Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyumbat Kebocoran 'Chip' Kemampuan untuk memperkecil transistor, sebagaimana yang kemudian digunakan dalam chip atau otak beragam peralatan elektronik termasuk komputer, memang menakjubkan. Tapi ada satu kelemahan yang begitu lama tak teratasi: semakin kecil transistor, terutama pada ukuran lebih kecil dari 130 nanometer, kian besar kemungkinannya untuk membocorkan elektron. Intel, produsen prosesor komputer terbesar di dunia, mengklaim telah berhasil mengatasi masalah itu dengan mengembangkan transistor superkecil yang membocorkan hanya sedikit elektron. Intel bahkan yakin tak lama lagi transistor baru yang bisa berukuran sampai 45 nanometer itu diproduksi massal dan digunakan dalam prosesor generasi mendatang. Langkah yang menyalip tim-tim riset lain ini, kata Larry Pileggi, ilmuwan komputer di Carnegie Mellon University, "memang sesuatu yang ditunggu-tunggu siapa pun di industri." Transistor adalah saklar (switch) yang terdiri atas elektrode silikon yang berada persis di atas sebuah saluran. Elektrode itu mengontrol arus dengan membangkitkan medan listrik. Ketika saklar pada posisi hidup, arus masuk ke dalam saluran, dan sebaliknya. Untuk menghentikan aliran arus dari saluran ke elektrode, digunakan insulator. Saklar yang bisa mati dan hidup secara cepat penting untuk kinerja tingkat tinggi, dan ini hanya mungkin jika insulator itu memungkinkan medan listrik merembes dengan mudah. Semakin kecil transistor, kian tipis pula insulatornya. Inilah letak masalah kebocoran itu. Menipiskan insulator hingga di bawah ukuran yang ada sekarang justru tak mempercepat kinerja transistor, karena elektron bisa merembes lewat insulator. Untuk membuat transistor yang kian kecil tapi semakin cepat, diperlukan bahan insulator yang memungkinan medan listrik merembes dengan mudah dengan ketebalan di atas satu atau dua nanometer. Intel punya solusi lain: mengganti elektrode silikon dengan logam. Intel menolak menjelaskan bagaimana cara kerja inovasi yang dilakukannya, juga jenis logamnya, sampai kelak pada 2007 setelah produksi massal berlangsung. Tapi para peneliti lain yang pernah mencoba metode yang sama menyatakan gagasan itu sama sekali tak masuk akal. "Saya tak yakin ini terobosan teknologi, karena mereka tak memberi tahu kita," kata Charles Musgrave, insinyur kimia di Stanford University, California. Mungkin memang mesti ditunggu buktinya.
Robot dengan Mata Dewa Hanya pada robot hal ini bisa dilakukan. Para peneliti di Amerika Serikat kini tengah mengembangkan robot dengan "mata di belakang kepala mereka". Bentuknya berupa sembilan kamera digital yang dipasang pada sebuah kerangka seukuran bola pantai. Para ilmuwan yakin, memberikan robot kemampuan visual ke segala arah bisa dengan cepat memperbaiki keterampilan navigasinya. Mata baru yang dinamai Mata Argus (nama dewa Yunani) itu mengantarkan citra ke sebuah komputer, yang lalu memprosesnya. Laporan dari hasil kerja mereka terdapat dalam majalah New Scientist edisi terbaru. Berbeda dengan manusia, yang bisa mengandalkan sensor di telinga mereka untuk menavigasi diri, kebanyakan robot bergantung semata pada satu mata. Tapi, seperti dibuktikan secara matematis oleh ilmuwan komputer di University of Maryland pada 1998, jika robot bisa melihat ke seluruh arah, mereka tak akan perlu lagi sensor-sensor lain. Menurut Cornelia Fermueller, salah satu peneliti, jika Mata Argus dikembangkan lebih lanjut dan diproduksi secara massal, biaya pembuatan robot bisa ditekan, baik yang jenis untuk industri maupun untuk keperluan rumah tangga. Hal ini diyakini bisa membantu meningkatkan penggunaan robot untuk bermacam keperluan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo