KETIKA di Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Indra pernah tinggal kelas. Ketika itu ia acuh tak acuh saja di kelas. Teman-temannya asyik menggambar atau membuat pekerjaan tangan, tapi Indra diam saja. Namun, anak ini tidak bodoh. Terbukti, ketika ia duduk di SD, rapornya selalu bagus. Menurut Nyonya H.B. Pane, Kepala STK Dharma Wanita Unit Sekwilda Sumatera Utara itu, setiap tahun ada dua atau tiga anak yang dianjurkan mengikuti program "penyegaran" atau "pematangan", alias tidak naik kelas. "Bisa juga atas permintaan orangtua," kata lulusan Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak tahun 1963 ini. Nyonya Pane malah melihat dampak positif bagi anak TK yang tinggal kelas. Si anak, karena merasa sudah tahu apa yang dipelajarinya, lalu jadi aktif, dan mencoba memberi tahu kawan-kawan barunya. Tapi, Rabu pekan lalu, Menteri P & K Fuad Hassan pada peringatan Hari Ulang Tahun PGRI ke-42, di Gedung Guru Jakarta, mengkritik TK yang tak menaikkan muridnya. Alasan Fuad: tidak ada jenjang dalam pendidikan prasekolah. Memang, seperti sudah ditentukan, pendidikan di TK dibagi dua atau tiga tingkatan berdasarkan usia anak. Yakni kelas A, B, dan C, atau kelas nol kecil dan nol besar. "Sebenarnya, pembagian kelas merupakan ketetapan pemerintah juga, termasuk batas usia tiap kelas," kata Nyonya Upi, salah seorang pengajar di TK Mini, pendidikan prasekolah asuhan Pak Kasur, Jakarta. Yakni A untuk anak-anak umur 3-4 tahun, B untuk 4-5 tahun, dan C untuk 5-6. Menurut guru yang lebih dari seperempat abad bergumul dengan anak-anak itu, penggolongan berdasarkan umur merupakan hal yang wajar. "Kalau anak usia tiga tahun dicampur dengan usia enam tahun, 'kan tidak cocok," katanya. Namun, ia tidak setuju bila ada anak yang terpaksa mengulang kelas. "Akan mempengaruhi jiwa sang anak. Dia akan selalu bertanya-tanya," katanya lebih lanjut. Sebab, "Belajar di TK bukan untuk pintar, tapi untuk melatih bergaul dan disiplin." Benar, istilah kerennya, TK adalah tempat buat sosialisasi anak, bukannya untuk berprestasi secara akademis. Tokoh pendidik anak, Bu Kasur, juga sependapat dengan Nyonya Upi. "Kalau memang anak itu punya kelainan, sebaiknya dibawa ke ahlinya," kata Bu Kasur lagi. Dengan demikian, pengajar tahu bahwa ia harus memberikan perhatian dengan porsi lebih banyak. Tapi bagi Nyonya Pane "pematangan" tetap perlu. "Kalau anak yang masih acuh tak acuh dibiarkan melanjutkan ke SD, ia tak akan mampu menyerap pelajaran," katanya. Di TK Tunas Muda, Yogyakarta, pernah terjadi, seorang muridnya ogah lagi di TK, dan minta masuk SD, kendati ia dinilai belum mampu. Hasilnya, ternyata, ia tak bisa mengikuti pelajaran. "Jadinya, anak tersebut malas sekolah dan akhirnya mogok sama sekali," kata Nyonya Martini, Kepala TK Tunas Muda itu. Yusroni Henridewanto dan laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini