Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dengan RUU itu, BPPN Mau ke Mana?

Cacuk Sudarijanto berniat memosisikan BPPN langsung di bawah presiden. Selain men-cuek-kan Menteri Keuangan, RUU itu agaknya sudah kebablasan.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA menduga bahwa Cacuk Sudarijanto yang tahun lalu menggebu-gebu membangun pos ekonomi rakyat melalui Partai Daulat Rakyat itu kini begitu bernafsu menegakkan wibawa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dulu Cacuk dipercayai oleh Adi Sasono untuk menjadi Direktur Jenderal Bina Pengusaha Kecil—dengan anggaran yang juga kecil—sedangkan kini ia dipercayai Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengelola kekayaan negara senilai Rp 600 triliun. Tak jelas bagaimana "jalan pintas" Cacuk ke BPPN. Yang pasti, hal itu tidak menarik kalau saja tidak muncul berbagai kontroversi. Sebut saja kasus penjualan saham pemerintah di Astra, masalah mega-utang Texmaco, dan restrukturisasi utang Chandra Asri. Kedua kasus yang disebut terakhir itu belum lagi reda, kini muncul kontroversi seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) BPPN yang diusung Cacuk ke DPR. Tujuan utama dari RUU itu adalah meningkatkan status hukum BPPN yang semula berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1999. Singkat kata, BPPN harus naik kelas. Buat apa? Menurut Cacuk, itu untuk memperkuat legitimasi hukum sekaligus efektivitas kerja BPPN. Soalnya, sesuai dengan putusan hak uji materiil dari Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi itu menyarankan agar dasar hukum BPPN dinaikkan dari PP menjadi UU. Pada putusan itu, MA menolak gugatan Asosiasi Advokat Indonesia yang menuntut pembatalan PP Nomor 17 Tahun 1999 karena bertentangan dengan berbagai UU yang kini berlaku. PP tersebut memang memberikan wewenang mahabesar kepada BPPN, sehingga lembaga yang dipimpin Cacuk itu juga boleh bertindak selaku pengadilan serta Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara. BPPN juga bisa mengesampingkan ketentuan pada UU Perseroan Terbatas dan Hak Tanggungan. Kewenangan yang membuat BPPN supersakti itu rupanya belum memadai. Cacuk ingin agar BPPN tak lagi harus bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Selain itu, bagi para pejabat BPPN dimintakan kekebalan hukum agar mereka tak bisa dituntut secara perdata ataupun pidana. RUU itu juga menghendaki wewenang BPPN sama dengan Menteri Keuangan: berhak mencekal dan menyandera bankir nakal. Bahkan, RUU itu menetapkan ancaman pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 30 miliar terhadap orang yang mencampuri atau menghalangi BPPN. Sungguh fantastis! Isi RUU yang kebablasan itu kontan membuat DPR bereaksi keras. "Ada patgulipat apa lagi, kok, Cacuk memaksakan BPPN langsung di bawah presiden?" ujar anggota DPR dari Golkar, Paskah Suzetta. Wakil Ketua Fraksi Reformasi di DPR, Munawar Sholeh, juga menganggap posisi BPPN yang di bawah presiden akan kembali menumpuk kekuasaan di satu tangan. Padahal, praktek buruk semasa Orde Baru itu kini mulai dikoreksi. Paskah juga mengingatkan, RUU itu bertentangan dengan peraturan induknya, yakni UU Perbankan Tahun 1998. Berdasarkan UU tersebut, BPPN, sebagai badan khusus sementara, berada di bawah Menteri Keuangan. Juga, sesuai dengan ketentuan tentang perbendaharaan negara, hanya Menteri Keuangan yang berwenang mengurus aset negara. "Pengelolaan aset negara oleh Menteri Keuangan dan Menteri Negara Pembinaan BUMN saja sudah bertubrukan, apalagi bila penguasaan aset negara dilakukan oleh Menteri Keuangan dan BPPN," kata Paskah. Ahli hukum perbankan Sutan Remy Sjahdeini menganggap UU Perbankan dan PP serta vonis MA sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi BPPN. Menurut Remy, soalnya kini hanyalah cara kerja BPPN yang lamban. Kelemahan internal yang disinyalir Remy ini sebenarnya tak bisa ditutup-tutupi lagi. Tentu sangat tidak tepat jika kelambanan kerja BPPN mau diatasi dengan seabrek wewenang yang bisa menjurus ke penyalahgunaan. Tanpa RUU itu pun, integritas BPPN sudah dipertanyakan, khususnya yang menyangkut Chandra Asri. Tapi bukan Cacuk namanya kalau tak menangkis tudingan yang bertubi-tubi itu. Cacuk menjelaskan bahwa "pencantolan" BPPN ke presiden tak lain akibat pelajaran mahal dari skandal Bank Bali. Langsung di bawah presiden, BPPN akan lebih ditakuti dan semakin independen. Namun, karena tugas presiden sudah sangat banyak, urusan BPPN akan didelegasikan kepada Komite Supervisi yang dipimpin Ketua BPPN dan beranggotakan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, serta masing-masing satu orang dari Bank Indonesia, akademisi, dan pengusaha. "Ketua komite dirangkap oleh Ketua BPPN itu bukan maunya saya. Itu rekomendasi dari konsultan asing di BPPN. Saya enggak punya ambisi gitu-gituan lagi," kata Cacuk. Konsultan asing yang dimaksud adalah McKinsey, yang merumuskan formula untuk perbaikan pengelolaan BPPN. Reaksi keras terhadap RUU BPPN juga datang dari Menteri Keuangan Bambang Sudibyo. Ia mengaku tak tahu-menahu. Padahal, menurut Cacuk, draf RUU itu telah disampaikan kepada Bambang. Keluhan Bambang senada dengan pernyataan Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Romli Atmasasmita. Menurut Romli, RUU tentang BPPN itu tak sesuai dengan prosedur karena bukan saja tidak pernah dibicarakan di tingkat antardepartemen, tapi juga belum pernah disampaikan kepada Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Happy S., Leanika Tanjung, dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus