Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Tergilas Kredit Ganas

Praktek bisnis Bank Dagang Bali dipersoalkan. Cicilan yang tertunda langsung didenda dan bunga utang dilipatgandakan. Anehnya, bank ini selalu menang di pengadilan.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGENAP dokter dan tenaga paramedis di Rumah Sakit Surya Husadha, Denpasar, kini tak lagi bisa tekun bekerja. Mereka dilanda resah karena tak lama lagi akan kehilangan tempat bekerja. Ada apa? Ternyata rumah sakit yang terletak di Jalan Pulauserangan, Denpasar, itu telah dilelang untuk membayar utang kepada Bank Dagang Bali (BDB). Tidak seperti lazimnya, lelang tersebut diikuti oleh hanya satu peserta. Pemenangnya, tentu saja, peserta tunggal itu, yang tak lain adalah karyawan BDB. Yang membuat pemimpin Rumah Sakit Surya Husadha, Dokter I Putu Wirya Masna, merasa kian gusar ialah kenyataan bahwa tanah yang dilelang itu bukan tanah yang dijadikan agunan. Soalnya, tanah yang diagunkan adalah tanah miliknya pribadi di Jalan Diponegoro, Denpasar. Di situlah Wirya buka praktek. Dan yang dilelang adalah tanah tempat rumah sakit Husadha berdiri, yang justru lebih luas. Aneh sekali. Bagaimana mungkin BDB "menyulap" tanah Husadha sebagai agunan? Selain itu, jumlah utang Wirya ikut disulap. Semula, pada 1990, Wirya meminjam uang Rp 200 juta kepada BDB. Belakangan, pada 1996, utang itu membengkak menjadi Rp 2,2 miliar. Ini berarti utangnya berlipat hampir dua kali dalam setahun. Kalau perhitungannya seperti itu, "Sampai mati pun, utang itu tak akan terlunasi," ujar Wirya. Pembengkakan jumlah utang yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinformasikan oleh kreditor kepada debitor ini akan diperkarakan oleh dr. Wirya ke Pengadilan Negeri Denpasar. Jangan heran kalau BDB memiliki koleksi korban. Selain Wirya, pemilik Hotel Palm Beach di Kuta, Bali, Anton Wijaya, sudah lebih dulu dimangsa BDB. Pada 1990, Anton mendapat kucuran kredit Rp 400 juta dari BDB. Sebagai jaminan, Anton mengandalkan sertifikat tanah seluas 1.000 meter persegi di area Hotel Palm Beach. Tanah agunan itu sehari-hari digunakan untuk lokasi parkir hotel. Anton sempat mencicil utangnya sampai Rp 300 juta. Dengan demikian, sisa utangnya tinggal Rp 100 juta. Tak jelas bagaimana patgulipatnya, pada 1996, utang Anton malah membengkak hingga Rp 1,2 miliar. Lebih janggal lagi, BDB melelang seluruh tanah Hotel Palm Beach, yang luasnya 2.500 meter persegi. Padahal, yang dijadikan jaminan hanya sertifikat lahan parkir seluas 1.000 meter persegi itu. Semestinya, sertifikat dari tanah yang bukan lahan parkir tak bisa dilelang. "Kami tidak tahu bagaimana caranya BDB bisa mendapatkan kedua sertifikat tanah Hotel Palm Beach," kata pengacara Anton, Victor Yaved Neno. Victor juga mencurigai manipulasi besaran bunga kredit Anton. Bunga yang semula 1,6 persen sebulan itu, tanpa diketahui pihak debitor, berubah menjadi 2,6 persen. Tampaknya, masih akan banyak lagi orang seperti Wirya dan Anton yang teperdaya gara-gara jurus BDB yang mirip rentenir. Tentu banyak debitor yang tak bisa menerima perlakuan itu. Tapi posisi BDB selalu di atas angin. Dengan gampang bank itu mengesampingkan protes debitor, bahkan BDB bisa langsung menyita jaminan utang. Tak aneh, "BDB dikenal sebagai bank ramah sita," ucap Victor. Satu-satunya jurus pamungkas, ya, pengadilan. Namun, di jalur hukum pun, BDB selalu menang. Ada yang menduga, BDB bisa bersimaharajalela karena bank ini memiliki lobi yang kuat dengan segenap aparat penegak hukum. Kepada Wirya pun banyak yang mengingatkan bahwa gugatannya terhadap BDB tak mungkin bisa menang. Gugatan Anton, misalnya, kalah telak di pengadilan. Ia kini tinggal berharap pada gugatan istrinya, yang masih diproses di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Istri Anton menggugat BDB karena bank ini menggarap urusan utang dengan Anton tanpa setahunya. Sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan, ikatan utang seorang suami dengan pihak lain harus disetujui istrinya. Ironisnya, Direktur Utama BDB I Gusti Made Oka menanggapi berbagai kasus tadi dengan menyodorkan penjelasan yang bersifat normatif. Alasannya, perhitungan utang debitor termasuk sebagai rahasia bank yang pantang dibuka. Tentang pembengkakan utang, ia mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena menumpuknya denda akibat terlambatnya pembayaran cicilan plus bunga-berbunga. Dan semua perhitungan itu, katanya lagi, selalu diinformasikan kepada debitor. Oka juga membantah tuduhan bahwa BDB bersikap sewenang-wenang saat menyita agunan. "Penyitaan tak lebih dari upaya bank untuk menuntut haknya. Kalau utang terus macet, dengan uang apa bank harus memenuhi kewajiban kepada penabung dan deposan?" katanya. Menurut Oka, pelelangan jaminan kredit yang dimenangi oleh calon tunggal yang juga karyawan BDB tak perlu dipermasalahkan. Sebab, lelang itu sudah dibuka untuk umum dan diiklankan di koran. Jadi, "Kalau sekarang debitor menuduh macam-macam, buktikan saja di pengadilan," ujarnya menantang. Hp.S., Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus