Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa Universitas Gadjah Mada atau UGM, Prof Sunarno, mengklaim alat yang mereka kembangkan berhasil mendeteksi gempa tiga hari sebelum kejadian. Namun, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, meragukan kemampuan alat deteksi gempa buatan tim peneliti UGM tersebut, pasalnya, tanpa diprediksi pun, gempa-gempa kecil sering terjadi hingga belasan kali setiap hari di wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terlepas dari kontroversi tersebut, lalu bagaimana cara kerja alat Sistem Peringatan Dini atau disebut juga dengan EWS buatan tim peneliti UGM ini? Berikut ulasannya dilansir dari laman UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sunarno, alat deteksi gempa yang dikembangkan timnya sejak 2018 ini beroperasi dengan teknologi triangulasi yang dapat memberikan prediksi titik pusat gempa atau episentrum secara lebih presisi. Adapun komponen EWS buatan UGM yaitu terdiri dari detektor untuk mendeteksi perubahan lever air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, serta sumber daya listrik dan penyimpan data. Alat EWS buatan UGM ini memanfaatkan teknologi Internet of Thing atau IoT.
Sunarno menjelaskan, alat tersebut beroperasi mendeteksi perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah. Saat akan terjadi gempa tektonik atau lempengan, akan muncul fenomena anomali alam dengan meningkatnya paparan gas radon alam dari dalam tanah dan naik turunnya permukaan air tanah secara signifikan.
“Dua informasi ini dideteksi oleh alat EWS dan akan segera mengirim informasi ke handphone saya dan tim. Selama ini informasi sudah bisa didapat dua atau tiga hari sebelum terjadi gempa di antara Aceh hingga NTT,” ungkap Sunarno, yang juga merupakan Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM.
Sejauh ini, menurut Sunarno, telah ada lima stasiun pantau EWS yang tersebar di DIY, sistem peringatan dini gempa tersebut telah digunakan untuk memprediksi gempa, dan hanya membutuhkan waktu 5 detik untuk mengirim data ke server melalui IoT. Kelima stasiun pantau tersebut berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY dan belum terpasang di daerah lain.
“Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat,” kata Sunarno, dilansir dari www.ugm.ac.id.
Dengan latar belakang Indonesia sebagai negara yang tepat berada di tiga lempeng tektonik dunia yang rentan terjadi gempa bumi, Sunarno mengatakan alat deteksi untuk peringatan dini gempa ini dikembangkan sebagai mekanisme kesiapsiagaan masyarakat, aparat, dan akademisi untuk mengurangi risiko akibat bencana gempa bumi.
Sunarno mengklaim alat pendeteksi gempa buatan UGM tersebut mampu mendeteksi tiga sampai tujuh hari sebelum gempa terjadi. Untuk lokasi antara Aceh dan NTT, Sunarno mengatakan alat tersebut mampu memprediksi gempa tiga hari sebelum kejadian, sementara untuk wilayah Daerah Istimewa atau DI Yogyakarta, lokasi di mana alat tersebut dipasang, EWS Gempa UGM dapat memprediksi kejadian gempa tujuh hari sebelumnya.
“Algoritma awal kami hanya mendeteksi dini 3-7 hari sebelum gempa khusus untuk DIY. Mengingat stasiun pemantau kami hanya ada di DIY,” katanya.
Saat ini Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa UGM akan terus mengembangkan alat tersebut hingga mampu memprediksi waktu, lokasi koordinat episentrum, dan magnitudo gempa secara tepat. Selain itu, diharapkan dengan dikembangkannya alat deteksi gempa ini dapat membantu aparat dan masyarakat untuk mengevaluasi penyelamatan diri lebih cepat.
Alat ini juga diharapkan dapat direkomendasikan sebagai instrumen peringatan dini gempa bumi dan memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai prediksi gempa bumi sehingga selalu siap dan waspada terhadap bencana gempa bumi.
HENDRIK KHOIRUL MUHID