SETELAH General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) ditandatangani, akhir tahun 1993, dari satu sisi muncul kekhawatiran, yakni kekhawatiran para pencinta lingkungan, kalau-kalau kelonggaran aturan perdagangan tersebut mengorbankan kepentingan pelestarian lingkungan. Ini berlatar belakang paling tidak dari dua kasus berikut. Kasus pertama, tentang impor ikan tuna dari Meksiko yang dianggap melecehkan US Marine Mammal Protection Act 1972. Mulanya, Amerika Serikat mengembargo impor produk ikan tuna dari Meksiko karena nelayan Meksiko menggunakan jaring purse seine, yang juga menjerat dan membunuh ribuan lumba-lumba secara mengenaskan. Meksiko menuduh embargo Amerika tersebut menyalahi GATT dan menggugat lewat peradilan internasional. GATT Disputes Settlement Panel pada tahun 1992 memenangkan Meksiko. Alasannya, Amerika tak bisa melarang metode penangkapan tersebut. Kasus ini membuat pencinta lingkungan, terutama di Amerika Utara dan Meksiko, gigit jari. Kasus kedua adalah pembatalan rancangan Austria untuk mengenakan pajak impor tinggi terhadap produk kayu tropis akibat klaim negara-negara ASEAN. Pajak ini dituduh menyalahi GATT. Pembatalan tersebut jelas berpihak pada kepentingan perdagangan dan melegakan mereka yang pro GATT. Kedua kasus tersebut dikhawatirkan dapat menjungkirbalikkan aturan perlindungan lingkungan lainnya. Yang pro GATT, terutama negara berkembang, berkilah bahwa isu lingkungan hanyalah kiat baru dari negara maju untuk mendikte negara berkembang. Kalau GATT tidak peka lingkungan, kata mereka, tak bisa semuanya disalahkan. Sebab, cetak biru GATT dibuat pada tahun 1947. Saat itu masalah lingkungan belum timbul ke permukaan. Filosofi dasar GATT adalah bahwa suatu negara tidak berhak menggunakan isu demokrasi, lingkungan, hak asasi manusia, atau perburuhan sebagai halangan dagang, sebab itu termasuk halangan dagang nontarif. Tindakan ini juga berarti campur tangan atas kedaulatan negara lain yang mungkin mempunyai persepsi, nilai, dan standar berbeda dengan negara importir. Putaran Uruguay memperkuat GATT dalam memangkas halangan dagang nontarif. Ironisnya, yang disebut "halangan dagang nontarif" sering adalah peraturan atau upaya kelestarian lingkungan yang dengan susah payah ditegakkan. Kasus "perang botol" antara Kanada dan Amerika cukup menarik. Ontario (Kanada) memajaki botol bir yang tidak bisa diisi kembali (nonrefillable) sebagai upaya untuk menunjang sukses program daur ulang. Amerika menggugat bahwa aturan ini menghalangi ekspor bir kalengnya ke Kanada. Putaran Uruguay tampaknya berniat "menyelaraskan" aturan-aturan tersebut agar tidak menjadi halangan dagang. Kalangan pencinta lingkungan menolak karena eufemisme "menyelaraskan" bisa berarti menomorduakan aturan-aturan lingkungan. Mereka menuduh bahwa penyelarasan tersebut akan lebih banyak dilakukan oleh lobi industri, birokrat, dan didukung sekelompok akademisi yang berorientasi pada keuntungan perdagangan, bukan pada kelestarian lingkungan. Pada dasarnya ada empat kritik para pencinta lingkungan terhadap GATT. Pertama, GATT lebih berorientasi pada standar sanitasi produk (residu pestisida atau kandungan hormon) bukan pada standar proses (cara eksploitasi atau limbah pencemaran). Ini tidak adil sebuah negara bisa saja menjual barang yang memenuhi standar lingkungan negara importir tapi meninggalkan limbah dan masalah lingkungan di negara sendiri. Kasus tuna impor dari Meksiko menunjukkan bahwa cara eksploitasi (penangkapan) ternyata tak bisa digunakan sebagai dasar untuk menolak produk perdagangan. Kedua, kekaburan batas lingkungan lokal dan global. Lumba-lumba yang ditangkap di perairan Meksiko mungkin dianggap masalah lingkungan lokal jika dikaitkan dengan batasan geografis. Tapi, itu bisa jadi masalah global jika dikaitkan dengan keragaman sumber daya hayati planet bumi. Begitu juga pembalakan hutan tropis di Kalimantan atau kerusakan hutan bakau atau terumbu karang. Ketiga, GATT tidak menyukai subsidi karena dianggap sebagai proteksi yang mendistorsi perdagangan internasional. Negara pengimpor dapat membebankan countervailing duties untuk mengompensasi subsidi di negara pengekspor. Ini berita buruk bagi negara yang menyubsidi industrinya untuk tujuan pengendalian pencemaran, misalnya melalui keringanan bea masuk impor alat pengolah limbah. Tapi di sisi lain sikap anti proteksi dan subsidi juga dapat menjadi berita baik buat negara yang pro lingkungan. Reduksi subsidi pestisida untuk pertanian (seperti dilakukan Indonesia) mengurangi pencemaran perairan dan merangsang metode proteksi tanaman yang relatif aman. Dampak positif lain bisa diharapkan jika subsidi tersembunyi dikurangi atau dihapuskan sama sekali, misalnya pemberian suku bunga rendah untuk pembalakan hutan, eksploitasi sumber daya alam yang merugikan lingkungan, atau standar lingkungan yang longgar. Ancaman countervailing duties malahan dapat mendorong pengekspor mendirikan pengolahan limbah dan memasukkan biaya kerusakan lingkungan ke dalam biaya produksi. Keempat, ada kekhawatiran bahwa GATT akan bertabrakan dengan beberapa perjanjian unilateral pembatasan perdagangan yang berkaitan dengan lingkungan. Misalnya: Konvensi Basel tentang limbah bahan beracun berbahaya (B-3), CITES tentang satwa langka, Montreal Protocol tentang zat penipis ozon, dan keputusan-keputusan KTT Rio 1992. Dalam hal ini, NAFTA, persetujuan perdagangan bebas Amerika Utara, lebih bijaksana. Diisyaratkan, jika ketentuan NAFTA dan tiga konvensi internasional (Montreal, Basel, dan CITES) bertentangan, maka perjanjian internasional tentang lingkungan akan dimenangkan. Untuk mendorong pelestarian lingkungan di negara berkembang, pencinta lingkungan mengharapkan agar negara maju bisa memberikan preferensi perdagangan untuk barang-barang yang akrab lingkungan atau semacam GSP untuk masalah lingkungan.*)Dosen Universitas Hasanuddin Ujungpandang, sekarang bekerja di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini