanita dan pria lebih berdasarkan gender (jenis kelamin). Sedangkan pada masyarakat dengan budaya agraris, wanita tak dituntut berkarir, selain hanya mengurus rumah tangga dan menjalankan tugas reproduksi. Tak demikian pada wanita di masyarakat industri, yang lebih banyak bekerja di luar rumah.

Pada hewan pun, kata Jacob, pembagian kerja berdasarkan perbedaan biologis tak bersifat mutlak. Contohnya burung jantan yang mengerami telur dan bergantian dengan pasangannya mencari makan bagi anaknya.

Tak cuma Prof. Jacob yang mengkritik keras buku Hrdy. Sita Aripurnami, penggiat di lembaga swadaya masyarakat Kalyanamitra, juga keberatan dengan tesis Hrdy. Menurut Sita, sejatinya tak ada pembagian tugas berdasarkan gender pada 10 ribu tahun lampau. Setelah ada budaya pertanian, lelaki bertugas di lapangan, sementara wanita berperan di bidang reproduksi. Berdasarkan kesepakatan itulah lahir patriarki (budaya laki-laki). "Perjalanan budayalah yang membuat seolah-olah perasaan keibuan menjadi semata milik perempuan," kata Sita.

Justru penyempitan fungsi ibu hanya pada wanita, kata Kristi Poerwandari, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, akan merugikan kaum laki-laki. Sebab, keadaan itu akan membuat lelaki cenderung dididik untuk mengembangkan aspek maskulinitas belaka. Akibatnya, kaum laki-laki bisa tumbuh menjadi sosok yang tidak peka dengan perasaan orang lain, bahkan perasaannya sendiri. "Pola seperti itu jelas membuat laki-laki menjadi manusia yang tidak utuh," kata Kristi.

Yusi A. Pareanom, Gita W. Laksmini, R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus