Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Kerja Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ida Pramuwardani, mengatakan langit Jakarta yang cenderung berkabut, selama sepekan terakhir, hingga sore selama sepekan terakhir, belum pasti disebabkan oleh polusi udara. Kabut belakangan terlihat di antara gedung pencakar langit pada siang dan sore hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Belum bisa diidentifikasikan sebagai polusi udara atau parsel udara lembab (akibat pendinginan atmosfer)," ujar Ida saat dihubungi pada Selasa, 26 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk prediksi BMKG sebelumnya, Indonesia mulai memasuki musim hujan sejak awal November 2024. Intensitas hujan akan selalu bervariasi dari ringan hingga lebat. Musim hujan bakal mencapai puncaknya pada Februari 2025.
Dengan frekuensi hujan yang tinggi, Ida menyebut kualitas udara di Jakarta terus berfluktuasi selama sepekan terakhir, didominasi kategori ‘sedang’. Pada waktu-waktu tertentu indeks kualitas udara Jakarta juga tercatat pada kategori ‘tidak sehat’. BMKG mencatat konsentrasi Particulate Matter atau PM2.5 cenderung lebih tinggi—antara ‘tidak sehat’ hingga ‘sangat tidak sehat’—pada malam hingga dinihari.
"Disebabkan oleh udara yang lebih rapat, karena massa udara yang turun dan membawa serta polutan," tuturnya.
Pada Ahad pagi, 17 November 2024, BMKG mencatat konsentrasi PM2.5 paling tinggi di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Konsentrasinya mencapai 152,7 mikrogram per meter kubik (mg/m3) dengan kategori ‘sangat tidak sehat’.
Ida berkata lembaganya tidak berwenang mengukur jumlah emisi di Jakarta yang muncul dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Yang pasti, meski musim hujan sudah tiba, tingkat polusi udara berpeluang tetap tinggi. Hujan berintensitas rendah dan yang tidak merata tidak banyak mengikis konsentrasi polutan.
Tingkat polusi juga dipengaruhi oleh sumber emisi yang berkelanjutan, seperti aktivitas transportasi, industri, serta pembangkit listrik. "Sehingga meskipun ada hujan, konsentrasi polutan tetap tinggi," tuturnya.
Kondisi meteorologi juga membuat polutan di Jakarta tetap pekat selama musim hujan. Kelembapan tinggi dan kecepatan angin yang rendah, sebagai contoh, membuat polutan terakumulasi di atmosfer, kemudian membentuk kabut di langit.