NAMANYA saja logam. Lazimnya, ya tenggelam di air. Tapi, tunggu dulu. Kini ada logam yang mau mengapung di atas air. Itulah logam ringan ciptaan Profesor Yo Kojima dari Nagaoka University of Technology (NUT), sebelah barat Tokyo. Para ahli metalurgi, Prof. Kojima, 51 tahun, dan tiga rekannya dari NUT, telah melakukan penelitian untuk menciptakan logam ringan itu. Nama resmi belum dipilihnya. Namun, untuk sementara, mereka menjuluki temuannya dengan magtium, dari gabungan magnesium (Mg) dan litium (Li). Magtium bisa mengambang karena berat jenisnya -- massa pervolume -- hanya 0,95. Sedang berat jenis air adalah 1. "Awal 1994 ini kami akan mengumumkan temuan ini dalam konferensi metalurgi internasional," kata Kojima kepada TEMPO. Magtium memang amat ringan. Sebagai bandingan, besi punya berat jenis 8 lebih, alumunium sekitar 2,7. Sebelum keluarnya temuan Prof. Kojima, yang memegang rekor logam paling ringan adalah ciptaan NASA (badan antariksa AS) dalam proyek Apollo. Logam NASA yang berupa campuran magnesium (85%) + litium (14%) + Alumunium (1%) itu biasanya diberi kode LA-141A dan LA-91. Namun, logam NASA itu masih tenggelam di air lantaran berat jenisnya 1,3. Kojima, alumnus Jurusan Metalurgi dari TIT (Tokyo Institute of Technology), sejak mahasiswa memang gemar mengutak-atik logam ringan. Sejak 10 tahun lalu ia mulai mencoba membuat logam dengan mencampurkan alumunium dan litium. "Soalnya, setelah Duralumin diperkenalkan, para ahli logam memang berlomba-lomba menciptakan logam campuran altium (alumunium + litium)," ujar Kojima. Tapi litium ternyata punya kelemahan. Kendati ia paling ringan di antara segala logam, litium yang berat jenisnya hanya 0,53 itu amat getas (mudah patah). Karena itu, setelah pindah menjadi pengajar di NUT, 1985, Kojima mulai eksperimennya menciptakan logam ringan dengan mencampurkan bahan magnesium dan litium, ditambah alumunium (Al) dan seng (Zn). Dalam teori melatulurgi, bila litium dicampur alumunium, tingkat elastisitas young's modulus-nya akan meningkat. Young's modulus yang tinggi berarti logam tadi tak mudah dideformasi meski kena gaya berat. "Untuk bahan baku pesawat, misalnya, sebaiknya memakai logam yang young's modulus-nya tinggi," kata ayah dua putri itu. Dan ambisi mengalahkan rekor NASA itu diakui Kojima dan kawan-kawannya di universitas yang didirikan 17 tahun lalu itu. Menurut teori, penambahan litium bakal membuat makin ringan berat jenisnya, tapi litium ini sangat tinggi aktivitasnya. "Proses meningkatkan porsi litium dalam logam campuran magnesium dan alumunium itu sangat sulit," kata Kojima. Akhirnya mereka bisa menaklukkan sifat litium yang mudah menguap itu berkat keberhasilannya mengembangkan tungku perapian vakum tipe frekuensi tinggi yang menggunakan gas argon (vacuum high-frequency induction furnace in argon atmosphere). Agustus lalu, lahirlah dari tangan Kojima dan koleganya sebuah logam campuran baru berwarna perak dan berukuran 50 X 90 X 120 milimeter. Seorang mahasiswa pascasarjana mencemplungkan pecahan batangan logam itu ke dalam air. Ternyata kepingan logam itu ogah tenggelam dan tetap saja mengapung. "Kami sampai teriak-teriak kayak orang gila saking gembiranya," kata Kojima. Ada dua macam logam ringan temuan Kojima dan koleganya: logam dengan kombinasi magnesium (57,4%) + litium (37,6%) + alumunium (5%) serta logam kombinasi magnesium (56,5%) + litium (38,5%) + seng (5%). Keduanya punya berat jenis sama, yakni 0,95. Proses pencampuran logam itu, menurut penuturan Kojima, kurang lebih sebagai berikut: Bahan-bahan dilebur dengan komposisi magnesium sebanyak 57,4 mass% (dalam logam campuran 100 gram porsi magnesium sebanyak 57,4 gram) dan alumunium 5 mass% (atau seng sebanyak 5 mass%) dalam tungku vakum berisi gas argon. Temperaturnya harus sekitar 700-800 derajat Celsius, sebab magnesium saja baru bisa lebur dalam suku 660 derajat Celsius. Bila dua logam itu telah melebur sempurna, barulah litium sebanyak 37,6 mass% dimasukkan. Selama proses peleburan, yang memakan waktu satu jam, sumber listrik pemanas terkadang perlu dimatikan dan dihidupkan kembali agar ketiga logam itu bercampur sepenuhnya. Eksperimen ini harus sering diulang-ulang gara-gara berbagai sebab. Misalnya, ketika Kojima memakai gas argon yang mengandung sedikit zat air toh litium tetap menguap juga. "Padahal kami menggunakan gas argon justru karena kami ingin menghapus zat air atau kelembapan di dalam tungku vakum itu," kata Kojima. Setelah ketiga logam itu lebur dan campur betul, tungku segera diturunkan sampai 500 derajat Celsius. Campuran dituangkan ke dalam cetakan baja yang tahan sampai 1.500 derajat. Menurut Kojima, selain sifatnya yang ultraringan, magtium itu memiliki beberapa keandalan dibandingkan logam campuran konvensional. Misalnya, logam Kojima ini mudah diolah, dicetak berbagai bentuk, bisa dibuat pipih sepipih-pipihnya, itu pun di bawah temperatur biasa. Lempengan logam campuran magnesium biasa, contohnya, karena memiliki bentuk hablur seperti kristal titanium, bakal sulit digulung. Logam magtium, justru karena bentuk kristalnya seperti alumunium, mudah diolah. Hanya saja, ada juga kelemahan magtium: gampang teroksidasi. "Inilah yang masih harus kami taklukkan," ujarnya. Temuan ini tampaknya bakal membuka zaman baru bagi sejarah logam. "Logam baru ini akan mempermudah merakit stasiun luar angkasa," kata profesor berkacamata dan berkumis ini. Kegunaan yang lebih praktis, misalnya, untuk badan mobil, perkakas elektronik, atau sebagai bahan material rumah apung antibanjir.ATG, Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini