Delapan belas menit lepas landas, helikopter itu hanya berputar-putar di atas Lapangan Udara Atang Sanjaya, Bogor. Dari ketinggian sekitar 300 meter, "capung" itu tiba-tiba meluncur ke bawah dengan arah yang hampir tegak lurus. Selang beberapa detik, terdengar suara mirip mobil bertabrakan. Saksi mata menuturkan, saat helikopter jatuh memang tak ada ledakan dahsyat ataupun kobaran api. Tapi tubuh helikopter tak lagi utuh. Moncongnya remuk, buntut dan baling-balingnya patah, kaki penopangnya pun terlempar belasan meter. Dua penerbang dan lima teknisi pesawat tewas di tempat.
Setelah hampir dua pekan berselang, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) belum mengumumkan sebab-sebab kecelakaan helikopter Sikorsky S-58 jenis Twinpack itu. "Masih dalam penyelidikan," kata juru bicara TNI-AU, Marsekal Pertama Sagom Tamboen, Kamis pekan lalu. Penyebab jatuhnya helikopter itu bisa saja masih kabur. Tapi, begitu mendengar tahun pembuatannya, orang awam bisa berkesimpulan pesawat tersungkur karena usianya kelewat uzur.
Benarkah? Djoko Sardjadi, pakar aeronautika dari Aerospace Design Centre Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan kelayakan terbang helikopter—juga pesawat udara lainnya—sebenarnya tak selalu terkait dengan usia ataupun jam terbang. Sebuah helikopter bisa dikatakan laik terbang jika semua komponennya secara teknis berfungsi baik.
Memang, kata Djoko, semua komponen helikopter punya batas usia. Tapi itu bisa diatasi dengan pemeliharaan rutin atau penggantian. Mesin pesawat yang mempunyai batas usia 100 ribu jam terbang, misalnya, tetap bisa layak terbang jika diganti sebelum habis masa berlakunya. Demikian pula dengan komponen pesawat lain, seperti badan dan baling-baling. Semuanya bisa diremajakan.
Hanya, menurut Djoko, menerbangkan pesawat tua memang berisiko lebih tinggi. Kemampuan sistem otomatis pesawat biasanya sudah jauh berkurang. Alat pendeteksi cuaca buruk pun makin tidak akurat. Karenanya, kondisi pesawat selagi terbang juga tak bisa terekam secara sempurna. "Kekurangan-kekurangan pesawat tua ini tak bisa diimbangi kemampuan pilot sehebat apa pun," ujar Djoko.
Dari segi umur, helikopter S-58 jauh lebih tua dari usia rata-rata penerbang Indonesia. Prototipe pertama helikopter itu dirancang pada 1952. Pabrik pembuatnya, Sikorsky Aircraft, waktu itu mencoba memenuhi hasrat Angkatan Udara Amerika Serikat untuk memiliki helikopter anti-kapal selam yang lebih maju.
Rancangan fisik S-58 sebenarnya tak jauh berbeda dengan pendahulunya, S-55. Mesin pesawat, misalnya, masih ditempatkan di bagian hidung. Ruang kokpit di atas sedikit ke depan sehingga lebih lapang, sementara ruang penumpang atau kargo masih menyerupai kotak. Bedanya, S-58 lebih besar dan lebih berat. Generasi ini memiliki mesin piston radial yang lebih kuat untuk memutar empat bilah baling-baling utama dan baling-baling ekornya.
Sebagai alat angkut serbaguna, S-58 mampu membawa 18 personel bersenjata lengkap atau logistik seberat 1.350 kilogram. Pada 1960-an, S-58 pun berhasil menjadi helikopter tercepat. Tak aneh, dengan segala kelebihan di zamannya, S-58 sempat dibanggakan sebagai pengangkut personel yang paling andal.
Setelah menyaksikan S-58 terbang perdana pada 8 Maret 1955, petinggi tiga angkatan perang Amerika memesan dan memberi helikopter itu julukan yang berbeda. Angkatan udara menamainya Seabat, korps marinir menamainya Seahorse, dan angkatan darat menamainya Choctaw. Sejak 1967, banyak negara yang ikut-ikutan memborongnya. Tentara Federal Jerman memesan 144 unit, angkatan perang Prancis 110 unit, Jepang 14 unit, dan Indonesia 10 unit. Sejumlah maskapai, misalnya Chicago Helicopter Airways dan New York Airways, memesannya untuk tujuan komersial.
Keraguan mulai muncul di tengah berkecamuknya perang Vietnam (1962-1975). Saat itu Angkatan Darat Amerika hanya mengoperasikan 20 dari sekitar 450 Choctaw yang dimilikinya. Mereka lebih sering memilih CH-21 Shwanee, yang kecepatannya di bawah Choctaw. Alasan resminya: demi kemudahan dan efisiensi pengangkutan logistik. Kebetulan, saat itu Shwanee lebih banyak dipakai di kawasan Pasifik dan Amerika daratan. Sedangkan Choctaw lebih banyak dipakai di wilayah Eropa Barat.
Belakangan diketahui, Amerika ternyata terpengaruh opini negatif seputar daya tahan tempur Choctaw. Opini itu muncul setelah Prancis mengevaluasi peran Choctaw di Afrika Utara dan Argentina. Di sana Shwanee lebih mampu bertahan menghadapi tembakan darat yang berlipat ketimbang Choctaw. Menurut Prancis, kelemahan Choctaw terletak pada posisi dan konstruksi tanki bahan bakarnya. Choctaw rawan tembakan dari darat. Sejak itu, pamor Choctaw di Angkatan Darat Amerika pun berangsur menurun. Choctaw pensiun secara bertahap sejak akhir 1960-an sampai awal 1970-an.
Memang, menurut Djoko, pesawat akan dikatakan tua dan ketinggalan zaman jika skenario operasi (tempur) pesawat itu tidak lagi cocok dengan kondisi lapangan. Dari sisi ini, Djoko menilai, sebagian besar pesawat milik TNI-AU saat ini tak lagi punya kekuatan tempur di udara. Paling banter, pesawat-pesawat TNI-AU itu hanya punya kemampuan patroli, tetap beroperasi semata-mata untuk berlatih dan mempertahankan kesiapan para pilot.
Djoko tak berlebihan. Kecuali empat jet Sukhoi yang sempat diributkan, sebagian besar persenjataan tempur milik TNI-AU memang kalah generasi. Sempat menjadi yang terkuat di Asia pada awal 1960-an, kekuatan pertahanan udara Indonesia kini tak lagi menggentarkan, sekalipun hanya untuk kawasan Asia Tenggara.
Dari sisi jumlah dan keragaman jenis, sisa-sisa kejayaan TNI-AU masih kelihatan. Saat ini TNI-AU memiliki 225 pesawat dan helikopter, kebanyakan buatan Amerika dan Inggris pada 1960-an dan 1970-an. Dari jenis helikopter, termasuk dalam "generasi The Beatles" itu antara lain 10 Sikorsky S-58, delapan Bell 47G, dan 12 SA-330 Puma.
Semua kekuatan itu terbagi dalam 17 skuadron. Tiap skuadron terdiri atas 12-16 unit pesawat. Menurut Sagom, dari jumlah itu hanya sebagian kecil yang siap operasi. Jumlahnya tak lebih dari 30-40 persen atau hanya 76 hingga 100 pesawat. "Sisanya tak bisa bisa dioperasikan," ujar Sagom. Namun, Sagom melanjutkan, yang tak bisa beroperasi tidak berarti sudah terlalu tua atau rusak. Tua tak jadi masalah. Asal ada biaya perawatan dan suku cadang.
Masalahnya, pesawat itu terpaksa dikandangkan karena kurangnya dana untuk membeli suku cadang. Apalagi, ada pesawat yang suku cadangnya diembargo oleh negara-negara pembuatnya. Jadi, kalaupun ada duit, tetap saja tak bisa bersolek dan harus mengurung diri.
Karena anggaran yang cekak, dalam memperbaiki pesawat, TNI-AU terpaksa pilih-pilih. Perawatan rutin dilakukan berdasarkan prioritas. Tahun ini, kata Sagom, prioritasnya adalah operasi militer di Aceh. Karena itu, yang jadi fokus perawatan adalah pesawat tempur. Yang lainnya, sabar dulu. Tahun depan agenda nasional adalah pemilihan umum. Prioritas perawatan pun berubah. Untuk kelancaran pengangkutan kartu suara, TNI-AU akan mengutamakan perbaikan pesawat angkut. "Pesawat angkut seperti Hercules kita utamakan," ujar Sagom.
Perawatan dengan cara pilih-pilih itu tentu saja bukan solusi. Untuk menjaga wilayah udara yang luasnya sekitar delapan juta kilometer persegi, Indonesia perlu membangun kembali kekuatan udaranya. "Jalan keluarnya," ujar Djoko, "mengganti pesawat-pesawat itu." Hanya, menurut dia, untuk membangun kekuatan tempur baru, jualan hasil laut dan hutan Indonesia selama lima tahun pun tak akan mencukupi.
Jajang J., Rinny S., Yura S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini